“Sudahi lamunanmu itu, Luh. Sudah, jalani saja apa yang telah kita punya saat ini. Dasar anak tidak bisa bersyukur!” Dengan raut muka lelah, Ibunya mengeluarkan adonan kue yang telah mengembang. Mengemas kue-kue itu dengan baik untuk kemudian dia titip untuk dijual di warung sebelah.
“Ibu, usiaku sekarang telah 17 tahun. Tahun depan aku tamat SMA. Aku ingin sekali merasakan pengalaman berkuliah dan hidup sebagai gadis remaja kota metropolitan. Lihat, bahkan Desa kita tidak mempunyai SMA! Aku harus naik bemo ke desa sebelah setiap pagi karena SMA terdekat ada disana. Hanya anak-anak dan orang yang sudah pensiun yang masih tinggal di Desa kita ini, Bu.” Ratna memeras pakaian, mengeluarkan airnya lalu menjemurnya di halaman belakang.
“Ibu dengar cerita si Ratih? Anak tetangga sebelah, dapat beasiswa kuliah sarjana di luar negeri. Hidupnya pasti enak disana…”
“Darimana kau bisa mengambil kesimpulan bahwa hidupnya Ratih bagus di luar negeri? Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, bukan? Siapa tahu kalau Ratih-anak-tetangga-sebelah tidak nyaman di sana. Dia hanya menceritakan bagian bagusnya saja.” Ibu menaruh semua kue yang telah dikemas dalam suatu besek besar. “Hidup itu tentang bagaimana kita mensyukurinya.”
Sekali lagi, Ratna menarik napas panjang. Tatapan matanya menerawang ke atas awan. Lamunan panjang yang membuatnya nyaman. Sejenak, ia melupakan identitas dirinya sebagai gadis desa yang hidup dalam cara tradisional. Melupakan bahwa ia hidup dari merajut mimpi-mimpi.
[3]
Tujuan akhir dari sebuah mimpi adalah untuk dicapai. Bagaikan kilat halilintar di tengah malam, singkat dan mengagetkan. Pengumuman seleksi beasiswa kuliah sarjana yang Ratna dapatkan hari ini membuat senyum di wajahnya merekah sepanjang hari. Dia menari-nari tak peduli meski hujan membanjiri. Meski rintik hujan melatari hari terakhirnya sebagai seorang siswi. Dengan surat penerimaan beasiswa di atas kotak pos rumahnya, kabar baik itu tersebar di penjuru rumah. Kue-kue yang dipanggang dengan cinta telah matang.
“Ibu sangat bangga sama kamu.” Ibu memeluk Ratna dan mencium kedua pipinya.
“Aku juga bangga dengan diriku sendiri. Lihat Bu, akhirnya aku akan merantau ke Ibukota! Bukankah itu luar biasa? Bukankah itu merupakan impian yang sering kita bicarakan setiap hari?” Ratna melompat-lompat kegirangan. Hujan merembes masuk dalam atap rumahnya yang bocor dan pintu rumahnya yang kendor. Namun apa peduli Ratna dan Ibunya lagi. Lihat, secercah cahaya harapan menerangi sore yang gelap dan mencekam. Harapan itu bagaikan pelita yang menyala dan membesar. Menyebarkan cahayanya bagi kegelapan di sekitar.