Aku bangkit tergesa-gesa, sementara sakit di dalam sini kutahu akan tinggal selamanya.
Dalam kesunyian yang kaku, kuantar kau pulang dari kedai minum tempat kita biasa diam-diam bertemu.
Ada banyak hal di dunia ini yang bisa kita benci. Kebanyakan pasangan membenci pertengkaran, padahal kemesraan termewah justru datang di ujung perdamaian. Kebanyakan orang membenci perpisahan, padahal tanpa itu mereka tak akan tahu bagaimana caranya menghargai pertemuan.
"Ben, tolong jangan pergi ya," katamu setibanya kita di depan pintu pagar rumahmu.
Aku ingin mencoba tertawa, tapi mulutku seakan terlalu berkarat untuk sekedar memasang senyum paling pura-pura.
"Jangan manja," ujarku, setelah bibir ini setengah mati kupaksa terbuka.
"Kalau kamu pergi, siapa lagi yang aku tunggu di depan pintu? Yang setiap hari kasih ucapan selamat pagi?"
Kalau tidak ada kamu lagi, buat apa aku susah payah bangun pagi, Lin? Kamu kira alasanku selama ini karena ingin melihat terbitnya matahari?
"Penjual bubur ayam di ujung gang, asal kamu berhenti minta tambah kerupuk."
Kata siapa berbeda itu indah? Orang tolol manapun yang menciptakan lelucon itu harus merasakan sakitnya melihat hujan yang turun dari sepasang matamu.
"Ben, jangan pergi ya?"