1. "Lihatlah wahai tamu… lebih baik engkau memakan kotoran daripada memakan makanan yang didanakan di rumah si orang kaya, penyumbang vihàraku."
2. "Lebih baik engkau mencabut rambutmu dengan batok kelapa daripada dicukur menggunakan pisau cukur milik tukang cukur yang dibawa oleh si orang kaya, penyumbang vihàraku."
3. "Lebih baik engkau bepergian dengan bertelanjang badan daripada mengenakan jubah yang didanakan oleh si orang kaya, penyumbang vihàraku."
4. "Lebih baik engkau tidur di atas tanah dari pada berbaring di atas tempat tidur yang didanakan oleh si orang kaya, penyumbang vihàraku."
Bhikkhu Arahanta tersebut meninggalkan vihàra pada dini hari untuk mencari tempat di mana ia dapat menemukan kedamaian dan kebahagiaan, mengabaikan undangan si orang kaya untuk makan, dengan pikiran; 'Tidak ada yang membahayakan yang dapat terjadi pada bhikkhu bodoh itu.'
Bhikkhu tuan rumah pagi-pagi sekali telah mulai mengerjakan semua tugas-tugas rutinnya, dan ketika tiba waktunya untuk mengumpulkan dàna makanan, ia berpikir;
'Tamu malas itu masih tidur. Aku harus membunyikan lonceng untuk membangunkannya.'
(Tetapi ia merasa khawatir jika tamunya akan benar-benar bangun mendengar bunyi lonceng), jadi ia hanya menyentuh lonceng itu dengan kukunya kemudian berangkat ke desa untuk menerima dàna makanan.
Setelah melakukan persiapan untuk berdana makanan, si orang kaya menunggu kedatangan dua bhikkhu yang diundangnya. Melihat si bhikkhu tuan rumah datang sendirian, ia bertanya:
“Bhante, di manakah tamu Thera?”
Bhikkhu tuan rumah yang iri hati itu menjawab: