Mohon tunggu...
Putu RatihPrisanti
Putu RatihPrisanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Siswi

Seorang siswi yang suka menulis :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kau Tetap Pahlawanku

30 November 2023   10:31 Diperbarui: 30 November 2023   10:53 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kau Tetap Pahlawanku

by Putu Ratih Prisanti

"Pahlawanku adalah ayahku! Kemarin dia barusan dapat promosi dari kantornya dan dia membelikan aku boneka",  

"Bagus sekali Lia, oke Fahmi, bagaimana denganmu?", ujar Bu Bila.

"Kalo untuk saya sih... ibu saya Bu. Karena setiap kali keluarga saya mengalami kesusahan, ibu saya pasti selalu menemukan solusi yang bagus!"

Sudah berapa anak yang menyebutkan orang tuanya hari ini. Sepertinya aku akan menjadi yang paling unik. 

"Oke, selanjutnya... Kadek! Siapa pahlawan di hidupmu?" 

"Pahlawan hidup saya adalah diri saya sendiri Bu Bil" kujawab dengan tegas, lucu sekali melihat ekspresi teman-temanku yang terkejut dan bahkan kecewa dengan jawabanku. 

"Wah, ini menarik sih jawabannya, kenapa kau menjawab itu?" tanya wanita berseragam coklat tersebut sambil menahan tawanya.

"Pahlawan adalah seseorang yang gagah berani, dan rela berkorban demi membela kebenaran. Disini saya rela menjawab sesuatu yang konyol demi menyelamatkan teman-teman saya dari kelas membosankan ini, bukankah itu membuktikan bahwa saya adalah seorang pahlawan?"

Suara tawa menghiasi kelas, beberapa mencoba untuk menyembunyikannya, namun bisa kukatakan dengan percaya diri bahwa kita semua merasa kelas BK ini hanyalah sebuah gimmick demi sekolah terlihat peduli dengan muridnya.

"Hey ngawur, dasar narsis kamu, Dek!" ucap salah satu temanku "Minimal kalo gatau mau jawab apa jawab orang tua lah, samain aja seperti anak - anak yang lain"

"Duh duh duh, sudah cukup. Oke ayo kelasnya kondusif lagi. Yaudah deh, makasi Kadek".

Jelas Bu Bila sudah capek dengan kelakuanku. Memang saat diberikan tugas ini saya bingung sih mau jawab apa. Aku tidak merasa diriku seorang pahlawan, jauh dari itu. Aku tidak berani, tidak gagah. Tapi walau begitu, ada benarnya juga dari ucapanku tadi. Aku mungkin bukan seseorang yang berkorban demi kebenaran, tapi aku sudah banyak berkorban demi keluargaku. 

Kring, kring

Tak terasa sudah waktunya pulang sekolah. Bu Bila meninggalkan kelas, dan berakhir juga hari ini.

"Heyyy, Kadekkk, kamu langsung pulang ya?" 

Seperti biasa, pasti Ayu ingin mengajakku pergi dulu sebelum pulang.

"Mau kemana lagi? Aku ga bisa lama-lama, nanti dimarahi ayahku. Lagian aku belum izin ke kakakku"

"Engga kok, ini ga bakal lama - lama. Cuma mau ngobrol di kantin sebentar aja, ayolah temenin aku, aku masih lama dijemputnya"

"Oh, oke kalo di kantin gapapa, kakakku juga masih ngobrol sama teman-temannya"

"Yeyy oke ayok, nanti ku beliin sesuatu deh"

"Gausah, aku temanin kamu aja"

Bisa dianggap Ayu adalah teman dekatku, kita sudah kenal sejak SD. Dia memang selalu dijemput telat dari dulu, bahkan sering nunggu di rumahku. 

"Hee, tapi jawabanmu tadi loh aneh banget hehe" Ia cetuskan, namun sepertinya ada sesuatu yang ingin dia katakan kepadaku. 

"Hahah, iya. Sumpah aku bingung banget sih pas dikasih tugas itu. Semoga Bu Billa nggak terlalu tersinggung"

"Ngapain tersinggung, memang tugasnya kaya tugas anak SD. Jelas - jelas cuma formalitas, ibunya juga kemungkinan besar bosan di kelas haha..."

Beberapa saat berlalu, kebisuan memenuhi kantin yang biasanya ramai itu. Aku memilih tempat duduk yang nyaman sambil menunggu Ayu memesan sesuatu. Ia kembali dengan membawa makanan, dan dua minuman sebelum memberikan minuman satunya kepadaku. 

"Heh, kan aku sudah bilang ga usah"

"Aduh sudahlah ambil saja"

"Yaudah deh, makasi ya"

"No problem!"

"..."

Sekali lagi, keheningan yang canggung, namun kali ini tidak lama terputus oleh Ayu yang berkata dengan pelan. "Tapi jujur, walaupun jawabannya pasaran, aku kira kamu bakalan menjawab ayahmu sih". Dia pasti melihat ekspresiku melalui sudut matanya, karena dia memutuskan untuk diam setelah menuturkan kalimat itu. "Kok bisa?" ku balas dengan tenang. "Yaa, soalnya menurutku ayahmu keren sih. Selama aku kenal dengannya, menurutku dia orang yang-" sebelum dia bisa berkata apa - apa aku mencelanya, "Kamu menganggap seseorang seperti dia adalah seorang pahlawan?". Ayu tertegun, namun memberanikan diri untuk bertanya lagi, "Kenapa? Aku baru mau bilang, dia selalu baik kepadamu, walaupun sedikit keras." 

"Ini bukan soal apakah dia baik padaku atau tidak. Masalahnya kamu nggak tau bagaimana dia memperlakukan orang lain!"

"Ke aku dia baik juga kok," 

"Ke kamu mungkin iya," 

"Trus? Contohnya apa?" 

"Dulu dia sering membully temannya, dia bahkan menceritakannya dengan bangga dan tanpa malu"  

"Tapi itu kan dulu,"

"Masalahnya, sampai sekarang dia masih sering menyusahkan orang lain. Di kantor dia banyak musuhnya"

"........."

"Aku cuma punya satu pertanyaan saja sih..."

"Apa itu?"

"Apa yang membuat kamu berubah pikiran?" kali ini Ayu menatapku dengan intens. "Seingatku dulu, kamu memiliki jawaban yang berbeda... Kenapa sekarang kamu bertindak seakan-akan kamu tidak menyukai ayahmu lagi?" 

Aku tidak sempat bereaksi karena mendapat panggilan dari kakakku, Indra. Dia melambaikan tangannya dari kejauhan seperti memanggilku untuk segera pergi ke arahnya. Aku pun berpamitan dengan Ayu dan bergegas ke arah kakak. Namun, pertanyaannya tadi masih terngiang di kepalaku. "...Kenapa sekarang kamu bertindak seakan-akan kamu tidak menyukai ayahmu lagi?" Hah, aku lupa kalau dulu aku sangat mengaguminya. Saat aku naif, dan sebelum aku menyadari bahwa dia tidak disukai oleh orang-orang sekitar. Mulai dari situlah pandanganku terhadapnya berubah. Bagaimana bisa aku mengidolakan seseorang yang jahat kepada orang lain? 

"Heh dek, mikir apa aja kamu? Diajak ngomong ga dijawab" bentak kakakku yang menghentikan lamunanku. "Gapapa sih, mikir aja..." ku jawab dengan malas. "Yaudah, aku mau ngajak ngomong serius sambil jalan. Kamu tahu kan aku sebentar lagi mau kuliah ke Surabaya. Sedangkan kamu juga bakal kuliah tahun depan. Kamu sudah punya tujuan belom?"

Aku dan kakakku hanya memiliki jarak 1 tahun, sedangkan aku dan adikku beda 2 tahun. Kita hanya tinggal berempat bersama ayah kita. Sejak ibu meninggalkan keluarga kami, semuanya berubah. Kita terpaksa menjadi lebih mandiri karena ayah selalu bekerja. Tapi walau begitu, biasanya yang mengurus semua pekerjaan di rumah adalah aku. Tumben Indra menanyakan sesuatu yang serius seperti ini, apa karena dia mau pergi?

"Ga tau sih, yang jelas aku mau cari kuliah yang bisa menjamin pekerjaan yang stabil"

"Kamu ga mau merantau keluar pulau seperti aku?"

"Mau dong! Siapa yang ga mau keluar. Lagian aku sudah bosan rasanya di Bali'' ku ucapkan penuh semangat dan harapan. "Masalahnya nanti siapa yang bakal merawat ayah dan Surya?" Indra lanjut. "Mereka bisa merawat diri sendiri lah" ku tuturkan dengan yakin.

Hari demi hari, bulan terus berubah, dan waktu terus mengalir. Indra sudah meninggalkan rumah, dia keterima di kuliah impiannya, kini mendekat saatnya aku untuk menginjak fase hidup yang baru. Iya, aku sedang duduk di bangku kelas 12, dan aku sudah memiliki tujuan, aku juga ingin merantau keluar pulau seperti Indra, cuma ada satu masalah... Ayah sepertinya tidak menyetujui pilihanku.

"Keluar pulau?" tanya pria besar dan kasar yang sedang berdiri didepanku. "Ngapain jauh-jauh gek? Memangnya kamu berani? Keluar rumah aja jarang!" lanjutnya dengan tegas. Sungguh terkadang aku tidak memahami ayahku, selama ini dia selalu tegas denganku mengenai masalah pendidikan, kenapa sekarang saat aku menawarkan untuk pergi mencari pendidikan yang lebih bagus dia malah menantangnya? 

"Nanti kamu tinggal dengan siapa? Bahasa dan budayanya memangnya kamu kenal?" 

"Kemarin saat Indra mau pergi keluar kok ayah nggak menanyakan yang sama? Kenapa kalo aku yang minta pertimbangannya selalu banyak banget!" ku cetus dengan kesal. Benar - benar aku sedang berusaha sebisa mungkin untuk menahan emosi, karena aku tahu kalau aku terlihat marah ayah pasti ikut marah. Memang yang dikatakan ibu benar ya, kita sangat serupa. Aku dan ayahku sama-sama temperamental dan keras kepala. Walau begitu aku masih bisa menerima masukan dari orang lain. Namun anehnya kali ini berbeda. Biasanya kalau sudah begini aku pasti mengalah, biasanya ayah sudah membentak balik dengan pendapatnya yang tidak bisa diganggu gugat. Tapi tidak seperti biasanya, ayah hanya terdiam di sana, tidak langsung mencela aku.

"Yaudah gek... terserah kamu kok kamu mau kemana. Tapi jalaninnya yang benar"

"Hah? Gitu doang? Jadi ayah biarin nih aku mau kemana?"

"Iya terserah"

"Iya terserah" aku harus mengulang kembali kata-kata tersebut. Apa yang terjadi? Kenapa kok dia tidak melawan aku balik? Jangan bilang dia lagi mabuk lagi. Apa dia juga sudah muak sama aku? Sudahlah aku terima saja restunya, walaupun aku merasa dia menjawabnya dengan setengah hati. Aku mending fokus sama tujuanku saja. 

Begitulah hubunganku dengan ayahku akhir-akhir ini. Setelah tidak ada Indra, rumah ini menjadi jauh lebih sepi dari sebelumnya. Padahal sekarang ayah tidak sesibuk dulu, keadaan ekonomi keluarga kita sudah lebih stabil, dan Surya juga sudah bisa merawat dirinya sendiri sekarang. Akhir-akhir ini aku lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah bersama teman-temanku. Hari ini aku juga ada janjian untuk jalan-jalan bersama mereka untuk mengelilingi alun alun kota. Setelah izin, akupun berangkat menuju lokasi yang sudah ditentukan.

 Suasananya seru, seperti biasa penuh dengan canda tawa, tapi ada sesuatu yang membuatku merasa lebih melankolik dari biasanya. Alun-alun Renon... membawa kembali banyak sekali kenangan masa kecil. Rasanya aku kembali ke saat itu. Saat kita semua masih kecil, dan ayah masih muda. Dulu Indra senang sekali menerbangkan layang-layang bersama kawan-kawannya di sini. Hahah, jadi teringat juga saat Surya berusaha menerbangkan layangan juga, namun akhirnya malah tersangkut pada pohon yang tinggi. Aku bahkan masih bisa mencium kuah kambing kesayanganku. Saat itu kita masih miskin, jarang-jarang bisa makan diluar rumah. Saat itu aku baru saja memenangkan sebuah lomba, duh sekarang sudah lupa lomba apa. Tapi yang aku ingat adalah seberapa bahagianya kita bertiga, saat melihat ayah membawakan semangkuk sop kambing yang terlihat lezat sekali. Tiada yang tahu ayah dapat uangnya dari mana, tapi saat itu aku tidak peduli. Makan di restoran bintang lima pun tidak akan bisa membuatku sebahagia itu. Sejak saat itu, setiap kali salah satu dari kita memenangkan sesuatu yang besar, maka ayah akan mengajak kita makan di sini.

Tapi sekarang aku tahu... ternyata dibelakang semangkuk kuah tersebut, ayah harus meminjam dan mendapatkan uang melalui berbagai cara yang tidak benar. Kini aku tahu bahwa dibalik semua itu, ayah telah mengotori tangannya. Dan kini, kebahagiaan suci itu pun telah ternodai. Andai saja aku tetap menutup mataku dari kelakuan ayahku, maka mungkin aku bakal lebih bahagia pula saat ini. Tapi entah apa yang bisa terjadi padanya...

"Kadek? Kamu kenapa?" tiba-tiba Ayu membangunkanku dari renunganku. Tanpa ku sadari, sepertinya aku meneteskan air mata. Rupanya aku sudah tidak bisa menahannya lagi, rasa rindu yang tak terobati. Aku kangen masa-masa itu. Aku kangen kebahagiaan palsu yang diberikan ayahku saat itu. Aku kangen dengan diriku yang masih mengira dia adalah seorang ksatria putih, tertipu oleh senyumannya yang menyembunyikan berbagai rahasia. Akhirnya aku pun pulang duluan, malu juga kalau tiba-tiba aku mulai menangis didepan teman-temanku yang lain.

Malam itu aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Rasa menyesak yang kualami tadi sore menghantuiku, hingga aku terbawa kembali pada pertanyaan yang sama lagi. "Apa yang membuat kamu berubah pikiran? Kenapa sekarang kamu bertindak seakan-akan kamu tidak menyukai ayahmu lagi?" Aku mengetahui jawabannya sekarang Ayu, tetapi aku tidak ingin mengakuinya. 

Beberapa bulan berlalu secepat kilat, ujian malapetaka yang sudah dinanti-nanti pun tiba. Pikiranku diliputi rasa cemas. Tanganku gemetar sembari aku menghiasi kertas jawabanku dengan goresan pensil. Satu persatu aku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menghantam mentalku seperti pisau. Tetapi semua pertanyaan tadi bukan apa-apa dibandingkan apa yang akan aku alami selanjutnya.

"Dek, kamu ngga keterima ya?"

"Maaf ayah..." aku tidak berani menatapnya, pasti dia marah, pasti dia kecewa padaku. Seketika rasanya seperti aku sedang terjatuh ditengah lautan, terombak-ambik arus, bernafas pun susah. Jantungku tenggelam ke bawah permukaan samudra. Tapi, ternyata saat itu juga, aku merasakan kehangatan yang ku kenali, namun sudah lama tidak kurasakan. 

"Gapapa gek, nanti kita cari cara. Ayah nggak marah atau kecewa kok, Kadek mau sekolah kemana saja pasti ayah dukung. Yang penting jangan putus semangat ya," tuturnya dengan pelan, sambil memelukku dengan erat. 

Ayah bukanlah seseorang yang penuh kasih sayang, dia orangnya kasar, menang sendiri, dan sangat keras kepala. Bagi orang-orang disekitar dia sering merugikan, banyak yang tidak suka dengannya. Namun, kepada anaknya, apa sih yang tidak akan dia lakukan? Walaupun dia susah menunjukkannya, aku selalu tahu dia peduli banget kepada kita semua. 

"Ayo kita jalan-jalan sebentar gek, ayah sudah lama nggak ke alun alun renon. Nanti kita cari sop kambing kesukaanmu! Ayah sebenarnya nggak masalah kamu mau sekolah diluar pulau gek. Cuma satu saja masalahnya, kalo sekolahmu kejauhan nanti ayah gampang kangen hahaha. Makanya waktu itu ayah banyak tanya-tanya, soalnya ayah sedikit tidak rela ditinggal kamu" ujar ayahku sambil menggenggam tanganku dengan erat. Tanganku yang basah karena menghapus air mata yang terus mengalir.

"Apa yang membuat kamu berubah pikiran? Kenapa sekarang kamu bertindak seakan-akan kamu tidak menyukai ayahmu lagi?" Aku mengetahui jawabannya sekarang Ayu, dan aku siap mengakuinya. Aku tidak pernah berubah pikiran, aku tidak pernah berhenti menyayangi ayahku. Tapi saat itu aku malu. Malu untuk mengakui seseorang yang suka menyusahkan orang lain sebagai pahlawanku. Tetapi, kenyataannya begitu dan aku menyadarinya sekarang.

Tidak ada yang namanya manusia sempurna. Bahkan pahlawan yang gagah dan berani memiliki sisi buruk. Kini, aku berani berkata bahwa, iya ayahku adalah pahlawanku. Ayahku yang keras kepala, kasar, dan menang sendiri. Ayahku yang tidak pernah melupakan makanan kesukaanku. Ayahku yang sedikit menakutkan, tetapi tulus. Ayahku yang selalu berusaha menjadi lebih baik demi anaknya.

Ayahku tidak sempurna, tetapi bagaimanapun juga, dia akan selalu menjadi pahlawanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun