Mohon tunggu...
I Putu Merta
I Putu Merta Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Love What You Do, Do What You Love

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hukum Sebab Akibat

23 Juni 2022   09:20 Diperbarui: 23 Juni 2022   09:47 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kisah Petapa Telanjang Jambuka 1.

PERBUATAN JAHAT JAMBUKA PADA MASA LAMPAU.

Dalam masa Buddha Kassapa, seorang kaya dari sebuah desa di daerah perbatasan membangun sebuah vihàra untuk seorang bhikkhu. Ia secara rutin memberikan dàna makanan, jubah, tempat tinggal, dan obat-obatan—empat kebutuhan bhikkhu kepada bhikkhu yang menetap disana. Bhikkhu itu juga secara rutin mengunjungi rumah si orang kaya untuk makan setiap hari.

Suatu hari, seorang bhikkhu senior yang adalah seorang Arahanta, sedang mengumpulkan dàna makanan, dan tiba di pintu gerbang rumah si orang kaya. Si orang kaya tersebut sangat terkesan dengan sikap bhikkhu tersebut, sehingga ia mengundangnya untuk masuk ke rumahnya dan mempersembahkan makanan dengan penuh hormat dan berkata:

“Bhante, terimalah sepotong kain ini untuk digunakan sebagai jubah setelah dicelup dan dijahit; rambutmu juga sudah cukup panjang; aku akan membawakan seorang tukang cukur dan tempat tidur untukmu ke vihàra.”

Bhikkhu yang menetap di vihàra itu melihat bagaimana penuh hormatnya si orang kaya tersebut terhadap bhikkhu Arahanta tersebut. Ia dikuasai oleh pikiran jahat yaitu rasa iri hati sehubungan dengan dàna yang diperoleh bhikkhu Arahanta. Ia merasa terluka dan tertekan, berpikir:

 'Orang kaya ini lebih menghormati bhikkhu yang baru ia temui daripada aku yang setiap hari mengunjungi rumahnya untuk makan.'

 Ia kembali ke vihàra dengan perasaan marah.

Bhikkhu tamu itu yang adalah seorang Arahanta mengikuti si bhikkhu tuan rumah ke vihàranya. Ia mencelup dan menjahit potongan kain yang didanakan kepadanya oleh si penyumbang vihàra yang kaya raya kemudian ia duduk mengenakan jubahnya; si orang kaya tiba dengan membawa seorang tukang cukur yang akan mencukur rambut bhikkhu Arahanta tersebut.

Si orang kaya mempersiapkan tempat tidur yang ia bawa dalam keadaan siap pakai dan mengundang bhikkhu tersebut untuk beristirahat di atas tempat tidur tersebut. Kemudian setelah mengundang kedua bhikkhu tersebut untuk makan keesokan harinya, ia pulang ke rumah.

Bhikkhu tuan rumah begitu dikuasai oleh rasa dengki terhadap bhikkhu tamu sehingga ia mendatangi bhikkhu Arahanta yang sedang beristirahat, dan mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata yang kasar.

1. "Lihatlah wahai tamu… lebih baik engkau memakan kotoran daripada memakan makanan yang didanakan di rumah si orang kaya, penyumbang vihàraku."

2. "Lebih baik engkau mencabut rambutmu dengan batok kelapa daripada dicukur menggunakan pisau cukur milik tukang cukur yang dibawa oleh si orang kaya, penyumbang vihàraku."

3. "Lebih baik engkau bepergian dengan bertelanjang badan daripada mengenakan jubah yang didanakan oleh si orang kaya, penyumbang vihàraku."

4. "Lebih baik engkau tidur di atas tanah dari pada berbaring di atas tempat tidur yang didanakan oleh si orang kaya, penyumbang vihàraku."

Bhikkhu Arahanta tersebut meninggalkan vihàra pada dini hari untuk mencari tempat di mana ia dapat menemukan kedamaian dan kebahagiaan, mengabaikan undangan si orang kaya untuk makan, dengan pikiran; 'Tidak ada yang membahayakan yang dapat terjadi pada bhikkhu bodoh itu.'

Bhikkhu tuan rumah pagi-pagi sekali telah mulai mengerjakan semua tugas-tugas rutinnya, dan ketika tiba waktunya untuk mengumpulkan dàna makanan, ia berpikir;

'Tamu malas itu masih tidur. Aku harus membunyikan lonceng untuk membangunkannya.'

(Tetapi ia merasa khawatir jika tamunya akan benar-benar bangun mendengar bunyi lonceng), jadi ia hanya menyentuh lonceng itu dengan kukunya kemudian berangkat ke desa untuk menerima dàna makanan.

Setelah melakukan persiapan untuk berdana makanan, si orang kaya menunggu kedatangan dua bhikkhu yang diundangnya. Melihat si bhikkhu tuan rumah datang sendirian, ia bertanya:

“Bhante, di manakah tamu Thera?”

Bhikkhu tuan rumah yang iri hati itu menjawab:

“Jangan membicarakan dia, penyumbang vihàra! Bhikkhu itu masuk ke kamarnya untuk tidur sejak engkau meninggalkan vihàra kemarin dan tidak bangun sewaktu aku melakukan tugas-tugas rutin menyapu dan mengisi air; ia bahkan tidak mendengar bunyi lonceng yang kupukul sebagai tanda tiba waktunya untuk mengumpulkan dàna makanan.”

Si orang kaya berpikir: 'Tidak masuk akal, pribadi yang agung dengan sikap yang patut dipuji, tidurnya begitu lama; bhikkhu tuan rumah ini, karena iri hati melihat rasa hormatku kepada si bhikkhu tamu, pasti telah mengucapkan kata-kata kasar kepadanya.'

Menduga demikian dan memang demikianlah adanya, ia dengan bijaksana, menyimpan sendiri dugaan itu dan dengan penuh hormat mempersembahkan makanan kepada bhikkhu itu. Setelah selesai makan, ia mengambil mangkuk bhikkhu itu dan mencucinya dengan hati-hati kemudian mengisinya dengan makanan-makanan lezat; ia mengembalikan mangkuk itu dengan permohonan:

“Bhante, mohon sampaikan makanan ini kepada si bhikkhu tamu jika engkau bertemu dengannya.”

Dalam perjalanan kembali ke vihàra membawa makanan untuk bhikkhu Arahanta, si bhikkhu tuan rumah yang iri hati itu berpikir: 'Tamu malas itu akan menetap di vihàra jika ia menikmati makanan lezat seperti ini,' maka ia membuang semua makanan yang ada dalam mangkuk itu yang didanakan oleh si orang kaya penyumbang vihàra.

Setibanya di kamar bhikkhu tamu, ia mencarinya, namun tidak dapat menemukan si bhikkhu Arahanta.

Perbuatan jahat si bhikkhu yang iri hati terhadap bhikkhu Arahanta (menghancurkan makanan yang didanakan kepada Arahanta) begitu berat, bahkan lebih berat daripada kebajikan yang ia lakukan selama dua puluh tahun menjalani kehidupan suci sebagai bhikkhu.

Demikianlah, setelah meninggal dunia, ia terlahir di alam sengsara yang paling rendah (Mahà âvici) untuk mengalami penderitaan yang hebat selama waktu yang tidak terhitung lamanya sejak lenyapnya Buddha Kassapa dan munculnya Buddha Gotama.

Setelah mengalami penderitaan di sana, ia terlahir kembali dalam sebuah keluarga yang berkecukupan, di mana makanan berlimpah, di Ràjagaha pada masa Buddha Gotama.

Ia diberi nama Jambuka oleh orangtuanya. Ia tidak mau tidur di atas tempat tidur sejak ia bisa berjalan; dan tidak memakan makanan biasa, ia terus memakan kotorannya sendiri. Orangtua dan sanak saudaranya berpikir bahwa ia berperilaku demikian karena kebodohan seorang anak kecil dan mencoba memperbaiki perilakunya, berusaha memberinya makan dan membersihkan badannya.

Tetapi, bahkan hingga dewasa, ia tidak mau memakai pakaian; ia bepergian dengan bertelanjang badan, tidur di atas tanah, dan memakan kotorannya sendiri.

Seiring dengan waktu, orangtua Jambuka menyadari bahwa “ia tidak patut tinggal hidup dalam keluarga terhormat seperti mereka; ia tidak memiliki rasa malu dan sebaiknya tinggal bersama para Ajivaka, sebuah kelompok yang terdiri dari para petapa telanjang.” Maka mereka membawanya ke Vihàra Ajivaka dan mempercayakan anak mereka kepada para petapa di vihàra tersebut.

Para petapa Ajivaka kemudian menahbiskannya sebagai calon petapa dalam kelompoknya dengan cara sebagai berikut:

Ia ditempatkan dalam sebuah lubang yang dalam hingga ke lehernya; papan-papan kayu diletakkan menutupi lubang di atas kedua bahunya (sehingga ia tidak dapat berusaha keluar). Duduk di atas papan tersebut, para Ajivaka mencabuti rambut dari kepala Jambuka

(Demikianlah proses penahbisan yang dilakukan oleh petapa Ajivaka).

Kemudian orangtuanya pulang setelah mengundang para petapa Ajivaka untuk makan keesokan harinya.

Keesokan harinya, para Ajivaka mengajak Jambuka, “Mari kita pergi ke desa.” Ia menjawab, “Sebaiknya kalian saja yang pergi, aku akan tinggal di vihàra.” Setelah beberapa kali mencoba mengajaknya dengan sia-sia, akhirnya mereka meninggalkannya sendirian dan pergi ke desa.

Begitu ia mengetahui bahwa mereka semua telah pergi, ia menyingkirkan kayu yang menutupi kakus dan masuk ke dalam lubang kakus, memungut kotoran-kotoran dengan kedua tangannya dan memakannya sampai puas.

Para Ajivaka, (tidak mengetahui kejadian sebenarnya), mengirimkan makanan untuknya dari desa. Tetapi ia tidak tertarik dengan makanan tersebut dan menolaknya, meskipun telah dibujuk dan dinasihati oleh para Ajivaka, jawabannya selalu:

“Aku tidak menginginkan makanan ini, aku sudah cukup makan.”

Ketika ditanya: “Dari mana engkau mendapatkan makanan.”

Ia menjawab: “Dari dalam kawasan vihàra ini.”

Hari kedua, ketiga, dan keempat berlalu dengan peristiwa yang sama, Jambuka selalu menolak undangan untuk keluar menerima dàna makanan, memilih untuk tetap tinggal di vihàra.

Para petapa Ajivaka mulai bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Jambuka, “Jambuka ini selalu menolak setiap kali diajak untuk pergi ke desa, menolak makanan yang dikirim untuknya, dan berkata bahwa ia memperoleh makanan dari dalam kawasan vihàra. Apa yang terjadi; kita harus menyelidikinya.”

Mereka kemudian memutuskan untuk menunjuk satu atau dua petapa untuk tetap tinggal dan mengamati kegiatan Jambuka, ketika mereka pergi ke desa. Mereka yang ditunjuk untuk menyelidiki, berpura-pura turut dalam rombongan, namun mereka menyamar untuk mengamati Jambuka.

Merasa bahwa semua petapa Ajivaka telah pergi ke desa. Jambuka masuk ke kakus seperti hari-hari sebelumnya dan memakan
kotoran.

Jambuka tertangkap basah oleh para penyelidik dan hal ini dilaporkan kepada para senior mereka.

Para senior, mendengar laporan ini berbisik:

“Perbuatan Jambuka sangat memprihatinkan; jika para siswa Petapa Gotama mengetahui masalah ini, mereka pasti mencela kita sebagai kelompok petapa pemakan kotoran, akan sangat merusak martabat kita. Ia tidak boleh tinggal bersama kita lebih lama lagi.”

Demikianlah akhirnya mereka sepakat untuk mengusirnya dari kelompok mereka.

Setelah diusir oleh para petapa Ajivaka, ia pergi dan menetap di dekat sebuah batu besar yang lokasinya berdekatan dengan tempat yang biasa digunakan oleh para penduduk Ràjagaha sebagai kakus umum. Di sana juga terdapat sebuah pipa pembuangan besar berdekatan dengan batu besar itu.

Orang-orang biasanya membuang hajatnya di balik batu besar tersebut. Jambuka memakan kotoran-kotoran tersebut pada malam hari, ketika orang-orang datang menjawab panggilan alam, ia berdiri dengan tangan bersandar pada sisi batu dan sebelah kakinya bertumpu di atas lutut kaki lainnya, mendongakkan kepalanya dengan mulut terbuka.

Mereka yang datang menjawab panggilan alam, sewaktu melihatnya, mendekat dan bertanya:

“Tuan, mengapa engkau berdiri seperti itu dengan mulut terbuka?”

“Aku hidup dari udara, tidak ada makanan bagiku selain udara,” ia membual.

Orang-orang akan bertanya lagi: “Tuan, mengapa engkau berdiri dengan satu kaki, dengan kaki lainnya bertumpu di lutut kaki yang lain?”

“Aku sedang menjalani latihan keras; jika aku berdiri dengan kedua kakiku menyentuh tanah, bumi ini tidak mampu menahan kemuliaanku dan akan berguncang keras; itulah sebabnya aku berdiri dengan posisi seperti ini. Sebenarnya karena gempa bumi, aku harus berdiri di atas satu kaki siang dan malam, tanpa duduk, tanpa tidur,” jawab Jambuka dengan sombong.

(Pada umumnya, orang-orang biasanya memercayai apa yang dikatakan oleh orang lain; hanya sedikit yang mau bersusah payah mempertimbangkan apakah yang dikatakan itu benar atau tidak).

Maka mereka berkata dengan penuh hormat: “O betapa menakjubkan! Ada orang di dunia ini yang menjalani latihan sekeras ini. Kami belum pernah melihat orang yang mempraktikkan latihan sekeras ini.”

Banyak orang dari kerajaan Ańga dan Magadha yang tergerak dan bergairah mendengar berita mengenai latihan keras yang dilakukan oleh Jambuka, datang membawa persembahan untuknya dan secara rutin datang untuk memberi hormat setiap bulan.

Jambuka tetap menolak makanan lezat yang dipersembahkan oleh orang-orang, dan tetap berkata:

“Aku hidup hanya dari udara; aku tidak memakan makanan lain; jika aku memakan makanan lain selain udara, itu artinya aku merusak latihanku.”

Orang-orang terus-menerus memohon dengan berkata: “Yang Mulia, mohon engkau tidak menghalangi kami untuk memperoleh jasa; jika seorang seperti engkau, yang menjalani latihan keras, menerima persembahan makanan dari kami, semoga kemakmuran dan kebahagiaan kami tumbuh berkembang dan bertahan lama.”

Jambuka tidak tertarik pada makanan apa pun, namun dipaksa oleh permohonan tulus dari para penduduk, ia terpaksa memakan makanan itu berupa mentega dan gula merah yang dipersembahkan oleh para penduduk, mengambilnya dengan ujung sehelai rumput, demi menyenangkan mereka. Kemudian ia membubarkan mereka, berkata:

“Pergilah kalian sekarang; ini sudah cukup untuk kebaikan kalian.”

Demikianlah Jambuka harus membayar kejahatannya terhadap Arahanta selama lima puluh lima tahun dalam empat cara berikut:

1. Ia tidak dapat mengenakan pakaian.

2. Ia tidak dapat memakan makanan apapun kecuali kotoran.

3. Ia harus mencabuti rambutnya dengan menggunakan batok kelapa.

4. Ia tidur di atas tanah.

(Kesimpulan: kata-kata kasar yang didasarkan atas kebencian, akan membawa akibat yang menyedihkan.)

Riwayat Agung Para Buddha  - Mingun Sayadaw.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun