[4]
Merajut mimpi, Merajut Asa.
Empat kata itu ditulis Ratna dalam halaman pertama buku hariannya. Kata-kata itu membuat api di hatinya membara. Meyakinkan diri bahwa masih ada harapan untuk diraih, ia ingin hidup bagaikan pelita. Menghadirkan cahaya bagi kegelapan di sekitarnya. Seperti pemandangan di jendela bus ibukota malam ini, gelap dan kosong. Angin musim hujan yang dingin membuat Ratna memakai hampir lima lapis pakaian. Berikut dengan mantel, kaos kaki yang dirajut tebal dengan sepatu berhak sedang dan payung yang hampir rusak karena kencangnya angin badai dan hujan tengah malam.
Ketika Ia turun dari bus pada tengah malam, ia mengetahui bahwa Ibukota sejatinya kota yang tidak pernah tidur. Hiburan selama dua puluh empat jam serta lampu kota yang menyala sangat terang membuat Ratna merasa bahwa Ibukota merupakan tempat yang amat romantis. Namun, lagi-lagi sorot matanya menangkap suatu bayangan. Sekumpulan pasutri baru yang sedang berbulan madu dan di sebelahnya terdapat seorang tunawisma sedang mencoba tidur dengan dinginnya udara di bangku taman kota membuat benak Ratna menjadi gundah. Matanya hampir menitikkan air mata.
Sedekat inikah jarak surga dan neraka? Sejauh inikah jarak jurang borjuis dan proleta?
Ratna membuka tas punggungnya. Ia ingat bahwa ia baru membeli beberapa bungkus roti yang masih hangat. Ia berjalan perlahan menuju bangku taman kota. Tunawisma itu ternyata belum tertidur lelap. Dalam lagu-lagu bising yang diputar di taman kota, ia masih mendengar gemuruh perut orang-orang yang berteriak ingin makanan. Wanita tua tunawisma itu memandangi Ratna dengan mata penuh harap. Seluruh bungkus roti di tangan Ratna diulurkan kepada tangan wanita tua itu.
Tanpa kata-kata yang diucapkan, wanita tua itu menangis sesenggukan. Jemarinya yang berkeriput dan lemah membuka bungkusan roti secara pelan-pelan. Dalam dingin dan kejamnya rimba metropolitan dalam memperlakukan setiap manusia yang hidup di dalamnya, roti yang hangat menjadi pelita harapan bagi hidup wanita tua tersebut.
“Te-terima kasih banyak, Nak. Semoga Tuhan membalas kemurahan hatimu,” Lirih tutur katanya membuat hati Ratna menjadi perih. Dia memeluk wanita tua itu dengan erat, memberikan jaketnya, dan membelikannya segelas kopi panas sebagai satu-satunya hal yang hangat dalam dunia yang dingin dan keji.
Tak henti-hentinya Ratna menangis. Dalam lubuk hatinya, ia berdoa agar Tuhan mendengar rintihan kalbu orang-orang yang dijahati oleh dunia. Tidak ada lagi hal yang dapat Ratna sesali lagi dalam hidupnya. Sesampainya dia di kamar indekosnya dalam rumah susun, Ia tertunduk lesu sembari menatap jendela.
Gedung-gedung tinggi pencakar langit menghiasi malam dengan cahayanya. Gedung-gedung tinggi itu seakan angkuh dengan orang-orang yang berusaha bertahan hidup dengan mengorek sisa-sisa sampah manusia kota. Ratna jadi merasa bersalah kepada Ibunya di rumah karena ia selalu mengeluh.
Tiba-tiba ia teringat kata-kata ibunya yang ia dengar sebelum pindah ke Ibukota. Hidup itu tentang bagaimana kita mensyukurinya. Ah, itu dia! Hidup ini tentang bagaimana kita mensyukurinya! Mengapa Ratna tidak pernah terpikirkan sebelumnya? Mengapa ia tidak pernah mengambil makna dari segala ucapan dan tindakan? Mendadak mata Ratna menerawang ke langit-langit kamar kosnya. Dia tertidur. Kembali merajut mimpi-mimpi. Namun kali ini Ratna tidak lagi egois. Ia sekarang hidup dengan filosofi pelita. Pelita tidak akan terang apabila Ia hanya sibuk menyinari dirinya sendiri, melainkan akan terang kalau Ia menyinari tempat sekitarnya. Maka Ia merajut mimpi-mimpi untuk menerangi kegelapan di sekitarnya.