[5]
“Kalau kamu ingin membangun Indonesia, bangun dulu dari diri kualitas pendidikannya. Seluruh negara maju itu rata-rata memiliki skor PISA yang tinggi. Coba lihat Finlandia, Amerika Serikat dan Singapura. Wih…, kampus top global semua disana! Kualitas SDM-nya engga kaleng-kaleng!” Kata Dinda Wirama, seorang mahasiswi dalam sesi debat kelas ekonomi pembangunan hari ini. Seisi kelas berdecak kagum. Tepuk tangan bergemuruh. Namun, perhatian seluruh mahasiswa teralih kepada orang yang mengangkat tangan di bangku pojok belakang.
“Ya enggak, 'lah! Kalau mau membangun Indonesia itu, dari membangun infrastruktur dulu! Lihat negara maju dalam surat kabar, mereka mememtingkan infrastruktur dan sumber daya alamnya dulu, baru SDM.” Kata Bagus Widyadiningrat, mahasiswa lain yang tidak ingin kalah saing dengan Dinda. Beberapa mahasiswa mengangguk setuju dengan opini Bagus.
“Pendidikan dulu, baru infrastruktur! Kamu emang bakal makan jalan tol?!” Dinda bangkit dari tempat duduknya. Suasana kelas menjadi tegang. Pak dosen dan mahasiswa dalam kondisi siaga satu dalam menghadapi peperangan yang akan pecah dalam detik berikutnya.
“Cukup-cukup! Kalau menurut saya ya Pak, justru membangun Indonesia itu harus dilihat dari pembangunan gizinya dulu. Indonesia itu negara dengan rata-rata tinggi badan penduduknya yang terpendek di Indonesia lho Pak! Bapak bisa cek data di Mbah Google kalau tidak percaya,…” Tanggap Adi Hermawan. Kelas menjadi sangat gaduh. Mahasiswa yang berteriak dengan ide-ide di kepalanya. Pak dosen meminta agar semua mahasiswa tenang atau sesi debat tidak akan dilanjutkan. Namun perdebatan membuat suasana menjadi semakin gaduh.
“Pendidikan dulu dong! Itu modal paling utama dalam pembangunan!”
“Infrastruktur!”
“Gizi! Kalau rakyat tidak makan nanti pembangunan tidak jalan.”
“Cukup!”
“Benar, 'kan Pak? Kalau kita harus bangun infrastruktur dulu? Sekarang saja kita belajar di kampus dengan arsitektur gedung yang bagus, lantai marmer dan meja dari kayu terbaik!”