Mohon tunggu...
Putriwulan
Putriwulan Mohon Tunggu... -

Penulis, pelajar, dan bertempat tinggal di Bumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Termenung Dalam Diam

28 April 2019   14:32 Diperbarui: 3 Mei 2019   11:34 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Dia laksana Surga, yang selalu dinanti manusia untuk bertahta sekalipun sedang berada dalam hati yang lara."

Pagi itu, setelah membeli beberapa pesanan Ibu dari pasar, aku berdiri di halte menunggu ribuan tetesan air hujan dari atas langit berhenti.

Sebuah angkot berhenti di depan halte, seorang wanita paruh baya membawa beberapa belanjaan turun dari angkot dan cepat-cepat berlari menuju halte. Ia berdiri di sampingku, sekilas kami saling bertatap untuk kemudian melempar senyum keramahan.

"Udah dari tadi, Nak?" tanya Ibu itu kepadaku.

Aku mengangguk. Kulirik belanjaan Ibu itu yang lumayan banyak. Saking banyaknya plastik untuk menampung belanjaannya hampir ingin robek.

"Habis dari pasar, ya, Bu?" tanyaku.

"Iya."

"Kenapa gak minta dianterin aja, Bu? Belanjaan Ibu banyak banget loh. Apalagi ini juga lagi hujan," kataku.

Ibu itu tersenyum manis. "Selagi saya bisa membawa belanjaan saya, saya tidak butuh bantuan orang lain. Suami saya kerja, anak saya sekolah, mereka harus fokus dengan pekerjaan mereka. Urusan ini biarlah saya sebagai ibu rumah tangga."

Mendengarnya aku seperti diserang oleh ribuan petir untuk terdiam.

Siangnya, aku berangkat kuliah mengendarai motor pemberian Kakakku. Motor itu lumayan sudah tua, tapi aku suka mengenakannya karena aku ingin lebih menikmati udara langsung tanpa peduli asap kendaraan. Suasana seperti itulah yang sedikit membuatku bisa tenang.

Di tengah jalan motor itu mogok. Aku menggerutu kesal. Kutelpon kawanku untuk memintanya menjemputku di sini.

Pandanganku mengelilingi jalanan yang terlihat sepi, aku menghela nafas. Dari jarak jauh kulihat ada seorang tukang sapu jalanan terduduk memandang ke depan. Aku tidak tahu ia perempuan atau laki-laki karena wajahnya yang tidak bisa kulihat.

Aku memutuskan untuk duduk di trotoar. Aku merasa tenggorokanku kering, aku ingin minum. Ketika kulihat isi tasku aku menggertak.

"Ah! Aku lupa bawa minuman tadi. Ih!"

Aku menunduk lemas. Di dalam hati aku mesumpahserapahi diriku sendiri karena suka lupa membawa motor ini ke bengkel dan sekarang aku lupa membawa minuman yang sudah disiapkan Ibu di meja.

"Assalamu'alaikum..."

Aku tersentak kaget mendengar salam itu. Kuangkat kepalaku dengan mata terkejut. Seorang wanita berpakaian berwarna jingga berdiri di depanku dengan menyodorkan sebotol minuman.

"Wa'alaikumsalam, Bu," jawabku.

"Ini saya beri minuman, saya tahu Mbak lagi haus." Ibu itu tersenyum ramah kepadaku seolah sudah mengenal dekat.

Aku meraih botol itu. "Terima kasih, Bu."

Ibu itu mengangguk. Ia duduk di sampingku. Kuteguk minuman itu habis. Aku benar-benar haus.

"Mau berangkat kerja?"

Aku menoleh kemudian tersenyum dan menggeleng kecil. "Enggak, Bu. Saya masih kuliah."

Aku melihat tetesan keringat mengucur deras di dahi Ibu itu di atas kulit yang mencokelat. Sebuah sapu lidi tergeletak di sampingnya.

"Ibu kerja jadi tukang sapu jalanan?" tanyaku sedikit heran.

Ibu itu tersenyum. "Iya."

"Suami Ibu ke mana?"

Ibu itu tersenyum lagi. Namun kali ini senyumnya membuatku merasa sedikit berbeda. "Suami saya sedang sakit di rumah. Jadi saya harus bisa merawatnya agar saya dan keluarga saya bisa bertahan hidup."

"Anak ibu?"

"Anak saya dua yang satu kelas tiga SD, yang satunya lagi masih kecil umur dua tahun."

Sejenak aku terdiam. Lebih karena aku tidak bisa lagi berkata apa-apa.

Ibu itu melanjutkan perkataannya. "Sebagai seorang perempuan kita juga harus bisa menanggung semuanya. Tidak semua beban harus laki-laki yang menerima. Saya bekerja karena saya punya suami dan anak yang harus saya bahagiakan. Kebahagiaan mereka keutamaan untuk saya."

Dari sekian banyak tragedi motorku yang mogok tiba-tiba, hanya saat inilah kemogokan motorku itu sangat aku syukuri.

Sore itu aku sedang jalan-jalan dengan kawanku, Lita, di sebuah taman kota. Lita ijin kepadaku untuk membeli minuman sebentar, sedangkan aku duduk di kursi putih menatap anak-anak kecil yang bermain bersama di tengah tawa merdu mereka.

Dari kejauhan aku melihat seorang wanita paruh baya duduk dengan dua anak perempuan kecilnya. Mereka tertawa bersama dengan dua balon berwarna biru yang dilemparkan ke udara oleh salah satu anaknya. Kemudian mungkin karena terlalu senang melompat di atas kakinya yang mungil, salah satu anak wanita itu terjatuh. Ia menangis. Wanita itu segera mengangkat anaknya dan membawanya ke samping tempat dudukku.

Aku melihatnya dengan jelas ia dengan hati-hati membasuh lutut anak itu yang sudah mengeluarkan darah. Aku hanya terdiam di sana karena bingung harus berbuat apa. Aku masih bisa mendengarnya ketika suara lembut Ibu itu berkata kepada anaknya.

"Tidak apa-apa, sayang. Nanti Mama pukul tanahnya karena udah buat anak Mama yang cantik ini nangis. Anak Mama yang cantik ini nggak boleh nangis. Anak Mama kuat."

Aku tersenyum meski pandanganku tertuju ke depan.

Batinku berkata, "Ibu lebih kuat dari kami."

Malam itu aku merasa sangat lelah, di dalam kamar aku terbaring dengan mata yang kupaksa untuk terpejam. Setelah makan malam, aku langsung masuk ke dalam kamar dan mengatakan kepada Ibu jika aku sangat merasa lelah, aku ingin tidur. Ibu mengangguk dan tersenyum lalu berkata untuk jangan lupa berdoa.

Semakin aku paksakan untuk terpejam, aku semakin tidak bisa tidur. Aku gelisah sendiri. Kupejamkan mata rapat-rapat, siapa tahu nanti aku akan tidur dengan sendirinya.

Namun suara deritan pintu kamar membuatku terusik. Aku tidak membuka mata karena pasti itu Kak Ima yang ingin mengganggu tidurku. Aku membiarkannya.

"Loh loh, udah tidur tapi lampunya, kok, belum dimatiin."

Itu suara Ibuku ternyata. Aku menahan senyum. Aku lupa lagi. Aku masih tidak ingin membuka mata.

Kudengar suara langkah mendekati kasurku. Sebuah tangan mengusap dahiku dan sebuah kecupan mendarat di sana dengan lembut. Aku merasakan kelembutan itu begitu hangat.

"Yang nyenyak, ya, Ndok."

Kemudian kurasa lampu sudah padam disusul dengan suara pintu kamarku yang tertutup.

Aku membuka mata. Entah kenapa setetes air mata turun dari sana. Ibu mencium keningku setiap malam, tapi kurasa kecupan malam ini membuat tubuhku gemetar. Mungkin karena sebelumnya aku tidak berbincang dulu kepadanya menceritakan aktivitasku hari ini. Aku merasa sedih. Mungkin Ibu ingin aku berbicara kepadanya mengenai hari ini tapi aku malah masuk ke dalam kamar lebih dulu.

Ibuku penuh kasih sayang.

Oh, tidak. Semua sosok Ibu adalah seseorang yang penuh kasih sayang.

Mereka bisa menjadi apapun yang bisa diperankan oleh laki-laki. Perempuan adalah laki-laki yang pekerja keras. Perempuan adalah laki-laki yang tidak butuh bantuan orang lain. Perempuan adalah perempuan yang penuh kasih sayang dan cinta.

Perempuan adalah semua hal yang ada di dunia.

Putriwulan.

Kendal, 28 April 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun