Mohon tunggu...
Putri Ninda Novianti
Putri Ninda Novianti Mohon Tunggu... Sekretaris - create your own happiness🕊️

Semesta menginspirasi, manusia berimajinasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sastra Islam, Jenis, dan Karakternya

2 April 2023   02:50 Diperbarui: 2 April 2023   05:05 1345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Karena sejarah dalam teori prosa sastra masuk kategori prosa sastra non imaginatif, dimana dalam merekonstruksi sejarah berdasarkan data yang valid dan empiris harus melibatkan imajinasi. Oleh karena itu, sejarah masuk kategori ilmu budaya, yang tidak seeksak ilmu alam yang empiris. Keempat, sastra yang mengkritik realitas sosial yang tidak sesuai dengan nilai Islam yang ideal. Misalnya, kumpulan puisi al-Luzumiyyat dari al-Ma'ari dan dalam sastra Arab terdapat Zuqaq Midaq karya Najib Mahfuzh.

Kelima, sastra Islam adalah sastra yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Jenis sastra ini, meski secara formal tidak bicara Islam, bahkan ciri-ciri Islam secara fisik tidak tampak bisa dimasukkan kategori ini. Yang penting substansi sastranya sejalan dengan Islam seperti Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Jenis ini disebut semacam sastra Islam sosiologis yang mungkin tingkat keislamannya paling rendah. 

Dalam sastra Arab, karya saduran al-Manfaluthi dari Prancis semisal al-Majdulin atau al-Ayyam, dan prosa sastra biografi Thaha Husein. Karena minimnya sisi Islam, maka jenis sastra ini tidak diakui sebagai sastra Islam oleh sebagian ahli. Goenawan Mohammad mendefinisikan sastra keagamaan sebagai karya sastra yang menitikberatkan kehidupan beragama sebagai solusi untuk terbentuknya keragaman sosial. Ia terlalu menekankan pada fungsionalisme agama sebagai sumber motivasi. 

Di Indonesia dan Dunia Arab, sastra Islam lebih dikenal dengan sastra sufistik yaitu sastra yang mementingkan pembersihan hati (tazkiyah an-nafs) dengan berakhlak baik agar bisa sedekat mungkin dengan Allah.

Di Indonesia, karya sastra ini dikenal dengan sastra suluk, yaitu karya sastra yang menggambarkan perjalanan spiritual seorang sufi mencapai taraf di mana hubungan jiwanya telah dekat dengan Tuhan, yaitu musyahadah yakni penyaksian terhadap keesaan Allah. Salah satu etika yang ditekankan dalam sastra sufistik adalah zuhud. Dalam bahasa lain, sastra sufistik merupakan sastra yang mengekspresikan pengalaman estetik transendental yang berhubungan erat dengan Tauhid. 

Sebagai sastra transendental, jenis sastra ini mengutamakan makna bukan bentuk, mementingkan yang spiritual, dan 'yang di dalam' bukan 'yang di permukaan'. Karena bentuk merupakan sarana penting menuju makna, 'yang ada di dalam' dan bentuk sangat ditentukan oleh makna. 

Semakin meningkat maknanya, maka nilai bentuknya menjadi meningkat. Dilihat dari perspektif aliran, sebagian besar jenis sastra sufistik beraliran sastra simbolik, yang di dalamnya terdapat simbol yang sarat dengan makna di samping imajinasi. Maka sastra sufistik dikenal dengan sastra transendental, yaitu sastra yang membahas mengenai Tuhan dalam konsepsi Islam yang sulit dijangkau bagi manusia yang jasmaniah atau fisikal.

Selain itu, sastra Islam juga dikenal dengan sastra profetik, yaitu sastra yang dibentuk untuk tujuan mengungkapkan ajaran kenabian atau wahyu, sebagai ilmu illuminasi dari Tuhan. Sebagai sastra, sastra Islam bisa didekati melalui pendekatan formalisme, yaitu pendekatan yang menekankan bahwa formalnya yang membedakan sastra dengan yang lain adalah pada sisi seni yang menggunakan bahasa indah sebagai media. 

Sebagai sastra imaginatif, sastra Islam juga bukan sastra dokumenter sebagai tiruan murni atas realitas. Oleh karena itu, sastra Islam penuh dengan cerita imaginatif yang dalam memahaminya akan menjadi masalah. Sebagaimana pendapat Muhammad Khalafullah dan A.Hanafi bahwa Al-Quran sebagai rujukan sastra Islam memuat kisah historis yang nyata seperti kisah para nabi sebelum Islam, dan prosa fiksi perumpamaan serta mitos sebagai cerita simbolik. Bagi keduanya, semua cerita dalam Al-Quran tidak perlu dicari faktanya. Baik prosa fiksi perumpamaan maupun mitos, memiliki makna ganda dan harus dipahami dengan makna konotatifnya melalui proses takwil.

Cerita fiksi dalam Al-Quran hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia, agar mudah menangkap pesan Al-Quran, cerita dan pelajaran, karena Al-Quran adalah kitab petunjuk. Paling tidak, dalam Al-Quran dan Hadis tidak ditemukan teks dilarangnya menyampaikan cerita alegoris yang imaginatif, sesuai kecenderungan imaginasi manusia. Sebagaimana yang dikatakan az-Zamakhsyari bahwa Al-Quran diturunkan kepada manusia dengan dan atas dasar kebiasaan dan cara-cara manusia berkomunikasi. 

Karena manusia biasa menyampaikan pikirannya berdasarkan realitas yang dialami dan kisah perumpamaan yang tidak terjadi, maka Al-Quran pun menggunakannya. Contoh prosa fiksi perumpamaan adalah kisah Qabil dan Habil dalam QS Al-Maidah:28-31. Sebagai sastra imaginatif, sastra Islam juga bukan sastra yang anti terhadap kisah percintaan, karena dalam Al-Quran sendiri terdapat kisah Yusuf dalam satu surat penuh yaitu QS. Yusuf yang jumlah ayatnya sebanyak 111.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun