Detail Sastrawi yang Mencengangkan
      Membentangkan skema plot memang cukup menantang. Tapi novel ini sangat memikat dan memuaskan. Kira-kira, menurut saya, ada paling tidak sepuluh alasan yang bisa membuat novel ini begitu patut dicintai. Dua di antaranya yang menurut saya paling dominan adalah penjabaran kondisi psikologis dan penggambaran filosofis alam.
      Joseph Conrad khusus menyediakan porsi akbar hanya untuk menjabarkan kondisi psikologis beberapa tokoh. Di tulis di tahun 1896, di mana novel-novel Eropa cenderung mengisahkan epik dan meromantisasi tokoh-tokoh, Joseph Conrad dengan kepiawaian dan keberaniannya menyodorkan tokoh-tokoh negatif dan depresif. Novel ini tidak dicekik kaidah-kaidah protagonis yang harus heroik. Protagonis tidak dibebani optimisme atau sifat-sifat positif lainnya. Ia bisa menjadi entitas depresif misalnya. Keterbukaan semacam ini, membantu temuan gejala psikologis pengidap megalomania dan pola keputusasaan yang nantinya semakin parah. Misalnya;
"The tremendous fact of our isolation, of the loneliness impenetrable and transparent, elusive and everlasting; of the indestructible loneliness that surrounds, envelops, clothes every human soul from the cradle to the grave, and, perhaps, beyond."
"Fakta pengasingan kelewat batas kita ini, tentang kesendirian tak terkira dan begitu nyata, sulit dimengerti dan kekal menyakiti; tentang kesendirian yang tak dapat diperangi, yang terus membuntuti, menjadi busana yang menyelimuti jiwa manusia dari buaian hingga alam baka, dan, mungkin, hingga melampauinya." (Penulis: Terjemah bebas)
Selanjutnya, novel ini membebaskan diri untuk bercerita dengan apa adanya, bahkan bisa dengan leluasa menjabarkan babak-belur moral. Misalnya dalam cuplikan berikut ini;
"They walk the road of life, the road fenced in by their tastes, prejudices, disdains or enthusiasms, generally honest, invariably stupid, and are proud of never losing their way."
"Di kehidupan ini mereka menjalani belenggu lelakon dari selera, prasangka, sikap merendahkan, biasanya jujur, seringnya bodoh, dan bangga telah mempertahankan kehidupan semacam ini." (Penulis: Terjemah bebas)
Sastra petualangan kerap terjebak atau tergelincir pada lubang eksotisme alam, tentang betapa perawan pulau tertentu atau pribumi barbar nan polos yang tak berbudaya, tak beradab. Keadaan ini berbalik dengan bagaimana Joseph Conrad menjabarkan kondisi alam. Ia memandang alam sebagaimana makhluk hayati yang bernapas dan bisa membisikkan padanya tentang tanda-tanda. Alam sangat hidup, sama hidupnya dengan tokoh-tokoh manusia. Dalam kajian kolonial, Joseph Conrad bahkan menunjukkan kegelisahan hutan-hutan Sambir yang tumbang pohonnya disebabkan oleh kapak-kapak bikinan koloni.
Habitat dalam relasinya dengan manusia tidak dibentuk untuk pembuktian kejantanan sebagaimana novel petualangan picisan yang bergulat dengan buaya ngarai dan ular-ular anakonda untuk membuktikan kekar otot petarung. Sama sekali tidak ada. Alam digambarkan dengan personifikasi yang lebih gelisah dan filosofis, contohnya;
"Instinctively he glanced upwards with a seaman's impulse. Above him, under the grey motionless waste of a stormy sky, drifted low black vapours, in stretching bars, in shapeless patches, in sinuous wisps and tormented spirals. Over the courtyard and the house floated a round, sombre, and lingering cloud, dragging behind a tail of tangled and filmy streamers---like the dishevelled hair of a mourning woman."