Mohon tunggu...
Putri Nur Fadillah
Putri Nur Fadillah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

You've been working hard today. Take the rest of the night off and work hard again tomorrow

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pahlawan yang Baik Hati

20 November 2021   23:22 Diperbarui: 20 November 2021   23:28 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah desa di Jatilawang, Banyumas 10 Oktober 1909 telah dilahirkan ke dunia seorang anak laki-laki yang bernama Gatot Subroto. Semasa kecil Gatot Subroto sudah memperlihatkan watak yang berpendirian teguh, bersolidaritas tinggi dan suka menolong sesama serta memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi.

Gatot Subroto bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) yang merupakan sekolah dasar di zaman colonial Belanda di Indonesia. ELS menggunakan Bahasa Belanda sebagai Bahasa pengantar. ElS atau Sekolah Rendah Eropa diperuntukan untuk keturunan Eropa, keturunan Timur Asing atau pribumi yang memiliki kedudukan yang cukup tinggi. ELS didirikan pada tahun 1817 dengan masa sekolah 7 tahun. 

    Awalnya ELS hanya terbuka untuk warga Belanda di Hindia Belanda, namun sejak tahun 1903 kesempatan untuk belajar diberikan juga pada orang-orang pribumi yang mampu dan warga Tionghoa-Indonesia. Gatot pernah mengalami peristiwa yang tidak mengenakan di ELS. Ia pernah berkelahi dengan orang Belanda yang merupakan anak residen Belanda karena menghina pribumi, akibat daei kejadian itu Gatot Subroto dikeluarkan di ELS.

  Setelah dikeluarkan dari ELS lalu Gatot Subroto masuk ke Holands Inlandse School (HIS). HIS adalah sekolah pada zaman penjajahan Belanda. Sama seperti ELS, HIS juga menggunakan Bahasa Belanda sebagai Bahasa penghantar (Westersch Lager Onderwijs), dibedakan dengan Inlandsche School yang menggunakan bahsa daerah. HIS diperuntukan untuk golongan penduduk keturunan Indonesia asli, sehingga disebut juga Sekolah Bumiputera Belanda. Masa sekolahnya tujuh tahun. Disanalah Gatot Subroto menyelesaikan pendidikan formalnya.

   Namun, ketika sudah tamat bersekolah di HIS ia tidak berminat untuk melanjutkan pendidikannya lagi.

  "Apa kamu tidak berminat untuk melanjutkan pendidikan ke yang lebih tinggi?" Tanya ayahnya

  "Tidak, yah, aku tidak berminat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Aku memilih untuk bekerja saja, dibandingkan sekolah." Jawab Gatot Subroto

  "Oh, iya sudah tidak apa-apa asal kamu nyaman dengan itu, karena jika ayah memaksamu sekolah tetapi kamu tidak mau, maka kamu tidak akan melakukannya dengan sungguh-sungguh." Ucap Ayah

  Namun, pekerjaannya pun ternyata tidak memuaskan jiwanya. Akhirnya dia keluar dari pekerjaanya dan masuk sekolah militer di Magelang pada tahun 1923. Setelah tiga tahun berlalu akhirnya ia menyelesaikan pendidikan militernya. Dan ia pun menjadi KNIL het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (Tentara Hindia Belanda). Walaupun KNIL ini melayani pemerintahan Hindia-Belanda, banyak anggota-anggotanya yang merupakan penduduk Bumiputra di Hindia-Belanda dan orang-orang Indo-Belanda, bukan orang-orang Belanda. Lalu Gatot Subroto ditugaskan di Jatinegara sebagai sersan.

  Dengan bergabungnya di KNIL membuat ia paham dan mengerti bagaimana seorang tentara bertindak. Gatot Subroto sempat menjadi sersan kelas II saat dikirim di Padang Panjang selama lima tahun. Gatot Subroto lalu dikirim ke Suabumi untuk melanjutkan pendidikan. Setelah selesai pendidikan Gatot Subroto di tempatkan di Bekasi dan Cikarang. 

  Dengan usahanya sendiri ia berusaha membebaskan orang-orang yang ditangkap dan dihukum dengan memberikan kegiatan dan gajinya untuk modal dagang kecil-kecil. Namun, tak berselang lama akibat dari kenekatannya, ia mendapatkan teguran dari atasannya.

  Pada Perang Dunia II dimulai, Gatot sedang ditugaskan di Ambon. Dan disinilah ia dapat mersakan pengalaman tempur melawan pasukan Jepang. Tetapi ternyata lawan yang dihadapinya jauh lebih kuat dari perkiraanya. Hingga akhirnya pertahananan Ambon jatuh ke tangan Jepang , Gatot pun menyingkir ke Makassar. Di sela-sela kesibukannya di kota itu ia menyempatkan dirinya untuk berziarah ke makam Pangeran Diponegoro.

  Gatot Subroto sempat menjadi warga sipil, namun itu tidak bertahan lama, karena pemerintah pendudukan Jepang tahu kemampuan yang dimiliki oleh seorang Gatot Subroto. Lalu Gatot Subroto diminta untuk mengepalai sebuah detasemen polisi. Tanpa pikir panjang ia pun menerima permintaan itu. Tidak lama dari itu ia dikirim untuk pelatihan ke Bogor dan didik menjadi komandan kompi Tentara Pembela Tanah Air (PETA). 

  Setelah tamat pelatihan pendidikan PETA, ia lalu diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi komandan Kompi di Sumpyuh, Banyumas dan tidak lama kemudian ia dinaikkan jabatannya menjadi komandan batalyon.

  Selama menjabat Gatot Subroto dinilai sering memihak pada rakyat pribumi, maka dari itu ia sering mendapatkan teguran dari atasannya. Walaupun begitu, tidak menyrutkan niatnya untuk memihak pada rakyat kecil. Bahkan demi ia bisa membantu rakyat kecil ia bahkan sempat mengancam akan mengundurkan diri sebagai Komandan Kompi dengan membuang atributnya. Akhirnya keinginan untuk membantu rakyat keci di luluskan oleh atasannya.

   Pada tahun 1944, Kompi Gatot melakukan pelatihan penjagaan pantai, di satu tempat di Pantai Selatan, Sumpyuh. Pasukannya diatikah oleh perwira-perwira Jepang. Gatot yang saat itu melihat pasukannya mulai kelelahan meinta untuk menghentikan pelatihan itu. Namun permintaanya tidak di diindahkan. Dengan amarah yang ditahan-tahan, Gatot lalu bertindak dengan tegas. Sembari melepaskan pedang dan atributnya.

"untuk apa saya jadi Cudanco!" Serunya

   Lalu ia dengan langkah tegap meninggalkan lapangan. Setelah ia pergi suasana berubah menjadi tegang, para pelatih pun menjadi cemas. Gatot Subroto akhirnya melaporkan kejadian tadi pada atasan mereka, tak salah lagi pasti para pelatih terkena marah. Karena itu para prajurit diperintahkan untuk kembali ke asramanya.

   Ketika proklamsi di bacakan oleh Ir Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945, Gatot Subroto masih menjadi daidancho di PETA di daerah Banyumas. Setelah proklamasi kemerdekaan Gatot Berhasil mengambil alih kekuasaan kepolisian dan setelah itu Gatot Subroto diangkat menjadi Kepala Kepolisian seluruh Keresidenan Banyumas. 

  Selain itu, ia aktif di BKR untuk mengadakan perundingan dengan pihak Jepang dalam rangka megambil alih kekuasaan. Akhirnya perundinagn itu mebuahkan hasil, Jepang menyerahkan seluruh persenjataan, sehingga persediaan senjata BKR Banyumas cukup banyak pada saat itu.

  Dibentuklah divisi Divisi V dengan Kolonel Sudirman sebagai pemmpin dan Gatot Subroto sebagai Kepala Siasat. Lalu ditugaskan ke Purwokerto sebagai bagian pegamanan daerah Purwokerto, lalu diangkat menjadi Panglima divisi II Purwokerto. 

   Gatot turut andil mendampingi Kolonel Sudirman dalam pertempuran melawan pasukan Serikat di Ambarawa yang bertahan di banteng Willem I. dalam pertempuran ini persenjataan musuh jauh lebih kuat disbanding dengan persenjataan yang Kolonen Sudirman dan Gatot serta pasukannya punya. Tak hanya itu mereka juga mempunyai pengalaman di perang dunia II.

   Walaupun kalah dalam hal persenjataan tetapi pasukan Indonesia mempunyai jiwa semangat tempur yang tinggi. Mereka mempunayi tekad lebih baik mati daripada dijajah kembali. Dan untuk meningkatkan semangat tempur pasukannya. Gatot selalu mengatakan "jagalah namamu jangan sampai kau dianggap penghianat bangsa."

   Gatot Subroto menggantikan Kolonel Sutirto untuk menjadi Panglima Divisi V Purwokerto. Ia dipilih dan ditetapkan memangku jabatan dengan gelar Kolonel. Selaku pemimpin Gatot Subroto sangat friendly terhadap bawahannya dia tidak pernah membendakan kasta, bahkan ia terbilang cukup dekat dengan bawahannya. 

   Waktu akan menghadapi Agresi Militer I Belanda, Markas telah dijaga ketat oleh sepeleton pasukan tentara pelajar. Karena pesawat pengintai dari Belanda sudah sering terbang di kota Purwokerto. 

   Pada tahun 1948, Gatot menikah dengan seorang wanita yang bernama Supiah Binti Wangsadikarta, buah hasil pernikahannya ini, Gatot Subroto bersama istri dikaruniai 6 orang anak yang bernama: Nining Indriati, Nunung Indriati, Bambang Sujono, Kuncoro, Bambang Utoro, Cahyo.

  Pada saat meletusnya pemberontakan PKI di Madium, Gatot Subroto diangkat menjadi Panglima Corps Polisi Militer. Pada saat itu kondisi di dalam negeri sedang tidak kondusif. Kota Solo dijadikan daerah wild west (daerah tak bertuan) oleh pasukan PKI. Hingga terjadi bentrokan bersenjata antara Penembanhan Senopati dan Siliwangi yang sebagian besar oknumnya adalah orang-orang yang telah dipengaruhi oleh PKI. Untuk mengatasi kejadian itu diadakanlah rapat. Yang hasilnya Gatot Subroto menjadi Gubernur Militer untuk daerah Surakarta, Madiun dan Pati. Tugas utama Gatot Subroto yaitu mengembalikan tatanan keamanan didaerah Surakarta dan melaksanakan penertiban pasukan. 

   Setelah tugasnya telaksana, pada tanggal 18 September 1948 PKI melakukan pemberontakan di Madiun. Gubernur Militer Gatot Subroto menyiapkan pasukan yang akan digerakkan untuk operasi penumpasan PKI dari arah barat. Selang beberapa waktu pemberontakan PKI DI Madium telah di bumi hanguskan.

  Tak lama setelah itu sekitar tiga bulan, pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer II. Selaku gubernur, Gatot Subroto harus segera mengatur siasat untuk melaksanakan perang gerilya. 

   Setelah perjanjian Roem-Royen di tanda tanganni, Ir Soearno kembali ke Yogyakarta, karena pada saat itu Yogyakarta menjadi ibukota Indonesia. Sedangkan Soedirman masih berada di daerah gerilya memimpin para anak buahnya dan tidak mau kembali ke Yogya. Namun, karena surat dari Gatot Subroto akhirnya dapat meluluhkan Soedirman dan Soedirman akhirnya mau kembali ke Yogyakarta. 

    Pada tahun 1952 diangkatnya Gatot Subroto menjadi Panglima tentara dan Tertorium VII Wirabuana, yang berkedudukan di Ujungpadang, dengan tugas meyelesaikan kerusuhan keamanan akiabta gerombolan Persatuan Grilya Sulawsi Selatan (KGSS) pimpinan Kahar Muzakar. Caranya adalah dengan menarik mereka secara bertahap ke TNI. 

       Para pejuang kemerdekaan yang telah disesaatkan oleh para pemimpinnya. Akibat kebijakan Pak Gatot banyak kelompok yang sadar. Mereka kemudian diangkat kembali sebagai anggota TNI atau dipindahkan kepekerjaan pilihan mereka. Tentu tidak semua setuju dengan hal ini, dan dua anggot DPR yakni Bebasa Daeng Lalo dan Rondunuwu mengecam keras kebijakan tersebut. Mereka mengirimkan laporan ke DPR bahwa Kolonel Gatot Subroto telah melanggar kebijakan pemrintahan pusat. 

  Setelah peristiwa 17 Oktober 1952, di Jakarta pada 18 November 1952, komandan T dan T VII "dipimpin" oleh kepala stafnya, Letnan Kolonel Warrouw. Pak Gatot memilih mengalah darpada menempuh kebijakan yang tidak pasti. Lalu pindah dan menetap di Semarang sebagai warga sipil sembari membangun rumah di Ungaran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun