Mohon tunggu...
I Putu Merta
I Putu Merta Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Love What You Do, Do What You Love

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hukum Sebab Akibat

23 Juni 2022   09:20 Diperbarui: 23 Juni 2022   09:47 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Jangan membicarakan dia, penyumbang vihàra! Bhikkhu itu masuk ke kamarnya untuk tidur sejak engkau meninggalkan vihàra kemarin dan tidak bangun sewaktu aku melakukan tugas-tugas rutin menyapu dan mengisi air; ia bahkan tidak mendengar bunyi lonceng yang kupukul sebagai tanda tiba waktunya untuk mengumpulkan dàna makanan.”

Si orang kaya berpikir: 'Tidak masuk akal, pribadi yang agung dengan sikap yang patut dipuji, tidurnya begitu lama; bhikkhu tuan rumah ini, karena iri hati melihat rasa hormatku kepada si bhikkhu tamu, pasti telah mengucapkan kata-kata kasar kepadanya.'

Menduga demikian dan memang demikianlah adanya, ia dengan bijaksana, menyimpan sendiri dugaan itu dan dengan penuh hormat mempersembahkan makanan kepada bhikkhu itu. Setelah selesai makan, ia mengambil mangkuk bhikkhu itu dan mencucinya dengan hati-hati kemudian mengisinya dengan makanan-makanan lezat; ia mengembalikan mangkuk itu dengan permohonan:

“Bhante, mohon sampaikan makanan ini kepada si bhikkhu tamu jika engkau bertemu dengannya.”

Dalam perjalanan kembali ke vihàra membawa makanan untuk bhikkhu Arahanta, si bhikkhu tuan rumah yang iri hati itu berpikir: 'Tamu malas itu akan menetap di vihàra jika ia menikmati makanan lezat seperti ini,' maka ia membuang semua makanan yang ada dalam mangkuk itu yang didanakan oleh si orang kaya penyumbang vihàra.

Setibanya di kamar bhikkhu tamu, ia mencarinya, namun tidak dapat menemukan si bhikkhu Arahanta.

Perbuatan jahat si bhikkhu yang iri hati terhadap bhikkhu Arahanta (menghancurkan makanan yang didanakan kepada Arahanta) begitu berat, bahkan lebih berat daripada kebajikan yang ia lakukan selama dua puluh tahun menjalani kehidupan suci sebagai bhikkhu.

Demikianlah, setelah meninggal dunia, ia terlahir di alam sengsara yang paling rendah (Mahà âvici) untuk mengalami penderitaan yang hebat selama waktu yang tidak terhitung lamanya sejak lenyapnya Buddha Kassapa dan munculnya Buddha Gotama.

Setelah mengalami penderitaan di sana, ia terlahir kembali dalam sebuah keluarga yang berkecukupan, di mana makanan berlimpah, di Ràjagaha pada masa Buddha Gotama.

Ia diberi nama Jambuka oleh orangtuanya. Ia tidak mau tidur di atas tempat tidur sejak ia bisa berjalan; dan tidak memakan makanan biasa, ia terus memakan kotorannya sendiri. Orangtua dan sanak saudaranya berpikir bahwa ia berperilaku demikian karena kebodohan seorang anak kecil dan mencoba memperbaiki perilakunya, berusaha memberinya makan dan membersihkan badannya.

Tetapi, bahkan hingga dewasa, ia tidak mau memakai pakaian; ia bepergian dengan bertelanjang badan, tidur di atas tanah, dan memakan kotorannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun