Mohon tunggu...
Putri Nur Fadillah
Putri Nur Fadillah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

You've been working hard today. Take the rest of the night off and work hard again tomorrow

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tana Halmahera

25 Februari 2022   19:49 Diperbarui: 25 Februari 2022   19:58 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cr: Dilys Pinterest

Rakai izin dari kelasnya untuk ke toilet, karena sejak pagi tadi perasaannya tidak enak setelah melihat kondisi adiknya. Saat akan melewati koridor kelas 11 ia melihat seorang gadis yang terlihat seperti adiknya, saat melihat gadis itu akan jatuh ia berlari menghampiri gadis, dan benar saja itu adiknya Tana. Sebelum kesadaraan adiknya benar-benar hilang ia bisa mendengar bisikan yang sangat pelan "Bang pusing."
  

Setelah itu ia segera menuju ke uks untuk membaringkan adiknya di uks dan di periksa oleh dokter yang ada di uks. Sembari menunggu adiknya diperiksa ia menelpon Karel. Tak lama dari itu dokter yang memeriksa adiknya keluar, dan mengatakan bahwa adiknya sudar sadar dan ingin bertemu dengan abangnya.
   

Secara perlahan Rakai membuka pintu uks, ia melihat adiknya terbaring lemas dibrangkar uks. Mendengar suara pintu terbuka Tana menoleh ke arah pintu, saat melihat siapa yang masuk ia tersenyum. Melihat Tana tersenyum Rakai ikut tersenyum walau bantinnya sedang mersakan takut yang luar biasa.  
  

Selang beberapa menit berlalu terdengar kembali suara pintu uks yang terbuka, tampaklah Karel dengan wajah yang khawatir dan ditangannya membawa dua tas, tas Rakai dan Tana. "Abang udah minta izin. Ayo kita ke rumah sakit."
                                       ***
   

Di dalam sana Tana sedang di periksa oleh dokter UGD. Pada saat perjalanan ke rumah sakit Tana sempat kehilangan kesadarannya kembali. Saat dokter keluar dari ruangan itu, salah seorang dari mereka diajak ke ruangan dokter untuk membicarakan tentang penyakit yang diderita oleh adiknya.
   

"Mengenai pemeriksaan minggu kemarin hasilnya sudah keluar." Ucap dokter sembari memberikan selembar amplop yang diyakini jika isi didalamnya merupakan hasil dari pemeriksaan adiknya kemarin.
 

Rakil dengan dada yang berdebar serta ketakutan yang melingkupinya, perlahan-perlahan membuka amplop dengan tangan yang bergetar. Lalu dibuka isinya dan dibacanya setelah ia selesai membacanya. Ia menatap dokter yang sedari tadi memperhatikannya, "dok adik saya?"
Dokter itu tersenyum menenangkan, "adikmu pasti sembuh asal dia segera menjalani pengobatan yang dianjurkan."
  

Rakai dengan langkah gontainya meninggalkan ruangan dokter. Saat ia menemukan tempat yang mungkin tidak akan banyak orang yang melewatinya, tubuhnya merosot lalu ia menunduk. Apa yang ia duga benar adiknya mengalami kanker itu lagi sama seperti abangnya yang sekarang sudah tenang di alam sana. "Bang jangan ajak adek kesana, ya bang. Aku ga mau ditinggal lagi bang." Ucap Rakai dengan pelan dan parau. Bahkan ada air bening yang keluar dari matanya.
  

Sedangkan disisi lain Tana perlahan membuka matanya, hal yang pertama ia lihat yaitu sebuah ruangan serba putih, yang beraroma obat-obatan. "Abang, mamah, papah." Ucapnya. Penjaga UGD yang melihat bahwa Tana sudah siuman segera memberitahu keluarganya.
 "Dek, apa yang kamu rasain sekarang? Pusing ga? Lemes? Atau apa coba bilang sama abang." Ujar Karel pada Tana sarat dengan nada khawatir.
"Aku ga apa-apa bang, cuman kecapean aja. Bang Rakai mana?"
"Lagi nemuin dokternya dulu, paling bentar lagi juga kesini."

Dan benar saja tak selang lima menit Rakai datang dengan kondisi yang jauh lebih baik dari yang tadi. Ia tidak mau adiknya melihat bagaiamana kacaunya ia tadi. "Gimana Kai?" Tanya Karel begitu sampai dipinggir ranjang adiknya. Rakai menyuruh Karel agar tidak bertanya soal ini melalui isyarat matanya.
"Na, rawat dulu ya 2 hari aja, bar kamu bisa istirahat dulu. Mau ya?" Tanya Rakai sembari mengelus puncak kepala Tana.
"Hm?"
"Mau ya? Biar kamu nanti bisa cepet sembuh." Bujuk Rakai dengan tatapan hangatnya.
Melihat abangnya yang begitu khawatir dengan kondisinya, mau tidak mau ia mengiyakan kemauan sang abang. "Iya bang. Emm bang, mamah sama papah kapan pulangnya? Ana kangen sama mereka. Mereka juga ga ngabarin Ana sampai sekarang."
Karel yang mendengar itu hanya memalingkan muka, pasalnya ia sudah mengabari papahnya tentang kondisi Tana saat ini tapi respon papahnya di luar perkiraanya. Ia kira setelah mendengar bagaimana kondisi Tana, papahnya akan meninggalkan pekerjaannya dan terbang menuju kesini. Namun, nyatanya papahnya hanya menyuruhnya untuk membawa Tana ke rumah sakit dan menjaga Tana sampai sembuh.
Di sinilah Tana sekarang di ruangan serba putih tempat ia akan menginap selam 2 malam, ia hanya 2 malam, semoga saja. "Bang tolong ambilin hp aku dong"
"Istirahat, jangan dulu main hp." Ujar Karel pada adiknya yang kini tengah menatapnya dengan binar terang.
"Boseeeenn!! Bang Rakai dimana bang?"
"Lagi ke kantin beli makan."
Beberapa menit berlalu karena dilanda kebosanan akhirnya Tana tertidur, setelah merengek-rengek jika dia bosan dan ingin segera pulang ke rumah. Tak berselang lama sejak Tana tidur Rakai kembali keruangan tempat Tana menginap.
"Rel, ada yang mau aku omongin." Ucap Rakai ketika sampai di depan Karel
"Di luar aja anaknya baru tidur." Menunjuk Tana yang sedang tidur
 Diluar ruang Tana. Perlahan-lahan Rakai menjelaskan apa yang tadi disampaikan oleh dokter pada Karel. Karel yang semula tidak percaya dan menganggap Rakai hanya bercanda seketika terdiam ketika Karel menyodorkan amplop hasil pemeriksaan Tana minggu lalu. Karel lalu membaca isi dari amplop tersebut. Seketika dunianya runtuh ketika ia sudah selesai membaca dengan tatapan kosongnya ia bertanya pada Rakai.
"Kai, ini ga benerkan? Ini bohongkan? Hasil pemerikasaan Tana ketuker sama pasien lain kali?" ucap Rakai dengan kondisinya yang kacau dengan nafas yang memburu dan badan yang bergetar hebat. Ketakutan itu kembali lagi. "Tidak lagi Tuhan, jangan lagi, kali ini jangan adikku." Suaranya terdengar lirih.
                                       ***
  Semakin hari kondisi Tana mulai memburuk. Saat diberitahu bahwa dia menderita penyakit yang mematikan itu. Tana sempat mengamuk dan tidak berbicara pada kedua abangnya. Yang dilakukannya hanya menatap atap dengan pandangan kosong.  Tidak ada yang bisa dilakukan oleh kedua abangnya ketika adiknya seperti itu. Mereka membiarkan agar Tana mempunyai ruang untuk sendiri dulu. Mereka tahu jika Tana shock jadi mereka membiarkannya.
  Setelah berhari-hari membisu layaknya mayat hidup akhirnya Tana mau nerima kondisinya sekarang. Tana mulai menjalani segala bentuk pengobatan yang ada di rumah sakit. Mulai dari kemoterapi yang berefek samping mual, pusing hingga diare. Bahkan Tana sempat drop karena tubuhnya menolak obat yang masuk. Ia sempat koma beberapa hari dan itu membuat kedua kakanya khawatir.
  Saat ini diruangan yang sekarang menjadi kamar keduanya setelah kamar yang ada di rumahnya.
"Bang, papah sama mamah kapan pulang? Ana kangen sama mereka."
"Bentar lagi, abang yakin bentar lagi papah pulang."
"Abang bilang gitu terus dari kemarin, tapi sampai sekarang papah sama mamah ga pulang-pulang tuh. Apa mereka ga tau anaknya di sini sakit? Apa papah sama mamah udah ga peduli lagi sama Ana?"
"Shhhh.. bentar lagi papah pasti pulang percaya sama abang. Bentar lagi." Karel memeluk adiknya yang kini tengah bersandar dikasur.
Ditengah percakapan mereka, seorang perawat masuk. Mengabarkan bahwa sekarang jadwal Tana kemoterapi. "Bang, Ana ga mau kemoterapi, sakit." Ucap Tana dengan lirih
"Kan biar cepet sembuh, biar kita bisa jajan lagi, bisa jalan-jalan lagi. Abang janji pulang dari sini kita jalan-jalan kemana pun kamu mau." Dengan nada meyakinkan agar Tana mau punya semangat untuk sembuh.
"Hmm, bener yaaa. Udah janji looh, kemana pun aku mau."
"Iya abang janji."
Saat ini Tana sedang berjuang melawan penyakitnya, sekarang ia tengah menjalani kemoterapi. Pada saat-saat seperti ini ia berharap ada mamah dan papahnya, bukannya ia tidak bersyukur selalu ditemani dengan abangnya. Tetapi akan terasa berbeda bila orangtuanya juga disini, dia mungkin akan semakin semangat menjalani rangakaian pengobatan ini.
 Tana mencengkram tangan abangnya ketika ia merasakan pusing yang menggitu hebantnya dan mual. Rasanya ia ingin menyerah melawan penyakit ini. Tetapi saat melihat wajah kedua abangnya, ia berpikir dua kali untuk menyerah, jalani saja dulu hasilnya apa serahkan pada yang diatas.
"Pusing? Mual?"
Yang ditanya mengaguk. "Sebentar." Karel memijat tengkuk Tana ketika Tana muntah di baskom yang telah disediakan.
"Udah?"
"Iya, udah."
"Masih pusing ga?"
"Engga."
"Ya udah tiduran lagi."
Selang beberapa menit keheningan melanda keduanya. Tak lama dari itu perlahan-lahan kelopak mata Tana menutup. Karel yang melihat itu tersenyum. Tolong bertahan batinnya. Ketika melihat napas Tana mulai teratur dia keluar dari ruangan itu."
Didepan ruangan ia melihat kembarannya sedang menunduk dalam.
"Kai"
Yang dipanggil namanya mengangkat kepalanya melihat orang yang tadi memamnggilnya. Terlihat raut putus asa diwajah Rakai. Ia tidak sanggup melihat adiknya kesakitan seperti itu.
"Ayolah Kai, kamu jangan gini dong kalau Tana liat dia pasti sedih ngeliat abangnya kayak gini. Kamu harus semangat biar Tana juga semangat." Ujar Karel semabri menepuk bahu kembarannya seakan menyalurkan energy positif pada kemabrannya itu.
                                      ***
  Hari ini Tana diperbolehkan pulang karena kondisinya yang semakin hari, semakin membaik. Dengan semangat ia menapakkan kakinya di rumah yang sudah lama ia tinggal. "Bang besok aku mau sekolah, aku udah sering banget bolos. Tar aku makin ketinggalan pelajaran."
"Iya boleh, tapi jangan kecapean ya?"
"iya abang Rakai." Dengan senyum manisnya.
Di pagi harinya suasana hangat itu kembali lagi, setelah berminggu-minggu tidak ada kehidupan di rumah ini.
"Udah siap?"
"Udah bang, aku mau berangkat bareng bang Rakai."
"Kenapa ga mau sama abang?"
"Ga mau, abang bau." Ucap Tana sembari menutup hidungnya.
"Enak aja bau, abang tuuh wangi tahu. Udah sana berangkat sama abang kesayangan kamu."
"Yeeee bang Rakai kan emang abang kesayangan akuu. Wlee."
 Setelahnya mereka berangkat ke sekolah menggunakan motor. Sesampainya di sekolah banyak murid yang memperhatikan mereka. 3 bersaudara itu sudah lama tak muncul di sekolah, hingga akhirnya kedatangan mereka menarik perhatian para siswa yang ada di sana.
"Bang kenapa banyak yang ngeliatin kita?"
"karena abang ganteng."
"Dih gantengan juga bang Rakai daripada bang Kee."
"Kalau bang Rakai ganteng ya berarti bang Karel juga ganteng doong. Kan abang sama bang Rakai kembar ahhh gimana siiih kamu bocil."
"Ck baaang." Mengadu pada Rakai yang sedari tadi diam.
"Ngadu-ngaduu huuuu."
"BangKe!"
"Enak aja."
Melihat abangnya yang akan menjahilinya Tana segara berlari lalu disusul oleh Karel. Rakai yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya. Kembaran dan adiknya itu jika disatukan ribut terus, tapi jika salah satu dari mereka tidak ada akan saling mencari.
                                       ***
"Bang, abang inget ga? Waktu itu abang pernah janji kalau aku pulang dari rumah sakit, kita mau jalan-jalan?"
"Iya, kamu mau jalan-jalan sekarang hm?" Tanya Karel sembari mengusap rambut adiknya yang perlahan mulai menipis karena efek dari kemoterapi.
"Hmm iyaa, tapi aku mau jalan-jalannya sama mamah sama papah. Katanya mamah sama papah bakal pulang bentar lagi. Ini udah 3 bulan lebih loh bang tapi mereka belum pulang juga."
"Katanya mau jalan-jalan, mau jalan-jalan kemana kamu?"
"Aku mau ke pantai, tapi pingin sama bang Rakai juga."
"Iya, sana kamu siap-siap"
Dan di sinilah mereka sekarang di pantai sesuai kemauan Tana. "Bang semalem aku mimpi diajak main sama bang Tama. Terus bang Tama bilang kalau aku mau ketemu dia lagi, dia bakal ngejemput aku." Cerita Tana saat ini mereka sedang menikmati sunset di pinggir pantai posisinya Tana diapit oleh kedua abangnya. Karel yang mendengar itu terkesiap. Bang aku mohon jangan jemput adek batin Karel.
"Ohh iyaa, kamu di sana ngapain aja sama abang?"
"Aku main air sama abang, terus kita juga cerita sama abang. Tapi waktu aku mau ikut abang. Abang malah hilang. Di sana indah banget looh bang, aku juga ga ngerasain sakit kayak waktu aku di sini."
"Kalau kamu mau ikut sama bang Tama, abang udah ikhlas dek, abang ga bisa tahan kamu kalau kamu ga mau."
Perlahan-lahan kepala Tana menyederkan kepalanya pada bahu Karel yang sejak tadi tidak mengeluarkan suara.
"Bang Karel aku sayaaaaang banget sama abang. Aku mau ikut sama bang Tama tapi aku ga mau kalau engga sama bang Karel, aku mau sama abang terus tapi daritadi bang Tama udah nyuruh aku buat ikut sama dia. Kalau aku ikut sama bang Tama bolehkan bang? Abang ga akan marahkan?"
Karel yang sedari berusaha untuk menahan air matanya, perlahan luruh juga. Ia berusaha menormalkan suaranya agar tidak terdengar bergetar. "Kalau kamu mau abang bolehin, abang juga ga akan marah. Abang ikhlas dek."
Tak lama dari itu nafas Tana sudah benar-benar tidak ada. Ia sudah pergi jauuuuuh sekali, dia juga sudah tidak merasakan sakit lagi. Karel yang merasa adiknya sudah tidak bergerak lagi segera memeluk adiknya lalu diikuti oleh Rakai. Mereka memeluk jasad adiknya sendiri, bahkan hingga nafas terakhirnya pun keinginan untuk berkumpul seperti keluarga lain tidak terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun