Mohon tunggu...
Putu RatihPrisanti
Putu RatihPrisanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Siswi

Seorang siswi yang suka menulis :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kau Tetap Pahlawanku

30 November 2023   10:31 Diperbarui: 30 November 2023   10:53 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Yaudah gek... terserah kamu kok kamu mau kemana. Tapi jalaninnya yang benar"

"Hah? Gitu doang? Jadi ayah biarin nih aku mau kemana?"

"Iya terserah"

"Iya terserah" aku harus mengulang kembali kata-kata tersebut. Apa yang terjadi? Kenapa kok dia tidak melawan aku balik? Jangan bilang dia lagi mabuk lagi. Apa dia juga sudah muak sama aku? Sudahlah aku terima saja restunya, walaupun aku merasa dia menjawabnya dengan setengah hati. Aku mending fokus sama tujuanku saja. 

Begitulah hubunganku dengan ayahku akhir-akhir ini. Setelah tidak ada Indra, rumah ini menjadi jauh lebih sepi dari sebelumnya. Padahal sekarang ayah tidak sesibuk dulu, keadaan ekonomi keluarga kita sudah lebih stabil, dan Surya juga sudah bisa merawat dirinya sendiri sekarang. Akhir-akhir ini aku lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah bersama teman-temanku. Hari ini aku juga ada janjian untuk jalan-jalan bersama mereka untuk mengelilingi alun alun kota. Setelah izin, akupun berangkat menuju lokasi yang sudah ditentukan.

 Suasananya seru, seperti biasa penuh dengan canda tawa, tapi ada sesuatu yang membuatku merasa lebih melankolik dari biasanya. Alun-alun Renon... membawa kembali banyak sekali kenangan masa kecil. Rasanya aku kembali ke saat itu. Saat kita semua masih kecil, dan ayah masih muda. Dulu Indra senang sekali menerbangkan layang-layang bersama kawan-kawannya di sini. Hahah, jadi teringat juga saat Surya berusaha menerbangkan layangan juga, namun akhirnya malah tersangkut pada pohon yang tinggi. Aku bahkan masih bisa mencium kuah kambing kesayanganku. Saat itu kita masih miskin, jarang-jarang bisa makan diluar rumah. Saat itu aku baru saja memenangkan sebuah lomba, duh sekarang sudah lupa lomba apa. Tapi yang aku ingat adalah seberapa bahagianya kita bertiga, saat melihat ayah membawakan semangkuk sop kambing yang terlihat lezat sekali. Tiada yang tahu ayah dapat uangnya dari mana, tapi saat itu aku tidak peduli. Makan di restoran bintang lima pun tidak akan bisa membuatku sebahagia itu. Sejak saat itu, setiap kali salah satu dari kita memenangkan sesuatu yang besar, maka ayah akan mengajak kita makan di sini.

Tapi sekarang aku tahu... ternyata dibelakang semangkuk kuah tersebut, ayah harus meminjam dan mendapatkan uang melalui berbagai cara yang tidak benar. Kini aku tahu bahwa dibalik semua itu, ayah telah mengotori tangannya. Dan kini, kebahagiaan suci itu pun telah ternodai. Andai saja aku tetap menutup mataku dari kelakuan ayahku, maka mungkin aku bakal lebih bahagia pula saat ini. Tapi entah apa yang bisa terjadi padanya...

"Kadek? Kamu kenapa?" tiba-tiba Ayu membangunkanku dari renunganku. Tanpa ku sadari, sepertinya aku meneteskan air mata. Rupanya aku sudah tidak bisa menahannya lagi, rasa rindu yang tak terobati. Aku kangen masa-masa itu. Aku kangen kebahagiaan palsu yang diberikan ayahku saat itu. Aku kangen dengan diriku yang masih mengira dia adalah seorang ksatria putih, tertipu oleh senyumannya yang menyembunyikan berbagai rahasia. Akhirnya aku pun pulang duluan, malu juga kalau tiba-tiba aku mulai menangis didepan teman-temanku yang lain.

Malam itu aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Rasa menyesak yang kualami tadi sore menghantuiku, hingga aku terbawa kembali pada pertanyaan yang sama lagi. "Apa yang membuat kamu berubah pikiran? Kenapa sekarang kamu bertindak seakan-akan kamu tidak menyukai ayahmu lagi?" Aku mengetahui jawabannya sekarang Ayu, tetapi aku tidak ingin mengakuinya. 

Beberapa bulan berlalu secepat kilat, ujian malapetaka yang sudah dinanti-nanti pun tiba. Pikiranku diliputi rasa cemas. Tanganku gemetar sembari aku menghiasi kertas jawabanku dengan goresan pensil. Satu persatu aku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menghantam mentalku seperti pisau. Tetapi semua pertanyaan tadi bukan apa-apa dibandingkan apa yang akan aku alami selanjutnya.

"Dek, kamu ngga keterima ya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun