Bahkan bagaimana ketenangan busuk ini bisa kuperdaya, tak kurangnya membuatku terkesima. Rupanya, aku pun mulai mahir berpura-pura.
"Akhir buku biasanya bahagia."
"Tidak juga. Kecuali aku pangeran dan kamu Cinderella."
"Tapi ini nggak adil, Ben." Nada suaramu meronta. "Kenapa kita nggak dipisah di tengah buku aja? Kenapa harus nunggu sampai selesai cerita, saat kita berdua sudah kenal begini dekatnya?"
Aku tersenyum, terpaksa. "Kita bahkan sudah dekat sejak kamu belajar mengeja, Lin. Ingat?"
Kamu menggigit bibir, seolah sakitnya bisa menyamarkan rambatan getir. Di matamu yang biasa bergelimang cahaya, kembali kutemukan selapis kaca.
"Bagaimana rasanya hidup tanpa kamu, Ben?"
Bagaimana aku bertahan hidup tanpa kamu, Lin?
Aku melepas tautan tangan kita, supaya gemetar dari tanganku yang datang tiba-tiba ini tak singgah di sana.
Kulemparkan sebuah tawa, agar kristal bening yang bergantung di ujung mata ini hilang tertelan udara.
"Lin, jarak rumah kita masih satu kayuhan sepeda."