Mohon tunggu...
Putri Prastiwi
Putri Prastiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi (S1) Ilmu Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perdagangan Manusia dengan Motif Prostitusi di Mata Hukum

30 Desember 2021   09:50 Diperbarui: 30 Desember 2021   10:05 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perdagangan Manusia dengan Motif Prostitusi di Mata KUHP dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak                                                                           Pidana Perdagangan Orang

Perkembangan kehidupan menjadi lebih dinamis diikuti perubahan hukum yang lebih kompleks sejalan dengan bertambahnya masyarakat dan perilaku yang beraneka. Hukum dituntut hadir memenuhi kebutuhan masyarakat dan juga dijadikan sebagai dasar untuk mengatur dan menertibkan masyarakat. System hukum di Indonesia banyak sekali yang mengadopsi dari system hukum Belanda, dikarenakan hasil dari pendudukan Belanda di Indonesia yang lama sehingga mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat sejak dahulu. System hukum Belanda yang mengakar di Indonesia dijadikan sebagai tumpuan atau dasar pelaksanaan hukum di Indonesia sampai sekarang. 

Kebanyakan system hukum Indonesia merupakan warisan dari Belanda sejak dahulu, dan hal tersebut tentunya tidak sesuai dengan perkembangan saat ini. Lalu, kaitannya sistem hukum Indonesia yang masih menggunakan system hukum yang diterapkan Belanda dahulu tanpa merubahnya, itu merupakan sebuah hal yang kurang relevan. Semakin bertambahnya masyarakat diikuti dengan kompleksnya kejahatan dan berbagai hal yang melanggar hak-hak orang lain atau hukum. Salah satu system hukum adopsi dari Belanda yang sangat terlihat ialah pada KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) atau dalam Bahasa Belanda (Wetboek van Stafrecht) yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia. 

Wvs ini berlaku di Indonesia sejal tahun 1915 jadi sudah berusia sekitar 100 tahun lebih, Hal ini lah yang menjadi permasalahn pelik yang dialami system hukum di Indonesia, karena beberapa pasal di dalam KUHP sudah tidak sesuai dengan kejadian nyatanya di lapangan. Modus Operandi yang semakin canggih dan kompleks menuntut hukum harus lebih tegas mengatur dan memberi kepastian hukum bagi masyarakat.

KUHP dirasa belum mampu mengakomodir penegakan hukum, khususnya hukum pidana di Indonesia karena salah satu faktor yakni sanksi dan hukuman pada KUHP tidak relevan dengan kejahatan yang semakin modern. Dari faktor tersebut maka pemerintah membentuk Undang-Undang khusus (Lex Specialis Derogat Legi Generali) atau undang-undang yang khusus mengesampingkan undang-undang umum. Hal ini dilakukan agar penjaringan kejahatan dan pelanggaran suatu pidana dapat dilakukan menyeluruh dan adil berasaskan HAM.

Modus operandi Perdagangan manusia tidak luput dari kecanggihan karena pemanfaatan TI. Baru-baru ini santer terdengar perdagangan manusia terselubung prostitusi. Walau tidak semua prostitusi dapat diakatakan sebagai perdagangan manusia, akan tetapi terdapat beberapa kasus yang terjadi di Indonesia bahwa perdagangan manusia beralibi prostitusi. Keduanya dapat dibedakan dari perbedaan niat dan keinginan antara prostitusi dan TPPO. Selain itu, dapat dibedakan dari siapa pelaku atau oknum dibalik human trafficking (perdagangan manusia) dalam TPPO (tindak pidana perdagangan orang) pelakunya adalah human trafficker, sedangkan prostitusi ialah broker atau perantara.

Maraknya kejahatan perdagangan manusia, maka dibentuklah dan disahkannya UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Adanya undang-undang ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam pemberantasan TPPO di Indonesia, karena TPPO ini termasuk pidana khusus maka, hal-hal yang diatur dalam pasal-pasal KUHP dikesampingkan. Akan tetapi, dalam makalah ini akan dijelaskan pasal-pasal KUHP yang mengatur tentang TPPO agar terjadi korelasi antara sanksi KUHP dan UU No. 21 tahun 2007, sehingga dapat diamati secara saksama bahwa memang KUHP merupakan peninggalan Belanda yang harus segera direvisi karena tidak relevan lagi jika tetap diterapkan di Indoneisa. Pada KUHP yang akan saya soroti ialah pasal 296 dan 506, juga pada UU No. 21 tahun 2007 saya akan menyoroti pasal 2 ayat (1), Pasal 11, dan pasal 12 UU No. 21 Tahun 2007 tentangPemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Modus operandi yang semakin beraneka disertai penggunaan TI yang semakin canggih membuat berbagai kejahatan semakin kompleks. Dari pernyataan tersebut, maka secara langsung merujuk pada kemajuan hukum juga. Dimana terdapat masyarakat, maka disitulah ada hukum yang mengatur dan hukum harus senantiasa berkembang seiring dengan berkembang dan majunya peradaban manusia. Masifnya kemajuan masyarakat merupakan salah satu factor peningkatan kejahatan baik konvensional maupun modern. Namun seiring berjalannya waktu kejahatan saat ini lebih banyak menggunakan TI dan bersifat modern, sehingga cukup sulit terdeteksi dan dicegah tindak kejahatan tersebut. Salah satu dampak kemajuan TI yang pemanfaatannya menjurus hal negatif ialah pada kejahatan perdagangan manusia. Definisi perdagangan manusia pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 21 tahun 2007 ialah tindakan perekrutan, transportasi, perlindungan, pemindahan atau penerimaan orang-orang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penangkapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau manfaat, sehingga untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang mengendalikan orang lain, baik yang dilakukan di dalam negara atau antar negara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Perdagangan manusia atau human trafficking merupakan kejahatan transnasional tidak hanya itu saja perdagangan manusia merupakan ancaman serius bagi penegakan HAM khususnya di Indonesia. Dengan kemajuan kejahatan tidak menutup kemungkinan bahwa perdagangan manusia dapat terselubung dengan motif prostitusi. Maraknya praktek prostitusi online maupun offline membuat celah perdagangan manusia dengan motif ini semakin terbuka lebar. Pada pembahasan ini akan memaparkan dan menjelaskan bagaimana pandangan KUHP dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana perdagangan Manusia terhadap kejahatan perdagangan manusia bermotif prostitusi, bentuk perlindungan, kepastian hukum Indonesia terhadap motif perdagangan manusia melalui prostitusi, penjatuhan hukuman tidak hanya menjerat pelaku saja, kali ini penulis akan mencoba mengkritisi dan membangun pemikiran bahwa penjaja seks dapat dikenai penjatuhan hukuman tetapi dengan memperhatikan beberapa hal. 

 A. perspektif Tindak Pidana Perdagangan Orang kaitannya Prostitusi menurut KUHP dan Sanksi serta Hukuman kepada pelaku TPPO dan Prostitusi.

Di balik kejahatan pasti ada pelaku, demikian juga termasuk kejahatan perdagangan manusia dan prostitusi. Perdagangan manusia dan prostitusi merupakan dua hal yang berbeda, keduanya dapat dibedakan dari perbedaan niat dan keinginan antara prostitusi dan TPPO. Selain itu, dapat dibedakan dari siapa pelaku atau oknum dibalik human trafficking (perdagangan manusia) dalam TPPO (tindak pidana perdagangan orang) pelakunya adalah human trafficker, sedangkan prostitusi ialah broker atau perantara. Setiap hari korban perdagangan manusia bertambah, namun, dalam data kuantitatif belum ditemui data yang aktual dan akurat karena sering terjadi perbedaan angka kuantitatif antara pemerintah dan lembaga masyarakat yang menaungi kasus TPPO.

Perdagangan manusia dapat terjadi kepada siapa pun tanpa memandang gender, umur, pekerjaan, dan agama. Perdagangan manusia yang merupakan kejahatan transnasional dan juga termasuk kejahatan yang sangat sulit diketahui karena biasanya perdagangan manusia melalui pasar gelap yang kerahasiannya sangat tinggi ditambah dengan TI yang semakin maju akan menambah polemic permasalahan perdagangan manusia ini.

Dari hal tersebut, pemerintah dituntut hadir dengan penangan yang juga semakin canggih agar penangkapan, pencegahan, dan pemutusan rantai perdagangan manusia dapat diputus. Perdagangan orang juga termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan, perdagangan manusia sering dialami oleh perempuan. Perdagangan orang diatur dalam pasal 297 KUHP yang berbunyi “ perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun” dari bunyi pasal tersebut terdapat beberapa hal yang sifatnya kurang menyeluruh, dari kalimat “ perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa” dari potongan kalimat pada pasal 297 KUHP, menyatakan secara eksplisit, bahwa perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa saja yang dapat dijerat pidana oleh pasal 297 KUHP. Tetapi, kenyataannya dalam masyarakat perdagangan laki-laki dewasa juga terjadi. Berdasarkan data korban IOM Indonesia (2005-2015),

 terlihat bahwa perdagangan manusia untuk laki-laki sebanyak 30% dan jika menurut usia dewasa sebanyak 87% baik laki-laki maupun perempuan. Walau angka perdagangan laki-laki dewasa tidak sebesar wanita, akan tetapi hal tersebut juga termasuk ke dalam tindak pidana perdagangan manusia yang harus segera diberantas, salah satunya dengan perlindungan dan kepastian hukum oleh KUHP.

KUHP yang merupakan hukum adopsi dari Belanda dirasa kurang memberi perhatian, perlindungan, dan kepastian hukum kepada masyarakat. Maka, langkah bijak pemerintah yakni dengan menciptakan Undang-Undang khusus yang mengatur tindak pidana perdagangan orang yaitu UU No. 21 tahun 2007, dengan adanya undang undang khusus ini maka secara langsung TPPO menjadi pidana khusus (Pid.Sus) dan diharapakan penjaringan, penangkapan,rantai perdagangan manusia dapat segera diberantas hingga keakarnya, serta adanya UU ini dapat menambah perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia.

Lalu, bagaimanakah pandangan TPPO ini menurut UU No. 21 Tahun 2007. Definisi perdagangan manusia terdapat pada pasal 1 ayai (1) yang berbunyi “ Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Serta dijelaskan pada UU ini unsur-unsur perdagangan manusia yang akan mempermudah mengklasifikasikan tindak pidana ini. 

Dewasa ini tindak pidana semakin berkembang seiring majunya TI, tidak dapat dipungkiri perdagangan manusia juga menunjukkan semakin kompleks. Modus operandi pidana ini ialah terdapat beberapa laporan kasus prostitusi tetapi disinyalir merupakan TPPO. Pengertian prostitusi menurut pasal 506 KUHP berbunyi “ Pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan dan pelacuran”. Dari pengertian prostitusi pada pasal tersebut jika dikaitkan dengan maraknya perdagangan manusia tetapi dengan modus prostitusi dinyatakan sebagai berikut : 

1. berdasarkan niat dari penjaja seks, jika seorang penjaja seks komersial (PSK) melakukan kegiata prostitusi tanpa ada ancaman, paksaan, atau kekerasan, dan dengan kemauannya sendiri, maka hal ini tidak termasuk ke dalam perdagangan manusia.

 2. tetapi akan dikualifikasikan sebagai perdagangan manusia jika prostitusi ini dilakukan dengan menggunakan ancaman, kekerasan, paksaan, penculikan, dan segala unsur perdagangan manusia yang sudah dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 21 tahun 2021.

 3. Selanjutnya pada perdagangan manusia pelaku diberi julukan human trafficker, sedangkan dalam prostitusi pelaku diberi nama perantara/broker atau yang sering kita dengar adalah mucikari. 

Lalu, hukum atau sanksi tindak pidana perdagangan manusia bermotif prostitusi bagi pelaku diatur dalam pasal 296 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah” yang dimaksud lima belas ribu rupiah ialah lima belas juta rupiah. Tidak hanya pada pasal ini saja hukuman bagi pelaku perdagangan manusia motif prostitusi, seperti yang diatur pada pasal 506 KUHP yang berbunyi “ Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Sedangkan bagi perdagangan manusia diatur pada pasal 297 KUHP yang berbunyi “ Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. “ dan juga pada pasal 298 ayat (2) yakni jika melakukan kejahatan berdasarkan pasal 292-297 dapat dillakukan pencabutan pekerjaan atau pencaharian. 

B. pasal 2 ayat (1), Pasal 11, dan pasal 12 Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang bermotif prostitusi apakah dapat menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia.

 Berkembangnya prostitusi santer terdengar di telinga publik ketika subyek yang melakukannya ialah seorang selebritas, tak dapat dipungkiri saat ini menawarkan diri untuk melakukan hal “begitu” mulai dianggap wajar oleh masyarakat karena himpitan ekonomi yang semakin melonjak, dan angka pengangguran serta SDM yang kurang memadai, memicu berbagai polemik di dalam masyarakat. Masyarakat dituntut untuk berdampingan dengan hal-hal seperti itu, bukan bermaksud untuk melegalkan kegiatan tersebut, akan tetapi tekanan dan beban kehidupan serta ekonomi berbeda antara orang satu dengan yang lainnya. 

Masyarakat hanya meminta agar kegiatan tersebut tidak mengganggu kehidupan masyarakat lainnya. Itu yang diharapkan. Akan tetapi tanpa disadari perbuatan prostitusi ini benar-benar dapat merusak moral bangsa. Karena banyak anak-anak, dan remaja yang belum dewasa tidak cukup umur serta pemikiran jika dihadapkan permasalahan demikian dapat mempengaruhi proses tumbuh kembangnya, yang jika hal tersebut dibiasakan sejak dini akan berakibat fatal pada kehidupannya di masa depan. Maka hal tersebut, pemerintah dan masyarakat dapat berkesinambungan bersama memberantas prostitusi ini demi kelanjutan moralitas bangsa di masa yang akan datang. Dengan hadirnya UU No. 21 tahun 2007 diharapkan dapat membrikan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyakarat. 

Terdapat satu kasus yang akan saya soroti terkait perdagangan manusia dengan motif prostitusi di Indonesia. Kasus ini terjadi di Yogyakarta pada tahun 2013, para terdakwa dijatuhi hukuman kurungan penjara masing-masing empat tahun dan denda Rp 120 juta. Terdakwa dalam kasus ini ialah Winner Edwin Eman dan Tabita Nana Machdyana. Mereka berdua menjalani praktek perdagangan manusia berkedok prostitusi selama 3 tahun, mereka memasarkan dan mengiklankan kegiatan ini melalui internet. Hingga putusan banding dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada tanggal 30 April 2013, pihak terdakwa melakukan pengajuan kasasi, karena merasa 11 tidak ada tindak eksploitasi, segala bentuk transaksi dan kerja sama antar kedua terdakwa dengan saksi tidak ada unsur paksaan, sehingga saksi diperbolehkan untuk menolak permintaan dari terdakwa untuk menemuni pelanggan. Namun Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan kasasi yang disampaikan oleh pihak terdakwa tidak dapat dibenarkan. 

Berikut adalah bentuk kepastian dan perlindungan hukum terhadap tindak pidana perdagangan manusia berkedok protitusi untuk masyarakat Indonesia

 1. bahwa terdakwa merupakan pihak yang merekrut kedua saksi (korban) untuk selanjutnya diperdagangkan oleh kedua terdakwa. Dalam hal ini terdakwa terbukti melanggar pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. 

2. Bentuk kerja sama antara terdakwa 1 dan terdakwa 2, dimana terdakwa 1 menghubungi kedua saksi, kemudian terdakwa 2 melakukan pemasaran dan pengiklanan di internet. Dari hal itu terdakwa juga melanggar pasal 11 UU No. 21 tahun 2007 yaitu adanya perencanaan dan pemufakatan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang. 

3. Setelah terdakwa 1 menyanggupi menyediakan seseorang sesuai yang diiklankan, maka ia akan meminta pelanggannya berhubungan dengan terdakwa 2 dan selanjutnya melakuakn transaksi pembayaran uang jasa booking, dari demikian itu terdakwa 2 melanggar pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007.

 4. Setelah menerima uang pembayaran, baik terdakwa 1 maupun terdakwa 2 telah melakukan kerja sama melakukan perekrutan perempuan yang kemudia untuk memberikan bayaran dengan tujuan mengeksploitasi, sehingga perbuatan terdakwa telah melanggar pasal 12 UU No. 21 Tahun 2007 yakni melakukan pemanfaatan korban tindak pidana pembunuhan dengan mengambil keuntungan. 

5. Para terdakwa melakukan tindak pidana ini sudah lama yakni kurang lebih 3 tahun. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dapat melakukan penegakan keadilan dan hukum yang menyeluruh dan meluas, sehingga masyarakat mendapatkan haknya sebagai warga negara yakni mendapat jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Hikmah yang dapat diambil dengan adanya UU ini ialah dapat menjadi salah satu cara menambah perhatian masyarakat dan pemerintah agar lebih responsif terhadap kejahatan perdagangan manusia yang bermotif prostitusi ini. Oleh karena adanya UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka kasus perdagangan orang dan apapun yang berkaitan dengannya dinyatakan sebagai tindak pidana khusus. Mengapa TPPO dikategorikan sebagai pidana khusus, karena peraturan yang mengatur pidana ini terdapat undang-undang diluar KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yakni tertuang pada UU No. 21 Tahun 2007 yang secara spesifik dan lebih mendalam mengatur terkait pidana perdagangan orang.

C. Penjaja seks apakah dapat dijatuhi hukuman menurut KUHP dan Undang-Undang No. 21 tahun 2007

Seperti yang diketahui bahwa penjaja seks komersil (PSK) merupakan subyek yang melakukan atau memberi pelayanan kepada pelanggan yang telah memesannya. Terdapat beberapa penggolangan motif yang melatabelakangi seorang PSK melakukan hal-hal yang demikian itu. Yakni sebagai berikut: 

1. Karena himpitan ekonomi sehingga para PSK rela melakukan hal tersebut agar dapat melanjutkan kehidupan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga PSK melakukannya dengan sukarela.

 2. Karena memang kesenangan, atau bisa dikatakan kegemarannya. Sehingga melakukan hal tersebut bukan karena motif ekonomi tetapi memang menyukai hal-hal demikian. 

3. Karena korban penculikan yang dipaksa untuk melakukan hal tersebut untuk dijadikan pencari uang atau hanya dimanfaatkan saja. Dari ketiga motif diatas, di sini akan menyoroti pada motif pertama dan kedua.

 Mengapa hanya akan menyoroti kedua motif tersebut, karena seperti yang kita ketahui PSK dalam mata KUHP dan UU PTPPO ialah memberi kedudukan PSk sebagai korban. Hal tersebut dianggap relevan jika memang seorang PSK memiliki motif nomor tiga, tetapi hal tersebut akan menimbulkan kesenjangan hukum antara motif dipaksa atau motif sukarela dalam melakukan prostitusi tersebut. Seorang PSK melakukan kegiatan prostitusi atas dasar sukarela dan kemauan sendiri, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai korban, karena mereka melaksanakan hal tersebut tanpa ada ancaman, paksaan, dan kekerasan dari orang lain. Hal ini banyak menimbulkan pergeseran norma yang sudah dianggap legal berkembang di Indonesia, yakni mengatasnamakan “korban” apabila suatu kasus prostitusi terungkap.

 Perlindungan dan kepastian hukum memang suatu hal yang diharapkan seluruh masyarakat Indonesia, akan tetapi seharusnya terdapat pengklasifikasikan agar dapat dibedakan yang memang harus dilindungi sebagai korban atau yang seharusnya mendapatkan hukuman dan sanksi. Pemberian sanksi dan hukuman bagi PSK sifatnya hanya kedaerahan, maksudnya ialah penjatuhan pidana atau sanksi hukuman kepada PSK sifatnya hanya perdaerah, jadi daerah satu dan lainnya pemberian hukuman berbeda-beda sesuai kebijakan daerah bersangkutan. Sehingga, penegakannya dianggap tidak sama rata menyeluruh. Sebagai contoh salah satu peraturan daerah yang mengatur hal tersebut:

 1. Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum di dalam pasal 42 ayat (2)

 2. Perda Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pelarangan Pelacuran.

 3. Perda Kabupaten Indramayu Nomor 7 Tahun 1999 tentang Prostitusi.

 4. Perda Kabupaten Seluma Nomor 05 Tahun 2018 tentang Larangan Prostitusi. 

5. Perda Kota Denpasar No. 1 Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum. 

6. Perda Kabupaten Bandung No. 7 Tahun 2016 Tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. 

Penjatuhan hukuman khusus kepada PSK hingga detik ini belum ada menurut hukum nasional Indonesia. Seharusnya saat ini pemerintah harus melihat bahwa prostitusi semakin merebak dan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat dengan hal itu pemerintah harus melakukan langkah strategis yakni memasukkan prostitusi ke dalam tindak pidana, baik pelaku (mucikari), PSK, maupun pengguna layanan, harus dikenai sanksi hukuman agar prostitusi di Indonesia dapat diberantas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun