Mohon tunggu...
Putut Daerobi
Putut Daerobi Mohon Tunggu... Freelancer - Bukan apa apa, hanya apa adanya

hidup adalah pergerakan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bagaimana Membangun Lingkungan Ramah Anak?

11 September 2021   18:31 Diperbarui: 15 September 2021   20:30 2481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru baru ini, tepatnya Minggu 5 September 2021, jagat media viral pemberitaan mengenai anak balita usia 14 bulan meninggal dunia karena tercebur ke sumur.

Peristiwa tersebut terjadi di Desa Kendalrejo Kecamatan Talun Blitar sekitar pukul 15.30 WIB. 

Saat kejadian, ia sedang bermain di belakang rumah dekat sumur, bersama kakaknya yang masih berusia 8 tahun.

Sementara itu, ibunya sedang sibuk memasak di dapur, dan ayahnya mempersiapkan dagangan. Diduga anak tersebut terpeleset jatuh ke dalam sumur yang hanya dibatasi tembok melingkar setinggi 45 cm tanpa penutup.

Saat dilakukan pertolongan oleh ayah dan tetangganya, anak tersebut diketahui sudah meninggal. 

Tentunya kejadian ini menjadikan kesedihan mendalam bagi keluarga, tanpa diduga anak balita yang disayangi telah meregang nyawa.

Sebenarnya, kejadian yang menyerupai anak tersebut, masih banyak kita jumpai di sekeliling kita. 

Bisa karena kelalaian orang tua, dan bisa juga karena lingkungan yang tak ramah anak. Terlepas, mungkin sudah menjadi taqdirnya.

Pernah juga kita mendengar, ada anak meninggal setelah terpeleset ke kolam ikan dekat rumah. 

Ada anak meninggal karena tertimpa almari saat bermain. Ada anak meninggal setelah bermain colokan listrik, dan masih banyak lagi.

Selain ketidakramahan lingkungan anak yang dapat membuat anak kehilangan nyawa tersebut, ada juga yang berdampak ringan, misalnya menyebabkan cacat fisik, dan trauma psikologi bagi anak.

Saya pernah dengar ada anak yang bermain pisau dengan temannya, kemudian menyebabkan 1 jarinya terpotong. 

Ada anak yang bermain panjat pohon, lalu terjatuh dan patah kaki. Ada anak yang bermain di jalan dekat rumah, kemudian terluka karena tersrempet motor.

Ada juga anak yang mengalami trauma mendalam, karena sering mendapat bully, maupun kekerasan dari keluarga dan lingkungan.

Semua orang tua, pastinya tau bagaimana rasanya, saat anak yang menjadi buah hati sedang sakit. Mungkin pedihnya dalam hati, melebihi rasa sakit yang dirasakan anak itu sendiri. Pokoknya semua kata gak akan bisa mewakili rasanya, bro.

Apalagi karena kelalaian orang tua, kemudian menyebabkan anak cidera. Owwh, rasanya trenyeng-trenyeng. 

Anda yang belum punya anak, jangan coba coba membayangkan ya gaess.

Anakku, Alif namanya, dulu saat usianya 3 tahunan pernah ku ajak main ke salah satu tempat wisata, seperti kebanyakan anak kecil lainnya, belum begitu paham bagaimana caranya berhati hati. Sing penting wani tok.

Karena kelalaianku yang kurang mengawasinya, ia terpeleset berguling-guling di tangga besi yang lumayan tinggi. Dibarengi dengan tangisnya, darah segar mengucur dari atas mata yang terbentur.

Sambil badanku gemetaran, kubawa ia ke bidan desa terdekat, beruntung benturan tidak mengenai tepat di mata, dan atau bagian belakang kepala.

Lain lagi ceritanya Ningrum Amanina, adiknya Alif. Waktu usianya 2 tahun, ia bermain di dekatku, menuntun sepeda plastiknya, menata sendal berserakan. Sesekali ia tampak bicara sendiri, tepatnya berdialog dengan mainannya.

Di emper rumah itu, aku sedang menelfon teman, membicarakan hal penting lah pokoknya, hehe. Tak kusadari si bocil Ningrum, dengan jiwa penasarannya sedang bermain kabel stop kontak.

Tak kusadari pula, ternyata kabel tersebut masih tersambung ke colokan dalam rumah, sehingga ada aliran listriknya. Sudah mengira kan apa yang dilakukan bocil? Ia membuka solasi yang menutupi sambungan kabel.

Mungkin karena kaget campur sakit terkena sengatan listrik, kemudian ia jatuh dan menangis sejadinya. 

Secara refleks, kabel kutarik dengan kuat hingga tercabut dari colokan. Langsung ku gendong bocil, sambil ia tetap menangis memegangi salah satu jari tangannya yang memerah.

Tentunya, ini hanya sebagian kecil saja cerita yang terjadi di masyarakat. Masih banyak cerita diluar sana tentang kelalaian orang tua dalam mengawasi anak, juga tentang lingkungan yang tidak ramah anak, yang menyebabkan kecelakan pada anak.

Dunia Anak Adalah Dunia Bermain

Anak dan bermain merupakan hal berbeda, namun sepertinya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Karena memang bermain adalah dunianya anak.

Dalam salah satu modul Family Development Session (FDS), mengenai pendidikan dan pengasuhan anak, dijelaskan bahwa cara anak belajar adalah dengan bermain. 

Selain itu anak juga belajar dari apa yang ia lihat, ia dengar dan ia rasakan di lingkungannya.

Anak bermain | Dokumentasi pribadi
Anak bermain | Dokumentasi pribadi

Ibarat anak itu seperti kertas putih, bersih tanpa coretan apapun. Kemudian lingkungan tempat ia tumbuhlah, yang memberikan tulisan warna-warni untuk pertama kali. Dalam hal ini, lingkungan terkecil anak adalah keluarga.

Menyediakan lingkungan bermain yang ramah anak, merupakan sebuah keharusan bagi para orang tua. Agar anak bisa leluasa bermain dengan aman dan nyaman.

Selain itu, yang juga sangat penting adalah peran orang tua dalam mengawasi anak. Agar bisa memastikan keamanan lingkungan bermainnya, juga memastikan permaian yang positif bagi anak.

Di sisi lain, mendapat lingkungan yang ramah anak, merupakan hak anak yang semestinya dapat dinikmati oleh anak anak. Agar mereka dapat tumbuh berkembang sehat secara fisik dan psikologisnya.

Anak yang terbiasa dengan lingkungan yang baik, ramah, ada rasa tanggung jawab, menghormati dan saling menyayangi, akan membentuk karakternya. Dan akan terbawa sampai ia beranjak dewasa saat ia disekolah, maupun dalam kehidupan yang lebih luas di masyarakat.

Sebaliknya, lingkungan anak tempat tumbuh kembang yang tidak ramah, suasana tidak jujur, sering mendapat kekerasan fisik maupun non fisik (menyakiti fisik anak, memarahi dengan nada keras, mengancam, dsb) juga akan berpengaruh negatif pada perilaku anak kelak dalam kehidupan yang lebih luas.

Persoalannya kemudian, masih banyak orang tua dan ataupun lingkungan belum memiliki kesadaran kolektif, mengenai pentingnya membangun lingkungan yang ramah anak.

Dalam hal anak mengalami kecelakaan saat bermain, anak disalahkan karena tidak berhati-hati. 

Ketika anak tak sengaja menyenggol gelas di atas meja kemudian pecah, anak disalahkan karena ceroboh dan lain sebagainya.

Padahal, apapun kesalahan bahkan kecelakan yang terjadi pada anak, itu adalah kesalahan orang tua. 

Karena bagaimanapun namanya juga masih anak anak, ia masih berada dalam tanggung jawab pengawasan orang tua.

Dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sebutan anak itu sampai ia berusia 18 tahun. Setiap anak wajib dilindungi dari berbagai bentuk perlakuan, yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia.

Mereka berhak atas kelangsungan hidup, bertumbuh dan berkembang dengan aman. Juga berhak atas perlindungan dari berbagai macam kekerasan dan diskriminasi.

Membangun Lingkungan Ramah Anak

Lingkungan ramah anak adalah lingkungan yang menghadirkan suasana aman, nyaman dan berkualitas untuk perkembangan baik jiwa maupun raga anak.

Dalam sekup keluarga misalnya, orang tua dapat memastikan apapun yang ada di rumah dan sekitarnya, menjadi tempat yang aman untuk bermain anak.

Jauhkan perabot rumah tangga yang mudah pecah belah dari jangkauan anak, simpan pisau dan benda benda tajam lainnya, ditempat yang tidak bisa diambil anak. 

Pastikan colokan listrik dan kabel kabel yang ada aliran listriknya aman, tidak bisa buat mainan anak.

Selain itu, tutup selokan ataupun sumur di sekitar rumah. Dan memberi pagar rumah, jika rumah deket dengan jalan umum. 

Selalu bersihkan juga sekitaran rumah dari sampah ataupun tanaman liar yang bisa jadi sarang hewan membahayakan.

Buat suasana rumah yang nyaman dan menyenangkan bagi anak, selalu ramah, berbicara dengan kata kata yang baik, selalu berpikir dan bertindak positif, jangan marah marah apalagi dengan nada tinggi.

Untuk anggota keluarga yang perokok aktif, jangan kotori udara ruang bermain anak dengan asap rokok, apalagi merokok di dekat anak, jangan lah bro.

Jika orang tua sedang berbeda paham antara suami dan istri, hindari bertengkar di hadapan anak, dan menjadilah teladan terbaik untuk anak. Hal tersebut, seperti dijelaskan dalam modul FDS sesi menjadi orang tua yang lebih baik.

Ketika kesasadaran pentingnya membangun lingkungan ramah anak di tingkat keluarga sudah selesai, kemudian menjadi penting juga membangun kesadaran kolektif lingkungan, katakanlah setingkat RT.

Dikarenakan, setelah anak beranjak semakin dewasa, lingkungan sekitar lah yang merupakan tempat anak beraktivitas, dan bermain dengan anak-anak sebayanya.

Pengurus RT, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh pemuda dalam hal ini penting untuk duduk bersama, membahas bagaimana caranya membangun lingkungannya yang ramah anak.

Salah satu caranya adalah dengan turut serta menguatkan lembaga pendidikan, formal maupun non formal di wilayah tersebut, karena lembaga pendidikan inilah sebagai tempat anak belajar, mempersiapkan generasi masa depan.

Kemudian juga mendorong adanya kegiatan positif yang diikuti oleh anak-anak di lingkungan, baik keagamaan seperti kegiatan dibaiyah, solawat banjari, maupun sosial kemasyarakatan seperti penyelenggaraan perlombaan edukatif untuk anak, dalam rangaka peringatan hari hari besar nasional.

Selain itu, masyarakat juga bisa membangun lokasi bermain anak tersendiri, sehingga anak anak di lingkungan tersebut memiliki tempat yang nyaman untuk bermain. Apalagi jika disediakan taman baca anak di lokasi tersebut, tentunya akan lebih menarik lagi.

Untuk anak yang sudah bersekolah di tingkat dasar, menengah, maupun atas, maka lembaga pendidikan terkait juga sangat penting dalam hal membangun lingkungan ramah anak. Karena waktu anak, sebagian juga dihabiskan di sekolah.

Akhirnya, dalam rangka membangun kesadaran kolektif, untuk mewujudkan lingkungan yang ramah anak ini dibutuhkan sinergi antara orang tua dalam keluarga, para tokoh lingkungan, dan lembaga pendidikan terkait.

Sabtu, 11 September 2021

Penulis: Putut Dairobi (Pendamping Sosial Progam Keluarga Harapan Kabupaten Blitar)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun