Aku kebingungan, mengapa seorang perempuan yang menjadi penumpangku ini, memilih jalan yang kurang bagus di hadapan kami.
"Mba ini jalannya benar kan?" Tanyaku kepada perempuan di belakang punggungku. Aku kurang mengingat betul raut wajahnya, karena ia menyetop di pinggir jalan sepi tadi.
"Benar bang, kita lurus saja 6km" Jawab perempuan itu dengan suara datarnya yang kecil. Aku nyaris harus benar-benar memasang telinga agar bisa mendengar suara lembutnya.
Bagiku, yang terpenting saat ku lihat ke bawah, kakinya masih menapak tanah. Hahaha kan seram jika ternyata melayang tak menapak bumi. Hi...
Aku memang kerap kali diminta beberapa orang di jalan untuk mengantar ke berbagai tempat, meski tanpa melalui aplikasi online.Â
Misalnya untuk yang ingin pulang ke rumah namun kehabisan baterai handphone. Atau orang tua lansia yang ingin berobat ke Rumah Sakit, namun gaptek karena kurang paham menggunakan fitur canggih pada aplikasi ojek online.
Sambil terus berprasangka baik. Semoga aku dapat membantu orang lain lewat pekerjaanku, sebisaku.Â
Dalam keyakinanku, meski berprofesi sebagai pengemudi online. Namun tentu tetap ada peluang untuk berbuat baik kan?Â
Serta harapan, semoga mendapatkan penumpang yang baik. Walaupun di malam hari, tak ada kasus yang aneh-aneh. Seperti layaknya cerita kriminal perampokan atau begal di TV.
Penumpangku kali ini mengenakan atasan coklat, rok hitam panjang, dengan rambut sebahu. Sehingga praktis duduk dengan kondisi badan yang miring ke kiri.
"Jalanan nya berlubang  mba.. kalau lewat sini pas hujan, becek banget pasti" Kataku lagi. Sambil mengamati jalan dan berusaha membuka pembicaraan. Sesekali aku menguap, melawan kantuk yang kadang datang bersama angin dingin dini hari.
Beberapa orang penumpang sebelumnya, rasanya senang diajak mengobrol, namun kelihatannya penumpangku kali ini seorang yang tak banyak cakap. Terbaca dari jawaban perempuan itu singkat.
"Iya.." Hanya satu kata saja yang digunakannya.
Jawaban singkat itu tak ku ambil pusing. Motorku pun terus melaju  di atas jalan bergelombang, yang sepertinya terasa jauh sekali.Â
Padahal katanya hanya 6km, kok tak sampai juga ke tujuan ya. Batinku dalam hati.
Ban motorku terus meliuk ke kanan dan kekiri. Mataku pun harus benar-benar melotot ke arah jalan, agar tak salah ambil jalan ini yang minim penerangan. Alih-alih ban terantuk bebatuan yang runcing.
Jika salah yang ada bukan untung dapat cuan, malah buntung. Memperbaiki motor tua ini lagi, tanpa ada hasil dari begadang tengah malam, demi mencari rezeki.
Atau seharusnya memang sebaiknya aku mendengarkan nasihat kakakku yang selayaknya Ibu, selepas orangtuaku meninggal ya?
Agar aku menghindari begadang tengah malam, seperti dalam lagu Bang Rhoma Irama. Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya. Begadang boleh saja kalau ada perlunya..
Hihihi hatiku mulai bernyanyi mengusir bayangan, serta omelan kakakku yang cerewet di rumah. Dengan bernyanyi kadang memang bisa mengusir rasa kantuk dan jenuh yang menyiksa kala di perjalanan.
Ah.. kalau dipikir, aku begadang begini kan mencari rezeki, demi anak dan istri. Peluang ojek di malam hari lebih sedikit saingan dibandingkan siang hari.Â
Mencari rezeki lewat jasa mengantar penumpang, kala waktunya orang lain tidur nyenyak di tempat tidur mereka. Batinku dalam hati.
Ku rasakan angin dingin berhembus lebih kencang, membuatku menggigil. Namun perempuan di balik punggungku masih diam seribu bahasa, jika ia tak ditanya.
"Bang, berhenti di perumahan itu ya.." Katanya perempuan di belakangku dengan pelan, seraya menunjuk ke arah kiri depan.
"Siap mba.." Jawabku sambil tersenyum. Ah.. akhirnya sampai juga, pikirku.
Tak lama, perempuan di belakangku turun. Lalu menyerahkan uang pecahan 50.000 ke arahku.
"Kembali mba?" Tanyaku padanya.
"Ga usah bang, terimakasih" Jawab perempuan itu sambil berbalik menuju perumahan di belakangnya. Suasana tampak sepi di sekitarnya, tak terlihat ada satpam perumahan atau orang lewat.
Tak memperhatikan lagi situasi. Aku fokus kegirangan sendiri.
Membayangkan uang tadi untuk makan anak dan istri. Karena jika diukur dari aplikasi online, mungkin saja tarif perjalanan kami hanya separuh uang yang perempuan tadi berikan.
Aku pun kemudian mulai menderu gas motor lagi, setelah memasukkan uang ke saku jaket. Sambil berpikir, bahwa memang terkadang ketika malam hari orang menjadi lebih royal terhadap uang.Â
Mungkin karena jasa ojek yang jarang ada. Sedangkan kebutuhan untuk berpergian atau memesan makanan kala malam hari tetap ada.
Dari kejauhan terdengar sayup-sayup azan subuh berkumandang. Aku pun melaju motor mencoba mencari arah suara azan, bermaksud melaksanakan kewajibanku pada sang Ilahi.
Selepas menunaikan shalat. Aku pun mulai menancap gas lagi, mencari warung kelontong terdekat. Teringat membeli beras untuk anak-anak makan di rumah.
Praktis tanganku merogoh uang di kantong jaket. Tapi entah kenapa, tak terasa selembar kertas ada di sana.Â
Tentu aku sangat ingat, hanya satu penumpang malam tadi yang memberikan uang cash pecahan Rp 50000. Penumpang-penumpang sebelumnya membayar lewat aplikasi, sehingga untuk mencairkan saldo uang, perlu mengambil di atm terdekat.
Aku pun mulai panik, khawatir uang tadi terjatuh. Sambil meminggirkan motor, ku cari-cari uang di kantong.Â
Merogoh uang di saku satu dan menelusuri sisi satunya. Namun yang ku temukan hanya selembar sesuatu, yang ketika ku tarik keluar dari kantong adalah daun kering.
Ha.. Â daun?? Mataku melotot kebingungan, mengamati daun yang menguning di tangan. Apakah aku bermimpi ya? Batinku lagi.
Ku kucek-kucek mata, mungkin aku mengantuk karena semalaman begadang, pikirku lagi. Tapi daun kering itu tetap tak berubah bentuk. Selayaknya daun jambu kering biasa, dengan garis-garis tulang daun di bagian tengah. Â
Wah sepertinya aku harus menghampiri rumah perempuan tadi nih, batinku dalam hati. Mungkin saja karena gelap tadi, sehingga aku salah menyangka daun adalah uang.
Mungkinkah Mba tadi salah memberikan kepadaku? Atau aku ditipu dan dihipnotis ya? Kembali diri bertanya-tanya dalam hati.
Bergegas ku putar arah, menuju ke perumahan tempat tadi. Tempat aku menurunkan penumpang sebelum menunaikan sholat subuh.Â
Besar harapanku untuk mengambil kembali hakku. Semoga memang rejeki, pikirku lagi.
Aku pun mulai melaju di antara jalanan yang berlobang tadi. Menelusuri ingatan tentang perempuan berbaju coklat tadi.
Sesampainya di perkiraan lokasi perumahan penumpangku tadi. Sinar matahari sudah mulai menampakkan cahayanya.
Aku pun meminggirkan motor di antara ilalang yang ada di pinggir jalan. Suasana di area tersebut masih sepi seperti semalam.
Dan mataku mulai terbelalak, di depanku bukan lagi sekomplek perumahan. Namun komplek pemakaman, mataku menatap nanar ke depan. Benarkah ini? Atau hanya ilusi mataku saja.
Dalam hati ku terus bertanya-tanya, apakah aku salah arah. Atau jangan-jangan salah tempat ya.. Batinku sambil menggerutu.
Dengan gontai dan penasaran ku masuki area pemakaman. Tanpa sadar sepatu bututku  berjalan, seolah hati ada yang menggerakkan.Â
Menuju ke salah satu makam di sudut area perkuburan. Yang di sebelahnya ada pohon jambu dengan rumput liar yang lebat.
Kakiku tak sengaja menginjak daun jambu yang banyak berserakan di atas makam. Bentuknya serupa dengan yang ada di kantong jaketku.
Aku langsung berucap istighfar, mulai mengerti apa yang ku alami. Ya Allah.. semoga Engkau mengganti rizkiku dengan yang lebih baik. Gumamku perlahan.
Ku lirik sekilas nisan yang sepertinya masih baru. Inginku baca namanya namun ku urungkan.Â
Ah kak... biarlah.. mungkin kamu ingin ku kunjungi dan minta didoakan. Karena sepertinya makammu jarang ada yang mengunjungi, terlihat dari sampah dedaunan yang menumpuk di atas makam.
Tentu doa akan melapangkan kuburmu di dalam sana. Semoga doaku menjadi penerang di alam kuburmu, bisikku setelah menutup bacaan al fatihah. Â Â
Sumber: Kisah nyata pamanku sendiri
#PutriEkaSari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H