*) Naskah cerita pendek ini telah diikutsertakan dalam bidang lomba menulis cerita pendek dalam ajang Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Jenjang siswa SMA Tingkat Kota Denpasar 2024. Hak cipta karya dimiliki oleh penulis cerpen Putu Mahatma Satria Wibawa, SMA Negeri 1 Denpasar dan Dinas Pendidikan & Kebudayaan Kota Denpasar.
[1]
Ritual Senin pagi, seperti awal minggu biasanya, Ratna menarik napas panjang. Dengan kesadaraan yang tersisa separuh dan dering alarm berbunyi penuh membuat Ratna menggerutu kenapa waktu seakan cepat berlalu dan luluh. Ratna menarik nafas panjang. Ia terbangun dengan kesal, langkah kaki berlari kecil dan ranjang yang masih tak dirapikan.
Ratna kesal. Ratna merasa kesal dengan rutinitasnya yang serba tergesa-gesa. Tidakkah ia dapat menghentikan waktu, barang sedetik saja agar ia dapat memaknai setiap tarikan nafas dan jejak kaki yang ia lakukan setiap harinya? Tidakkah waktu berbelas kasih pada orang yang senantiasa berkeluh kesah? Ratna menarik nafas panjang. Rutinitas yang tergesa dan tanpa makna, pikirnya.
Ketika Ratna keluar dari kamar rusunnya, menuruni tangga ke teras dan keluar ke halte bus, sorot matanya terhenti sejenak. Bagaikan kilat halilintar di tengah malam, singkat dan mengagetkan. Dari deretan gedung-gedung tinggi di kompleks kotanya, dengan kemegahan arsitektur yang seakan berlomb siapa yang akan mencakar langit paling tinggi.
Dalam gemerlap kota metropolitan, terdapat manusia yang menjalani hari baik mode menikmati atau mode bertahan hidup. Surga dan neraka, langit dan bumi, alam para dewa dan alam setan, tidak berjarak lebih jauh dari pintu masuk rumah susun tempat indekosnya berada di lantai atas.
Terbiasa hidup di pedesaan, Ratna tidak pernah menyangka bahwa di Ibukota terdapat manusia lain yang hidup dengan mengikis makanan pada tempat sampah di belakang gedung rumah susun. Ratna tertegun dan tercengang melihat bagaimana orang-orang yang selama ini tinggal di bawah jembatan, berlomba mengais makanan di tempat sampah bersama dengan hewan liar di kota, hidup dalam satu kawasan dengan pusat perekonomian negara ini? Dengung di kepala Ratna dibuyarkan dengan suara bus kota yang tiba di depan halte. Langkah Ratna perlahan, lalu Ia duduk di bangku paling belakang dekat jendela.
Baru sebulan Ratna merantau ke Ibukota, namun dunia nyata telah menghajarnya dengan beragam realita yang kasat mata. Tiba-tiba Ratna merasa rindu akan desa yang menyaksikan belasan tahun kelahiran dan pertumbuhannya. Kemacetan dan suara klakson serta asap hitam pabrik industri yang membumbung di udara membuat Ratna ingin kembali pulang. Ke suatu tempat yang dimana ia sebut rumah.
[2]
“Ibu, aku lelah hidup seperti ini di sini! Desa ini begitu membosankan! Apa yang dapat kita banggakan dari desa ini? Jalan yang kumuh, infrastruktur yang mangkrak, atap rumah yang bocor dan pintu rumah yang kendor, aku lelah! Aku ingin sekali menjalani hari seperti remaja di telenovela. Berjalan-jalan di sekeliling kota dengan gaun terbaik, mobil sedan terbaru, jalanan yang dipenuhi gedung tinggi. Oh, Sungguh indah lamunanku.” Ni Luh Putu Ratna menggerutu sembari menggosok pakaiannya di belakang rumah. Keringat mengucur dari rambutnya. Lengannya telah gatal digigit nyamuk. Udara yang panas. Ratna menghibur dirinya sendiri dengan berbagai keluhan.
“Sudahi lamunanmu itu, Luh. Sudah, jalani saja apa yang telah kita punya saat ini. Dasar anak tidak bisa bersyukur!” Dengan raut muka lelah, Ibunya mengeluarkan adonan kue yang telah mengembang. Mengemas kue-kue itu dengan baik untuk kemudian dia titip untuk dijual di warung sebelah.
“Ibu, usiaku sekarang telah 17 tahun. Tahun depan aku tamat SMA. Aku ingin sekali merasakan pengalaman berkuliah dan hidup sebagai gadis remaja kota metropolitan. Lihat, bahkan Desa kita tidak mempunyai SMA! Aku harus naik bemo ke desa sebelah setiap pagi karena SMA terdekat ada disana. Hanya anak-anak dan orang yang sudah pensiun yang masih tinggal di Desa kita ini, Bu.” Ratna memeras pakaian, mengeluarkan airnya lalu menjemurnya di halaman belakang.
“Ibu dengar cerita si Ratih? Anak tetangga sebelah, dapat beasiswa kuliah sarjana di luar negeri. Hidupnya pasti enak disana…”
“Darimana kau bisa mengambil kesimpulan bahwa hidupnya Ratih bagus di luar negeri? Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, bukan? Siapa tahu kalau Ratih-anak-tetangga-sebelah tidak nyaman di sana. Dia hanya menceritakan bagian bagusnya saja.” Ibu menaruh semua kue yang telah dikemas dalam suatu besek besar. “Hidup itu tentang bagaimana kita mensyukurinya.”
Sekali lagi, Ratna menarik napas panjang. Tatapan matanya menerawang ke atas awan. Lamunan panjang yang membuatnya nyaman. Sejenak, ia melupakan identitas dirinya sebagai gadis desa yang hidup dalam cara tradisional. Melupakan bahwa ia hidup dari merajut mimpi-mimpi.
[3]
Tujuan akhir dari sebuah mimpi adalah untuk dicapai. Bagaikan kilat halilintar di tengah malam, singkat dan mengagetkan. Pengumuman seleksi beasiswa kuliah sarjana yang Ratna dapatkan hari ini membuat senyum di wajahnya merekah sepanjang hari. Dia menari-nari tak peduli meski hujan membanjiri. Meski rintik hujan melatari hari terakhirnya sebagai seorang siswi. Dengan surat penerimaan beasiswa di atas kotak pos rumahnya, kabar baik itu tersebar di penjuru rumah. Kue-kue yang dipanggang dengan cinta telah matang.
“Ibu sangat bangga sama kamu.” Ibu memeluk Ratna dan mencium kedua pipinya.
“Aku juga bangga dengan diriku sendiri. Lihat Bu, akhirnya aku akan merantau ke Ibukota! Bukankah itu luar biasa? Bukankah itu merupakan impian yang sering kita bicarakan setiap hari?” Ratna melompat-lompat kegirangan. Hujan merembes masuk dalam atap rumahnya yang bocor dan pintu rumahnya yang kendor. Namun apa peduli Ratna dan Ibunya lagi. Lihat, secercah cahaya harapan menerangi sore yang gelap dan mencekam. Harapan itu bagaikan pelita yang menyala dan membesar. Menyebarkan cahayanya bagi kegelapan di sekitar.
[4]
Merajut mimpi, Merajut Asa.
Empat kata itu ditulis Ratna dalam halaman pertama buku hariannya. Kata-kata itu membuat api di hatinya membara. Meyakinkan diri bahwa masih ada harapan untuk diraih, ia ingin hidup bagaikan pelita. Menghadirkan cahaya bagi kegelapan di sekitarnya. Seperti pemandangan di jendela bus ibukota malam ini, gelap dan kosong. Angin musim hujan yang dingin membuat Ratna memakai hampir lima lapis pakaian. Berikut dengan mantel, kaos kaki yang dirajut tebal dengan sepatu berhak sedang dan payung yang hampir rusak karena kencangnya angin badai dan hujan tengah malam.
Ketika Ia turun dari bus pada tengah malam, ia mengetahui bahwa Ibukota sejatinya kota yang tidak pernah tidur. Hiburan selama dua puluh empat jam serta lampu kota yang menyala sangat terang membuat Ratna merasa bahwa Ibukota merupakan tempat yang amat romantis. Namun, lagi-lagi sorot matanya menangkap suatu bayangan. Sekumpulan pasutri baru yang sedang berbulan madu dan di sebelahnya terdapat seorang tunawisma sedang mencoba tidur dengan dinginnya udara di bangku taman kota membuat benak Ratna menjadi gundah. Matanya hampir menitikkan air mata.
Sedekat inikah jarak surga dan neraka? Sejauh inikah jarak jurang borjuis dan proleta?
Ratna membuka tas punggungnya. Ia ingat bahwa ia baru membeli beberapa bungkus roti yang masih hangat. Ia berjalan perlahan menuju bangku taman kota. Tunawisma itu ternyata belum tertidur lelap. Dalam lagu-lagu bising yang diputar di taman kota, ia masih mendengar gemuruh perut orang-orang yang berteriak ingin makanan. Wanita tua tunawisma itu memandangi Ratna dengan mata penuh harap. Seluruh bungkus roti di tangan Ratna diulurkan kepada tangan wanita tua itu.
Tanpa kata-kata yang diucapkan, wanita tua itu menangis sesenggukan. Jemarinya yang berkeriput dan lemah membuka bungkusan roti secara pelan-pelan. Dalam dingin dan kejamnya rimba metropolitan dalam memperlakukan setiap manusia yang hidup di dalamnya, roti yang hangat menjadi pelita harapan bagi hidup wanita tua tersebut.
“Te-terima kasih banyak, Nak. Semoga Tuhan membalas kemurahan hatimu,” Lirih tutur katanya membuat hati Ratna menjadi perih. Dia memeluk wanita tua itu dengan erat, memberikan jaketnya, dan membelikannya segelas kopi panas sebagai satu-satunya hal yang hangat dalam dunia yang dingin dan keji.
Tak henti-hentinya Ratna menangis. Dalam lubuk hatinya, ia berdoa agar Tuhan mendengar rintihan kalbu orang-orang yang dijahati oleh dunia. Tidak ada lagi hal yang dapat Ratna sesali lagi dalam hidupnya. Sesampainya dia di kamar indekosnya dalam rumah susun, Ia tertunduk lesu sembari menatap jendela.
Gedung-gedung tinggi pencakar langit menghiasi malam dengan cahayanya. Gedung-gedung tinggi itu seakan angkuh dengan orang-orang yang berusaha bertahan hidup dengan mengorek sisa-sisa sampah manusia kota. Ratna jadi merasa bersalah kepada Ibunya di rumah karena ia selalu mengeluh.
Tiba-tiba ia teringat kata-kata ibunya yang ia dengar sebelum pindah ke Ibukota. Hidup itu tentang bagaimana kita mensyukurinya. Ah, itu dia! Hidup ini tentang bagaimana kita mensyukurinya! Mengapa Ratna tidak pernah terpikirkan sebelumnya? Mengapa ia tidak pernah mengambil makna dari segala ucapan dan tindakan? Mendadak mata Ratna menerawang ke langit-langit kamar kosnya. Dia tertidur. Kembali merajut mimpi-mimpi. Namun kali ini Ratna tidak lagi egois. Ia sekarang hidup dengan filosofi pelita. Pelita tidak akan terang apabila Ia hanya sibuk menyinari dirinya sendiri, melainkan akan terang kalau Ia menyinari tempat sekitarnya. Maka Ia merajut mimpi-mimpi untuk menerangi kegelapan di sekitarnya.
[5]
“Kalau kamu ingin membangun Indonesia, bangun dulu dari diri kualitas pendidikannya. Seluruh negara maju itu rata-rata memiliki skor PISA yang tinggi. Coba lihat Finlandia, Amerika Serikat dan Singapura. Wih…, kampus top global semua disana! Kualitas SDM-nya engga kaleng-kaleng!” Kata Dinda Wirama, seorang mahasiswi dalam sesi debat kelas ekonomi pembangunan hari ini. Seisi kelas berdecak kagum. Tepuk tangan bergemuruh. Namun, perhatian seluruh mahasiswa teralih kepada orang yang mengangkat tangan di bangku pojok belakang.
“Ya enggak, 'lah! Kalau mau membangun Indonesia itu, dari membangun infrastruktur dulu! Lihat negara maju dalam surat kabar, mereka mememtingkan infrastruktur dan sumber daya alamnya dulu, baru SDM.” Kata Bagus Widyadiningrat, mahasiswa lain yang tidak ingin kalah saing dengan Dinda. Beberapa mahasiswa mengangguk setuju dengan opini Bagus.
“Pendidikan dulu, baru infrastruktur! Kamu emang bakal makan jalan tol?!” Dinda bangkit dari tempat duduknya. Suasana kelas menjadi tegang. Pak dosen dan mahasiswa dalam kondisi siaga satu dalam menghadapi peperangan yang akan pecah dalam detik berikutnya.
“Cukup-cukup! Kalau menurut saya ya Pak, justru membangun Indonesia itu harus dilihat dari pembangunan gizinya dulu. Indonesia itu negara dengan rata-rata tinggi badan penduduknya yang terpendek di Indonesia lho Pak! Bapak bisa cek data di Mbah Google kalau tidak percaya,…” Tanggap Adi Hermawan. Kelas menjadi sangat gaduh. Mahasiswa yang berteriak dengan ide-ide di kepalanya. Pak dosen meminta agar semua mahasiswa tenang atau sesi debat tidak akan dilanjutkan. Namun perdebatan membuat suasana menjadi semakin gaduh.
“Pendidikan dulu dong! Itu modal paling utama dalam pembangunan!”
“Infrastruktur!”
“Gizi! Kalau rakyat tidak makan nanti pembangunan tidak jalan.”
“Cukup!”
“Benar, 'kan Pak? Kalau kita harus bangun infrastruktur dulu? Sekarang saja kita belajar di kampus dengan arsitektur gedung yang bagus, lantai marmer dan meja dari kayu terbaik!”
“CUKUP!” Kelas menjadi hening. Bahkan Ratna dapat mendengar suara tarikan nafas mahasiswi di sampingnya. Semua mahasiswa diminta untuk duduk kembali di tempat duduknya dengan rapi dan tenang. Sesi debat dilanjutkan kembali. “Apakah ada yang mau menambahkan opini yang lain?”
Ratna menggangkat tangan. Dia berdiri dari tempat duduknya. Semua mata terpaku padanya. “Terima kasih atas kesempatannya Pak, jadi dari opini saya justru faktor penting dalam pembangunan negara itu dengan membangun kondisi masyarakat sosial yang baik dan layak terlebih dahulu. Bayangkan kita belajar dalam ruang kelas dengan AC dua sementara di bawah gedung kampus ada tunawisma yang mengaruk-garuk sisa makanan pada bungkusan sampah? Justru kita harus memanusiakan manusia terlebih dahulu agar Indonesia dapat memiliki standar hidup yang layak. Di kebanyakan negara maju, standar hidup warganya sangat tinggi. Maka, penting bagi kita untuk memperbaiki terlebih dahulu standar hidup rakyat kita. Agar semua rakyat memiliki status ekonomi minimum yang tinggi. Dengan melakukan kebaikan di sekitar, secara sadar kebaikan akan memencar bagaikan cahaya pelita dalam kegelapan. Dengan standar kehidupan sosial yang layak, maka rakyat dapat memperoleh gizi, pendidikan dan terlibat dalam pembangunan Indonesia ke depannya. Sekian opini saya Pak, terima kasih.”
Namun tetap, seisi kelas hening dan mata mereka terpaku pada Ratna. Baru sesaat kemudian, Pak dosen menangguk dan memberikan apresiasi. Semua mahasiswa bertepuk tangan. Pak dosen meminta agar Ratna mengikuti seleksi pemilihan ketua BEM kampus. Awalnya Ratna ragu, namun dengan dorongan dari hati kecilnya, Ratna akhirnya memberanikan diri untuk melangkah maju. Inilah saatnya bagi Ratna untuk merealisasikan segala hal-hal yang hinggap di benaknya. Ratna sadar, apabila ide hanya disemayamkan dalam pikiran, itu tidak akan lebih dari lamunan dan rajutan mimpi-mimpi. Ratna sadar bahwa tujuan akhir dari mimpi adalah pencapaian. Dan sekarang adalah waktunya.
[6]
“Selamat atas terpilihnya ketua BEM Kampus yang baru! Kandidat atas nama Ni Luh Putu Ratna memperoleh 86% dari seluruh total suara!” Siaran media kampusnya berdengung ke seluruh sudut kelas. Diiringi riuhnya tepuk tangan, Ratna tersenyum dan menyampaikan pidato ucapan terima kasihnya di depan khalayak ramai. Ratna akhirnya akan merealisasikan program yang telah ia rencanakan dalam visi dan misinya.
“Pelita: Membawa Cahaya Baru Bagi Lingkungan Sekitar Kampus Kita, merupakan visi yang akan kita capai bersama dalam satu tahun ke depannya. Saya ingin membuat aksi Bakti Sosial untuk membantu lingkungan sekitar kita, khususnya anak-anak dan manula. Mari bersama-sama membawakan cahaya harapan bagi mereka semuanya. Karena hidup adalah tentang bagaimana kita mensyukurinya. Terima kasih, salam pelita!” Seisi auditorium bergetar dan menggelegar. Riuhnya tepuk tangan, sorot lampu kamera dan jurnalis kampus yang sibuk mewawancarai Ratna setelah Ia resmi dilantik menjadi ketua BEM tahun ini. Bersama-sama, bahu-membahu, ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul menjadi aksi nyata kemanusiaan. #bawapelitabagimereka #memanusiakanmanusia #membangunindonesiadarikita merupakan dua tagar yang menjadi populer di seluruh media sosial di Indonesia. Gerakan penggalian dana, penyaluran bantuan dan pemberian beasiswa menjadi semakin rajin diselenggarakan. Besar harapan Ratna untuk menyukseskan gerakan filosofi pelita tidak hanya di dalam negeri, melainkan ke seluruh dunia. Ibu Ratna yang menonton gerakan tersebut dari televisi rumahnya merasa sangat bangga. Putri kecilnya tumbuh menjadi seorang yang tidak hanya mementingkan egonya, melainkan memedulikan kepentingan bersama. Ia bangga bahwa kebaikan kecil di sekitar dapat berkembang dan membawa pengaruh yang besar bagi Indonesia. Bangga bahwa Ratna telah berhasil merajut mimpi dan merajut asa.
“Karena hidup itu tentang bagaimana kita mensyukurinya.” [PMSW]
Denpasar, 26 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H