Mohon tunggu...
Putri Nur Fadillah
Putri Nur Fadillah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

You've been working hard today. Take the rest of the night off and work hard again tomorrow

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tana Halmahera

25 Februari 2022   19:49 Diperbarui: 25 Februari 2022   19:58 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cr: Dilys Pinterest

Perlahan-lahan kelopak mata sang gadis terbuka, ia terlihat sedang menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Samar-samar ia melihat seorang laki-laki yang sedang memperhatikannya dengan tatapannya yang menusuk.
"Bang Karel?" Ucap Tana dengan nada parau khas bangun tidur.
"Kebiasaan, semalam kamu tidur jam berapa hm? Udah jam segini baru bangun, alarmmu bahkan sudah berbunyi berkali-kali tapi kamu belum juga bangun." Omel Karel pada adiknya

"Hmm, daripada abang ngomel-ngomel, waktu makin kebuang mending abang keluar dari kamar aku, biar aku bisa siap-siap, biar kita ga makin telat buat berangkat ke sekolah."
"Kebiasaan kalau dibilangin bukannya dengerin malah, balik ngomel."
"Suuuuuut, dah sana keluar." Sembari mendorong abangnya keluar dari kamarnya.
"Jangan lama-lama mandinya, 15 menit ga keluar kamar, abang tinggal kamu."
"IYA IYA bawel."
"KAKA MASIH BISA DENGER YAA."
   

Begitulah kira-kira rutinitas setiap pagi dikediaman Tana, diawali dengan saling bereriak-teriak layaknya dihutan. Suasana dimeja makan tampak hening dan tenang, hingga kedatangan karel lalu tak lama kemudian disusul oleh Tana.
"Selamat pagi semua." Sapa Tana pada semua orang yang ada dimeja makan, ia juga mencium satu persatu pipi anggota keluarganya. 

Hingga pada akhirnya ia sampai pada Karel, "Apa?!" Ucap Karel pada Tana yang hanya memperhatikannya saja tanpa menciumnya seperti yang dilakukan pada anggota keluarga lainnya. "Hm!" ucap Tana sembari memalingkan mukanya, "dih!" balas Karel.
"Udah-udah masih pagi udah ribut." Ucap Rakai
"Tau tuh bang Karel." Tunjuk Tana pada Karel
"Dih kok aku?"
"Dih kik iki?" Ejek Tana pada abang keduanya
"Tana! Cepat makan lalu segera berangkat sekolah. Dan kamu Rakai setelah pulang sekolah ke kantor papa." Ucap papa Tana dengan nada datarnya.
   

Wajah Tana yang semula cerah, tiba-tiba meredup setelah mendengar suara papanya. Rakai yang berada disamping Tana menyadari perubahan raut waja sang adik. Karena ia melihat adiknya sudah selesai sarapan, ia segera menarik adiknya keluar rumah untuk berangkat sekolah, tapi sebelum itu Tana mencegah kakanya agar tidak menriknya.
"Mah, pah aku berangkat dulu." Ucap Tana pada mamah papanya yang sejak awal fokus pada ponselnya.
"Hmm, iya hati-hati." Jawab mamah Tana, yang masih fokus pada ponselnya.
 

Tana yang melihat itu tersenyum kecut, bahkan untuk menolehkan wajahnya saja mereka enggan. Rakai yang sudah muak dengan itu benar-benar menarik tangan Tana agar segera pergi dari ruamh untuk berangkat ke sekolah, lalu disusul oleh Karel, tapi sebelum itu.
   

"Kalau lagi makan, yang diliat tuh makanannya bukan liat ponsel, kerjaa siih kerja tapi jangan sampai lupa waktu juga." Sindir Karel pada kedua orang tuanya.
   

Lalu setelah itu ia keluar rumah tanpa menghiraukan teriakan dari papahnya yang memarahinya karena bertindak tidak sopan pada orang tua. Saat di garasi ia melihat sang adik dan kembarannya sedang bercanda, melihat pemandangan itu seutas garis tertarik diwajahnya memperlihatkan dua lubang dipipinya. Tana yang menyadari kehadiran abangnya berteriak."Bang Ke ayo, berangkat."

"Dek bisa ga kamu gausah panggil kaka, abang. Ga enak banget didengernya."
 "Ga bisa, bang Keeee."
"Ck, serah." Dengan wajah kesalnya
"Ngambek gitu aja ngambek, uuuh bocil."
"Yang ada kamu yang bocil, yuk cil berangkat." Ucap Karel sembari mengacak-ngacak rambut adiknya yang sudah tertata rapih.
"Bang tuuh, bang Karelnya." Adunya pada Rakai yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran kedua adiknya.
"Shhh, udah yuk berangkat." Balas Rakai sembari membantu sang adik merapihkan rambutnya.
  Mereka pun berangkat menuju sekolah dengan Rakai yang membonceng Tana dibelakangnya. Dan Karel yang sudah duluan pergi sebelum pertengkaran part 3 dimulai kembali.
                                          ***
    

Setelah bel pulang sekolah terdengar nyaring kesegala penjuru sekolah. Siswa siswa berhamburan keluar sekolah, sehingga gerbang sekolah padat oleh kerumunan siswa yang ingin pulang ke rumah mereka masing-masing. Sedangkan disisi lain seorang gadis duduk santai di ruang kelas sembari memainkan ponselnya, dengan kondisi kelas yang mulai sepi.
 "Tan belum pulang?" Tanya salah seorang temannya.
 "Oh udah aku udah pulang. Yaa kalau aku masih disini itu artinya aku belum pulang ah gimana sihh kamu Rel." jawab Tania pada temannya tadi sebut saja namanya Farel
"Basa-basi namanya juga Tania, lagian kenapa kamu belum pulang?"
"Nunggu Bang-, ahh itu orangnya udah datang, aku duluan yaa Rel." Ucap Tania sembari berlalu meninggalkan kelas setelah melihat kehadiran abangnya.
"Siapa tadi yang ngobrol sama kamu?" Tanya Rakai pada adiknya
"Temen bang, mau langsung pulang? Apa mau beli cemilan dulu? Beli cemilan dulu ya ya ya?
"Ngobrolin apa tadi kamu sama dia?"
"Cuman basa-basi doing bang. Beli cemilan dulu yaaaa jangan langsung pulang, aku mau beli es krim, kan enak tuuh lagi panas-panas gini makan yang dingin-dingin. Ya baaaang."
"Basa-basi gimana? Orang tadi kamu asik banget ngobrol sama dia."
"Apasiih bang? Tau ah!" Ucap Tana sambil berlalu meninggalkan Rakai dibelakangnya.
     Rakai yang melihat adiknya pergi dengan bibir yang dimaju-majukan merasa gemas, lalu ia berlari untuk menyusul adinya yang perlahan hilang dibelokan koridor. Di tengah perjalanan Tana melihat abang yang lainnya.
"Bang Kareeel!!" teriak Tana
   Karel yang mendengar jika ada yang memanggilnya mencari arah suara itu, terlihat adiknya yang sedang melambai-lambaikan tangan kearahnya. Tak lama dari itu adiknya sudah sampai didepannya dengan nafas yang terengah-engah.
"Kamu ngapain siih dek lari-lari, ga ada yang ngejar kamu juga." Tak lama setelah Karel berbicara datang Rakai dengan nafas yang terengah-engah juga.
"Kalian abis main apasiih sampai kejar-kejaran gitu?" Tak menghiraukan Karel, Rakai segera mendekat ke adiknya yang sedari tadi bersembunyi di belakang tubuh kembarannya.
"Dek yuk pulang, katanya mau jajan es krim." Ucap Rakai pada adiknya itu
"Ga mau aku marah sama abang, mau pulang sama bang Karel aja, ga mau sama abang, abang galak."
"Dih siapa yang galak?"
"Ya abang lah siapa lagi."
"Suuuut dah dieeem, yuk dek pulang." Ajak Karel sembari menarik tangan adiknya untuk diajaknya pulang. Rakai yang melihat segera menyusul adik dan kemabarannya.
   Diperjalanan Tana yang merasa kepalanya pusing, segera menepuk bahu abangnya agar segera memberhentikan motornya.
"Kenapa?" Tanya Karel bingung. Tana hanya menjawab dengan gestur tangan yang menandakan abangnya agar diam dulu sambil memejamkan matanya. "Hah enggak ga apa-apa tadi ada serangga terbang masuk ke mata.
"Mana coba abang liat?" sembari menangkup wajah adiknya agar ia bisa memeriksa mata sang adik, yang berair dan sedikit merah. "Diem jangan dikucek." Saat melihat adiknya yang akan mengucek matanya. "Perih baaang." Rengek Tana. "Bentar diem abang tiup dulu, tar kita mampir dulu ke apotek buat beli obat tetes mata."
   Sesampainya mereka di apotek, "Diem disini jangan kemana-mana abang  mau masuk dulu. Inget jangan kemana-mana." Kata Karel
"Iya iya, daah sana."
   Setelah sepuluh menit berlalu Karel tak kunjung datang, Tana sudah dilanda kebosanan, tak lama dari itu ia melihat pedagang es kelapa di pinggir jalan. "Kalau aku beli dulu es kelapa ga apa-apa kan ya? deket ini abang ga akan marah." Monolognya.
"Nih bocil mana, belum ditinggal lama dah ilang aja." Ucap Karel dengan wajah yang kesal
   Lalu ia mengedarkan padangannya, tak lama dari itu ia melihat sosok gadis yang mirip seperti adiknya sedang berada dipinggir jalan yang disampingnya terdapat gerobak es kelapa.
"Bagus tadi abang bilang kamu suruh nunggu di motor abang, malah jajan kesini." Omel Rakai
Sedangkan yang sedang diomeli malah cengar-cengir gajelas melihat abangnya mengomel. "Ya abang lagian lama banget beli obat tetes mata doang." "Ck, ga sabaran. Udah dibayar belum, bang?" Tanya Karel pada abang penjual es kelapa. "Belum mas." jawab abangnya. "Oh, bayar dulu sana dek." Menyenggol lengan adiknya. "Krain bakal dibayarin." Kata Tana sambil melirik sinis abangnya.
  Sesampainya di depan motor Karel menyuruh adiknya untuk menghadap kearahnya, agar dia bisa lebih mudah menetesi mata adiknya dengan obat tetes mata yang tadi ia beli. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan mereka  menuju rumah.
                                          ***

      

"Mah, pah kalian mau kemana? Tanya Tana begitu melihat mamah papahnya sudah berpakaian rapih dengan koper disamping mereka.
   

"Ada masalah di kantor cabang yang ada di Singapur, jadi kami harus pergi kesana. Ya sudah kami pamit pergi dulu, kamu baik-baik di rumah nurut apa kata abangmu, jangan bandel." Jawab ibunya
"iya mah." Setelah pamitan singkat itu mereka pergi meninggalkan anak-anaknya di rumah sendiri.
"Bang, aku pingin deh. Satu hari aja, cuman satu hari, aku pingin kita pergi jalan-jalan atau kalau ga jalan-jalan di rumah juga gapapa. Asal kita bisa kumpul bareng kayak keluarga-keluarga yang lainnya." Ujar Tana pada abangnya yang sejak tadi memperhatikan interaksi adik dan orang tuanya. Jika boleh jujur dia juga sudah muak dengan keadaan yang sekarang. Orang tuanya yang lebih mementingkan pekerjaan mereka dibandingkan dengan keluarganya.
"Suuut, sekarang kamu mandi dulu udah gitu, kita pergi buat jajan ajak bang Rakai juga."
"Oke, bang. BANG RAKAIII SIAP-SIAP KITA MAU JAJAN." Teriak Tana, secepat itu perubahan mood Tana hanya dengan jajan.

Diperjalanan menuju tempat tujuan mereka, Tana yang duduk dibekang tak henti-hentinya mengucek matanya yang terasa gatal dan perih, Rakai yang melihat itu menengok ke belakang. "Matanya jangan di kucek tar merah mata kamu."
"Gatel bang."
"Mana coba abang liat matanya." Menangkup wajah adiknya dan melihat kondisi mata sang adik yang memerah dan sedikit bengkak.
"Rel kita ke rumah sakit dulu." Ucap Rakai begitu ia selesai mengecek mata sang adik. Ia takut, takut apa yang ada di pikirannya saat ini, begitu melihat kondisi mata adiknya.
"Ngapain?" Tanya Karel dengan wajah bingungnya
"Dah ke rumah sakit aja sekarang." Dengan nada yang sedikit penekanan. Karel yang melihat ke khawatiran pada kembarannya segera menancap gas kearah rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, mereka mendatangi meja pendaftaran dan mendaftarkan adiknya untuk di periksa. "Bang kenapa kita kesini? Bukannya tadi mau jajan? Terus kenapa mataku harus diperiksa, ini paling cuman sakit mata biasa, pake obat tetes mata aja udah sembuh." Ujar Tana
"Dah diem kamu dek, nurut aja apa kata abang." Saut Rakai

Tak lama dari itu nama Tana dipanggil untuk diperiksa. Setelah mengikuti beberapa rangakain pemeriksaan, mereka pulang dan mereka harus kembali lagi minggu depan untuk mengetahaui hasil dari pemeriksaan hari ini.
                                       ***
Pagi ini cuaca terliahat mendung, seperti pagi-pagi sebelumnya, kediaman Tana selalu penuh dengan teriakan sang adik bungsu. Tapi hari ini ada yang sedikit berbeda dengan Tana, ia sedikit murung walau tidak terlalu terlihat bagi orang yang tidak terlalu mengenal Tana. Tapi abangnya tahu bahwa adik mereka merindukan kedua orang tuanya. Setelah 6 hari berlalu setelah keberangkatan kedua orang tuanya, selam 2 hari ini mereka tidak mendapatkan kabar dari kedua orangtua mereka lagi. Mungkin karena sibuk bekerja dan tidak sempat melihat ponsel mereka.

"Dek ayo dimakan sarapannya, jangan ngeliat hp terus." Ujar Rakai ketika ia melihat adiknya menatap ponselnya dengan tatapan yang berharap bahwa ada kabar dari kedua orangtua mereka.
"Bang kok mamah sama papah ga ngebales pesan aku ya? Sesibuk itukah mereka sampe ga sempet buat ngabarin doang. Padahal ga sampe lima menit buat ngebales doang." Menatap abang-abangnya yang sedari tadi menatapnya.

"Mamah sama papah lagi sibuk dek, mungkin nanti di sekolah pesanmu bakal di bales sama mereka." Jawab Rakai sambil mengusap bahu adiknya. "Udah dong adeknya abang jangan sedih, senyum doong, senyum, kayak gini nih." Rakai mencontohkan senyum pada Tana, Tana yang melihat itu ikut tersenyum. Ia pun melihat pada Karel yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka.
  Setelah selesai sarapan ketiga saudara itu berangkat sekolah dengan motor mereka, tetapi sebelum itu terjadi perdebatan alot di garasi. "Pake jaketnya Na, mendung." Kata Karel. "Ga mau bang panas tau."
"Panas darimana dingin gini, ngaco kamu."

Karena terlanjur kesal dengan adiknya Karel dengan gerakan yang aga sedikit kasar memasangkan jaketnya pada tubuh adiknya. Namun, gerakannya terhenti begitu ia merasakan hawa panas di sekitar tubuh Tana. Lalu dengan cepat ia memeriksa dahi Tana untuk mengecek suhu tubuh adiknya. Saat ia merasakan panas didahi adiknya, ia lalu menatap kembarannya.
"Kamu ga usah sekolah dulu, istirahat aja di rumah." Ucap Karel
"Ga mau ah bang, sekarang ada ulangan. Aku ga mau ikut susulan."
"Iya udah tar kalau kamu ngerasa pusing chat abang."
"Iya bang."

Lalu mereka berangkat sekolah. Di kelas Tana sesekarang sedang melaksnakan ulangan, Tana yang merasa kepalanya berat cepet-cepat menyelsaikan ulangannya. Namun, tak lama dari itu ada cairan berwarna merah keluar dari hidungnya. Melihat itu ia segera mengangkat tangan untuk meminta izin pada guru yang sedang mengajar dikelasnya, setelah ia mendapatkan izin ia segera berlalari menuju kamar mandi.
  

Namun, dipertengahan jalan ia merasakan badannya lemas, bahakan ia merasakan kakinya seperti jelly sehingga ia tidak bisa menompang tubuhnya, pada saat yang bersamaan ia melihat abangnya berlari menghampiri dirinya yang hampir tumbang. Sebelum Tana benar-benar pingsan ia lebih dulu ditangkap oleh abangnya.
   

Rakai izin dari kelasnya untuk ke toilet, karena sejak pagi tadi perasaannya tidak enak setelah melihat kondisi adiknya. Saat akan melewati koridor kelas 11 ia melihat seorang gadis yang terlihat seperti adiknya, saat melihat gadis itu akan jatuh ia berlari menghampiri gadis, dan benar saja itu adiknya Tana. Sebelum kesadaraan adiknya benar-benar hilang ia bisa mendengar bisikan yang sangat pelan "Bang pusing."
  

Setelah itu ia segera menuju ke uks untuk membaringkan adiknya di uks dan di periksa oleh dokter yang ada di uks. Sembari menunggu adiknya diperiksa ia menelpon Karel. Tak lama dari itu dokter yang memeriksa adiknya keluar, dan mengatakan bahwa adiknya sudar sadar dan ingin bertemu dengan abangnya.
   

Secara perlahan Rakai membuka pintu uks, ia melihat adiknya terbaring lemas dibrangkar uks. Mendengar suara pintu terbuka Tana menoleh ke arah pintu, saat melihat siapa yang masuk ia tersenyum. Melihat Tana tersenyum Rakai ikut tersenyum walau bantinnya sedang mersakan takut yang luar biasa.  
  

Selang beberapa menit berlalu terdengar kembali suara pintu uks yang terbuka, tampaklah Karel dengan wajah yang khawatir dan ditangannya membawa dua tas, tas Rakai dan Tana. "Abang udah minta izin. Ayo kita ke rumah sakit."
                                       ***
   

Di dalam sana Tana sedang di periksa oleh dokter UGD. Pada saat perjalanan ke rumah sakit Tana sempat kehilangan kesadarannya kembali. Saat dokter keluar dari ruangan itu, salah seorang dari mereka diajak ke ruangan dokter untuk membicarakan tentang penyakit yang diderita oleh adiknya.
   

"Mengenai pemeriksaan minggu kemarin hasilnya sudah keluar." Ucap dokter sembari memberikan selembar amplop yang diyakini jika isi didalamnya merupakan hasil dari pemeriksaan adiknya kemarin.
 

Rakil dengan dada yang berdebar serta ketakutan yang melingkupinya, perlahan-perlahan membuka amplop dengan tangan yang bergetar. Lalu dibuka isinya dan dibacanya setelah ia selesai membacanya. Ia menatap dokter yang sedari tadi memperhatikannya, "dok adik saya?"
Dokter itu tersenyum menenangkan, "adikmu pasti sembuh asal dia segera menjalani pengobatan yang dianjurkan."
  

Rakai dengan langkah gontainya meninggalkan ruangan dokter. Saat ia menemukan tempat yang mungkin tidak akan banyak orang yang melewatinya, tubuhnya merosot lalu ia menunduk. Apa yang ia duga benar adiknya mengalami kanker itu lagi sama seperti abangnya yang sekarang sudah tenang di alam sana. "Bang jangan ajak adek kesana, ya bang. Aku ga mau ditinggal lagi bang." Ucap Rakai dengan pelan dan parau. Bahkan ada air bening yang keluar dari matanya.
  

Sedangkan disisi lain Tana perlahan membuka matanya, hal yang pertama ia lihat yaitu sebuah ruangan serba putih, yang beraroma obat-obatan. "Abang, mamah, papah." Ucapnya. Penjaga UGD yang melihat bahwa Tana sudah siuman segera memberitahu keluarganya.
 "Dek, apa yang kamu rasain sekarang? Pusing ga? Lemes? Atau apa coba bilang sama abang." Ujar Karel pada Tana sarat dengan nada khawatir.
"Aku ga apa-apa bang, cuman kecapean aja. Bang Rakai mana?"
"Lagi nemuin dokternya dulu, paling bentar lagi juga kesini."

Dan benar saja tak selang lima menit Rakai datang dengan kondisi yang jauh lebih baik dari yang tadi. Ia tidak mau adiknya melihat bagaiamana kacaunya ia tadi. "Gimana Kai?" Tanya Karel begitu sampai dipinggir ranjang adiknya. Rakai menyuruh Karel agar tidak bertanya soal ini melalui isyarat matanya.
"Na, rawat dulu ya 2 hari aja, bar kamu bisa istirahat dulu. Mau ya?" Tanya Rakai sembari mengelus puncak kepala Tana.
"Hm?"
"Mau ya? Biar kamu nanti bisa cepet sembuh." Bujuk Rakai dengan tatapan hangatnya.
Melihat abangnya yang begitu khawatir dengan kondisinya, mau tidak mau ia mengiyakan kemauan sang abang. "Iya bang. Emm bang, mamah sama papah kapan pulangnya? Ana kangen sama mereka. Mereka juga ga ngabarin Ana sampai sekarang."
Karel yang mendengar itu hanya memalingkan muka, pasalnya ia sudah mengabari papahnya tentang kondisi Tana saat ini tapi respon papahnya di luar perkiraanya. Ia kira setelah mendengar bagaimana kondisi Tana, papahnya akan meninggalkan pekerjaannya dan terbang menuju kesini. Namun, nyatanya papahnya hanya menyuruhnya untuk membawa Tana ke rumah sakit dan menjaga Tana sampai sembuh.
Di sinilah Tana sekarang di ruangan serba putih tempat ia akan menginap selam 2 malam, ia hanya 2 malam, semoga saja. "Bang tolong ambilin hp aku dong"
"Istirahat, jangan dulu main hp." Ujar Karel pada adiknya yang kini tengah menatapnya dengan binar terang.
"Boseeeenn!! Bang Rakai dimana bang?"
"Lagi ke kantin beli makan."
Beberapa menit berlalu karena dilanda kebosanan akhirnya Tana tertidur, setelah merengek-rengek jika dia bosan dan ingin segera pulang ke rumah. Tak berselang lama sejak Tana tidur Rakai kembali keruangan tempat Tana menginap.
"Rel, ada yang mau aku omongin." Ucap Rakai ketika sampai di depan Karel
"Di luar aja anaknya baru tidur." Menunjuk Tana yang sedang tidur
 Diluar ruang Tana. Perlahan-lahan Rakai menjelaskan apa yang tadi disampaikan oleh dokter pada Karel. Karel yang semula tidak percaya dan menganggap Rakai hanya bercanda seketika terdiam ketika Karel menyodorkan amplop hasil pemeriksaan Tana minggu lalu. Karel lalu membaca isi dari amplop tersebut. Seketika dunianya runtuh ketika ia sudah selesai membaca dengan tatapan kosongnya ia bertanya pada Rakai.
"Kai, ini ga benerkan? Ini bohongkan? Hasil pemerikasaan Tana ketuker sama pasien lain kali?" ucap Rakai dengan kondisinya yang kacau dengan nafas yang memburu dan badan yang bergetar hebat. Ketakutan itu kembali lagi. "Tidak lagi Tuhan, jangan lagi, kali ini jangan adikku." Suaranya terdengar lirih.
                                       ***
  Semakin hari kondisi Tana mulai memburuk. Saat diberitahu bahwa dia menderita penyakit yang mematikan itu. Tana sempat mengamuk dan tidak berbicara pada kedua abangnya. Yang dilakukannya hanya menatap atap dengan pandangan kosong.  Tidak ada yang bisa dilakukan oleh kedua abangnya ketika adiknya seperti itu. Mereka membiarkan agar Tana mempunyai ruang untuk sendiri dulu. Mereka tahu jika Tana shock jadi mereka membiarkannya.
  Setelah berhari-hari membisu layaknya mayat hidup akhirnya Tana mau nerima kondisinya sekarang. Tana mulai menjalani segala bentuk pengobatan yang ada di rumah sakit. Mulai dari kemoterapi yang berefek samping mual, pusing hingga diare. Bahkan Tana sempat drop karena tubuhnya menolak obat yang masuk. Ia sempat koma beberapa hari dan itu membuat kedua kakanya khawatir.
  Saat ini diruangan yang sekarang menjadi kamar keduanya setelah kamar yang ada di rumahnya.
"Bang, papah sama mamah kapan pulang? Ana kangen sama mereka."
"Bentar lagi, abang yakin bentar lagi papah pulang."
"Abang bilang gitu terus dari kemarin, tapi sampai sekarang papah sama mamah ga pulang-pulang tuh. Apa mereka ga tau anaknya di sini sakit? Apa papah sama mamah udah ga peduli lagi sama Ana?"
"Shhhh.. bentar lagi papah pasti pulang percaya sama abang. Bentar lagi." Karel memeluk adiknya yang kini tengah bersandar dikasur.
Ditengah percakapan mereka, seorang perawat masuk. Mengabarkan bahwa sekarang jadwal Tana kemoterapi. "Bang, Ana ga mau kemoterapi, sakit." Ucap Tana dengan lirih
"Kan biar cepet sembuh, biar kita bisa jajan lagi, bisa jalan-jalan lagi. Abang janji pulang dari sini kita jalan-jalan kemana pun kamu mau." Dengan nada meyakinkan agar Tana mau punya semangat untuk sembuh.
"Hmm, bener yaaa. Udah janji looh, kemana pun aku mau."
"Iya abang janji."
Saat ini Tana sedang berjuang melawan penyakitnya, sekarang ia tengah menjalani kemoterapi. Pada saat-saat seperti ini ia berharap ada mamah dan papahnya, bukannya ia tidak bersyukur selalu ditemani dengan abangnya. Tetapi akan terasa berbeda bila orangtuanya juga disini, dia mungkin akan semakin semangat menjalani rangakaian pengobatan ini.
 Tana mencengkram tangan abangnya ketika ia merasakan pusing yang menggitu hebantnya dan mual. Rasanya ia ingin menyerah melawan penyakit ini. Tetapi saat melihat wajah kedua abangnya, ia berpikir dua kali untuk menyerah, jalani saja dulu hasilnya apa serahkan pada yang diatas.
"Pusing? Mual?"
Yang ditanya mengaguk. "Sebentar." Karel memijat tengkuk Tana ketika Tana muntah di baskom yang telah disediakan.
"Udah?"
"Iya, udah."
"Masih pusing ga?"
"Engga."
"Ya udah tiduran lagi."
Selang beberapa menit keheningan melanda keduanya. Tak lama dari itu perlahan-lahan kelopak mata Tana menutup. Karel yang melihat itu tersenyum. Tolong bertahan batinnya. Ketika melihat napas Tana mulai teratur dia keluar dari ruangan itu."
Didepan ruangan ia melihat kembarannya sedang menunduk dalam.
"Kai"
Yang dipanggil namanya mengangkat kepalanya melihat orang yang tadi memamnggilnya. Terlihat raut putus asa diwajah Rakai. Ia tidak sanggup melihat adiknya kesakitan seperti itu.
"Ayolah Kai, kamu jangan gini dong kalau Tana liat dia pasti sedih ngeliat abangnya kayak gini. Kamu harus semangat biar Tana juga semangat." Ujar Karel semabri menepuk bahu kembarannya seakan menyalurkan energy positif pada kemabrannya itu.
                                      ***
  Hari ini Tana diperbolehkan pulang karena kondisinya yang semakin hari, semakin membaik. Dengan semangat ia menapakkan kakinya di rumah yang sudah lama ia tinggal. "Bang besok aku mau sekolah, aku udah sering banget bolos. Tar aku makin ketinggalan pelajaran."
"Iya boleh, tapi jangan kecapean ya?"
"iya abang Rakai." Dengan senyum manisnya.
Di pagi harinya suasana hangat itu kembali lagi, setelah berminggu-minggu tidak ada kehidupan di rumah ini.
"Udah siap?"
"Udah bang, aku mau berangkat bareng bang Rakai."
"Kenapa ga mau sama abang?"
"Ga mau, abang bau." Ucap Tana sembari menutup hidungnya.
"Enak aja bau, abang tuuh wangi tahu. Udah sana berangkat sama abang kesayangan kamu."
"Yeeee bang Rakai kan emang abang kesayangan akuu. Wlee."
 Setelahnya mereka berangkat ke sekolah menggunakan motor. Sesampainya di sekolah banyak murid yang memperhatikan mereka. 3 bersaudara itu sudah lama tak muncul di sekolah, hingga akhirnya kedatangan mereka menarik perhatian para siswa yang ada di sana.
"Bang kenapa banyak yang ngeliatin kita?"
"karena abang ganteng."
"Dih gantengan juga bang Rakai daripada bang Kee."
"Kalau bang Rakai ganteng ya berarti bang Karel juga ganteng doong. Kan abang sama bang Rakai kembar ahhh gimana siiih kamu bocil."
"Ck baaang." Mengadu pada Rakai yang sedari tadi diam.
"Ngadu-ngaduu huuuu."
"BangKe!"
"Enak aja."
Melihat abangnya yang akan menjahilinya Tana segara berlari lalu disusul oleh Karel. Rakai yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya. Kembaran dan adiknya itu jika disatukan ribut terus, tapi jika salah satu dari mereka tidak ada akan saling mencari.
                                       ***
"Bang, abang inget ga? Waktu itu abang pernah janji kalau aku pulang dari rumah sakit, kita mau jalan-jalan?"
"Iya, kamu mau jalan-jalan sekarang hm?" Tanya Karel sembari mengusap rambut adiknya yang perlahan mulai menipis karena efek dari kemoterapi.
"Hmm iyaa, tapi aku mau jalan-jalannya sama mamah sama papah. Katanya mamah sama papah bakal pulang bentar lagi. Ini udah 3 bulan lebih loh bang tapi mereka belum pulang juga."
"Katanya mau jalan-jalan, mau jalan-jalan kemana kamu?"
"Aku mau ke pantai, tapi pingin sama bang Rakai juga."
"Iya, sana kamu siap-siap"
Dan di sinilah mereka sekarang di pantai sesuai kemauan Tana. "Bang semalem aku mimpi diajak main sama bang Tama. Terus bang Tama bilang kalau aku mau ketemu dia lagi, dia bakal ngejemput aku." Cerita Tana saat ini mereka sedang menikmati sunset di pinggir pantai posisinya Tana diapit oleh kedua abangnya. Karel yang mendengar itu terkesiap. Bang aku mohon jangan jemput adek batin Karel.
"Ohh iyaa, kamu di sana ngapain aja sama abang?"
"Aku main air sama abang, terus kita juga cerita sama abang. Tapi waktu aku mau ikut abang. Abang malah hilang. Di sana indah banget looh bang, aku juga ga ngerasain sakit kayak waktu aku di sini."
"Kalau kamu mau ikut sama bang Tama, abang udah ikhlas dek, abang ga bisa tahan kamu kalau kamu ga mau."
Perlahan-lahan kepala Tana menyederkan kepalanya pada bahu Karel yang sejak tadi tidak mengeluarkan suara.
"Bang Karel aku sayaaaaang banget sama abang. Aku mau ikut sama bang Tama tapi aku ga mau kalau engga sama bang Karel, aku mau sama abang terus tapi daritadi bang Tama udah nyuruh aku buat ikut sama dia. Kalau aku ikut sama bang Tama bolehkan bang? Abang ga akan marahkan?"
Karel yang sedari berusaha untuk menahan air matanya, perlahan luruh juga. Ia berusaha menormalkan suaranya agar tidak terdengar bergetar. "Kalau kamu mau abang bolehin, abang juga ga akan marah. Abang ikhlas dek."
Tak lama dari itu nafas Tana sudah benar-benar tidak ada. Ia sudah pergi jauuuuuh sekali, dia juga sudah tidak merasakan sakit lagi. Karel yang merasa adiknya sudah tidak bergerak lagi segera memeluk adiknya lalu diikuti oleh Rakai. Mereka memeluk jasad adiknya sendiri, bahkan hingga nafas terakhirnya pun keinginan untuk berkumpul seperti keluarga lain tidak terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun