Mohon tunggu...
Putri Ninda Novianti
Putri Ninda Novianti Mohon Tunggu... Sekretaris - create your own happiness🕊️

Semesta menginspirasi, manusia berimajinasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sastra Islam, Jenis, dan Karakternya

2 April 2023   02:50 Diperbarui: 2 April 2023   05:05 1345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Karya sastra adalah salah satu bagian dari kekayaan budaya suatu bangsa. Bangsa berbudaya adalah bangsa yang memiliki, menghargai, dan memberikan apresiasi terhadap hasil karya sastra bangsanya. Salah satu keistimewaan bangsa Arab adalah mereka mempunyai perhatian besar terhadap bahasa dan keindahan sastranya. Hal ini menjadi faktor utama bagi mereka untuk memiliki kelebihan dan kebudayaan dalam bahasa dan sastra, sehingga karya sastra memiliki peranan penting dalam sejarah Islam. 

Salah satu sumbangan terbesar Islam yang berkembang sepanjang abad dalam berbagai bangsa, budaya, dan bahasa  adalah terbentuknya sastra Islam. Terbentuknya sastra Islam tersebut, tidak dapat dipisahkan dari jasa Al-Quran yang diturunkan di tengah-tengah bangsa Arab sebagai bangsa yang telah maju dalam bidang sastra. Dengan Al-Quran, maka penyair-penyair diharapkan mampu    meresapi setiap makna yang dikandung kitab suci tersebut dalam bersastra. Bahkan, Islam bukan saja menerima entitas sastra, tetapi sumber utamanya sendiri, yaitu Al-Quran.

Sastrawan Indonesia, Goenawan Mohammad menyebutkan bahwa sastra Islam adalah sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan atau ajaran Islam, memuji dan mengangkat tokoh-tokoh Islam, mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan pemahaman Islam yang dianggap tidak sesuai dengan semangat asli awal Islam, atau paling tidak, sastra yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. 

Dalam sastra Islam, terdapat ruh (napas atau semangat) Islam, berangkat dari risalah (misi) Islam, berisi pemikiran dan rasa Islami, dan menjadikan Al-Quran dan Hadis sebagai sumber ilham serta rujukan kreativitas (poetikanya). 

Sastra Islam (al-Adab al-Islami) adalah sastra yang berisi realitas dan imaginasi, memiliki ciri-ciri Islam dan masuk dalam salah satu jenis dari lima jenis sastra Islam. Lima jenis sastra Islam itu adalah: pertama, sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan dan ajaran Islam seperti tauhid, etika, dan tasawuf. Jenis sastra ini didominasi oleh sastra sufistik yang pertama kali dimunculkan oleh Abu al-'Atahiyah dan para penyair sufi seperti Rabi'ah al-Adawiyyah yang membahas isu sufisme seperti zuhud.

 Salah satu puisi sufistik adalah puisi dari Jalauddin Rumi yang menggelorakan sikap penerimaan atas perbedaan agama dengan melihat sisi dalam agama. Baginya, semakin agama dilihat sisi luarnya, maka agama satu dengan yang lain semakin berbeda. Namun, semakin dilihat agama satu dan lainnya dari sisi batinnya, maka akan semakin menemukan dan tampak titik temu. 

Puisi Hamzah Fansuri dan Sunan Bonang adalah sejenis sastra Islam konseptual yang mendakwahkan Islam melalui media sastra sebagai seni kebahasan yang bergagasan. Selain itu, lagu populer Bimbo dan sebagian lagu dangdut Roma Irama dimasukkan ke dalam kategori jenis sastra Islam ini. 

Kedua, sastra yang memuji dan mengangkat para tokoh Islam yang menjadi panutan, misalnya al-Barzanji dan al-Bushairi yang mengangkat dan memuji Rasulullah, serta sastra yang memuji para sufi. Berkembangnya jenis sastra ini karena para sastrawan Muslim mencontoh Al-Quran sebagai kitab suci mereka. Salah satu yang tampak dan paling dominan sejak dari surat al-Fatihah adalah kisah para Nabi. Karena dalam Islam, keimanan kepada para nabi Allah tidak hanya terbatas kepada Rasulullah saja melainkan juga kepada para nabi yang membawa agama sebelum Rasulullah.

Ketiga, sastra Islam yang membahas kelembagaan Islam. Kebanyakan sastra Islam jenis ini mengambil bentuk sastra sejarah sebagai salah satu prosa sastra non imaginatif. Misalnya beberapa buku Arab yang membahas Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Masjid Nabawi dan Masjid al-Haram, terutama Ka'bah. 

Di Indonesia, karya semisal Bustan as-Salathin sebagai sastra kitab dan sastra adab, juga termasuk kategori sastra sejarah jenis ketiga ini, yang membahas sejarah kerajaan Islam Aceh Darussalam. Dalam sastra Arab, Novel al-Hatif min Andalus karya 'Ali al-Jarim juga masuk dalam kategori sastra Islam jenis ketiga ini. 

Novel ini membahas kerajaan Islam Kordova yang berada di Provinsi Andalusia yang dulu menjadi rumah bagi agama Islam, Kristiani, dan Nasrani, serta buku sejarah yang membahas Dinasti Abbasiyah di dunia Islam klasik dengan Bagdad sebagai ibu kota juga masuk dalam kategori sastra Islam jenis ketiga ini. 

Karena sejarah dalam teori prosa sastra masuk kategori prosa sastra non imaginatif, dimana dalam merekonstruksi sejarah berdasarkan data yang valid dan empiris harus melibatkan imajinasi. Oleh karena itu, sejarah masuk kategori ilmu budaya, yang tidak seeksak ilmu alam yang empiris. Keempat, sastra yang mengkritik realitas sosial yang tidak sesuai dengan nilai Islam yang ideal. Misalnya, kumpulan puisi al-Luzumiyyat dari al-Ma'ari dan dalam sastra Arab terdapat Zuqaq Midaq karya Najib Mahfuzh.

Kelima, sastra Islam adalah sastra yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Jenis sastra ini, meski secara formal tidak bicara Islam, bahkan ciri-ciri Islam secara fisik tidak tampak bisa dimasukkan kategori ini. Yang penting substansi sastranya sejalan dengan Islam seperti Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Jenis ini disebut semacam sastra Islam sosiologis yang mungkin tingkat keislamannya paling rendah. 

Dalam sastra Arab, karya saduran al-Manfaluthi dari Prancis semisal al-Majdulin atau al-Ayyam, dan prosa sastra biografi Thaha Husein. Karena minimnya sisi Islam, maka jenis sastra ini tidak diakui sebagai sastra Islam oleh sebagian ahli. Goenawan Mohammad mendefinisikan sastra keagamaan sebagai karya sastra yang menitikberatkan kehidupan beragama sebagai solusi untuk terbentuknya keragaman sosial. Ia terlalu menekankan pada fungsionalisme agama sebagai sumber motivasi. 

Di Indonesia dan Dunia Arab, sastra Islam lebih dikenal dengan sastra sufistik yaitu sastra yang mementingkan pembersihan hati (tazkiyah an-nafs) dengan berakhlak baik agar bisa sedekat mungkin dengan Allah.

Di Indonesia, karya sastra ini dikenal dengan sastra suluk, yaitu karya sastra yang menggambarkan perjalanan spiritual seorang sufi mencapai taraf di mana hubungan jiwanya telah dekat dengan Tuhan, yaitu musyahadah yakni penyaksian terhadap keesaan Allah. Salah satu etika yang ditekankan dalam sastra sufistik adalah zuhud. Dalam bahasa lain, sastra sufistik merupakan sastra yang mengekspresikan pengalaman estetik transendental yang berhubungan erat dengan Tauhid. 

Sebagai sastra transendental, jenis sastra ini mengutamakan makna bukan bentuk, mementingkan yang spiritual, dan 'yang di dalam' bukan 'yang di permukaan'. Karena bentuk merupakan sarana penting menuju makna, 'yang ada di dalam' dan bentuk sangat ditentukan oleh makna. 

Semakin meningkat maknanya, maka nilai bentuknya menjadi meningkat. Dilihat dari perspektif aliran, sebagian besar jenis sastra sufistik beraliran sastra simbolik, yang di dalamnya terdapat simbol yang sarat dengan makna di samping imajinasi. Maka sastra sufistik dikenal dengan sastra transendental, yaitu sastra yang membahas mengenai Tuhan dalam konsepsi Islam yang sulit dijangkau bagi manusia yang jasmaniah atau fisikal.

Selain itu, sastra Islam juga dikenal dengan sastra profetik, yaitu sastra yang dibentuk untuk tujuan mengungkapkan ajaran kenabian atau wahyu, sebagai ilmu illuminasi dari Tuhan. Sebagai sastra, sastra Islam bisa didekati melalui pendekatan formalisme, yaitu pendekatan yang menekankan bahwa formalnya yang membedakan sastra dengan yang lain adalah pada sisi seni yang menggunakan bahasa indah sebagai media. 

Sebagai sastra imaginatif, sastra Islam juga bukan sastra dokumenter sebagai tiruan murni atas realitas. Oleh karena itu, sastra Islam penuh dengan cerita imaginatif yang dalam memahaminya akan menjadi masalah. Sebagaimana pendapat Muhammad Khalafullah dan A.Hanafi bahwa Al-Quran sebagai rujukan sastra Islam memuat kisah historis yang nyata seperti kisah para nabi sebelum Islam, dan prosa fiksi perumpamaan serta mitos sebagai cerita simbolik. Bagi keduanya, semua cerita dalam Al-Quran tidak perlu dicari faktanya. Baik prosa fiksi perumpamaan maupun mitos, memiliki makna ganda dan harus dipahami dengan makna konotatifnya melalui proses takwil.

Cerita fiksi dalam Al-Quran hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia, agar mudah menangkap pesan Al-Quran, cerita dan pelajaran, karena Al-Quran adalah kitab petunjuk. Paling tidak, dalam Al-Quran dan Hadis tidak ditemukan teks dilarangnya menyampaikan cerita alegoris yang imaginatif, sesuai kecenderungan imaginasi manusia. Sebagaimana yang dikatakan az-Zamakhsyari bahwa Al-Quran diturunkan kepada manusia dengan dan atas dasar kebiasaan dan cara-cara manusia berkomunikasi. 

Karena manusia biasa menyampaikan pikirannya berdasarkan realitas yang dialami dan kisah perumpamaan yang tidak terjadi, maka Al-Quran pun menggunakannya. Contoh prosa fiksi perumpamaan adalah kisah Qabil dan Habil dalam QS Al-Maidah:28-31. Sebagai sastra imaginatif, sastra Islam juga bukan sastra yang anti terhadap kisah percintaan, karena dalam Al-Quran sendiri terdapat kisah Yusuf dalam satu surat penuh yaitu QS. Yusuf yang jumlah ayatnya sebanyak 111.

Secara kebahasaan, sastra Islam juga bukan hanya sastra Arab saja, karena Islam melewati batas-batas kebahasaan dan bukan saja sastra Timur seperti Arab, Persia, Turki, Urdu, Indonesia atau Melayu, melainkan juga sastra Barat, karena dalam sastra Barat terdapat sastra Islam seperti dalam sebagian karya Goethe yang percaya pada keesaan Tuhan, keagungan Al-Quran, dan kenabian Nabi Muhammad. 

Padahal, yang ditolak dari Barat adalah sisi-sisi seperti atheisme dan materialisme sebagai bentuk paganisme baru yang bertentangan dengan asas Islam. Misalnya, dalam konteks realisme Barat, yang ditolak pengusung sastra Islam adalah berhentinya realisme Barat pada realitas yang disampaikan apa adanya, dengan tidak melakukan pemihakan sama sekali. Dilihat dari perspektif genre, sastra Islam bukan sebuah genre tersendiri, karena para sastrawan Islam menulis dalam berbagai genre. Dari model puisi qashidah tradisional, ruba'i, gabungan keduanya (muwasysyahat), novel, cerpen, dan drama (teks film).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun