Mohon tunggu...
Putri EkaSari
Putri EkaSari Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawati

Semoga menulis menjadikan amal shalih yang bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jika Aku Jadi Kepala Daerah

27 November 2024   11:40 Diperbarui: 13 Desember 2024   18:29 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayo anak-anak... sebutkan siapa yang punya cita-cita?" Kata Bu Guru sambil mengancungkan jari ke atas, bertanya kepada murid-muridnya di kelas 1A.

"Saya Bu.." Ucap Anton cepat dan paling bersemangat, di antara teman-teman yang lain.

"Memangnya cita-citamu mau jadi apa Anton?'' Tanya Bu Ria, penasaran juga dengan jawaban Anton yang dalam hitungan detik.

Ia selalu terkesima dengan jawaban dan pertanyaan salah satu muridnya ini. Kadang begitu cerdik, lucu dan paling menggelitik diantara teman-temannya yang lain.

"Gubernur Bu.." Kata Anton menjawab dengan lantang, disertai mimik muka gembira.

"Wah Hebat.." Ucap Bu Ria sambil tersenyum.

"Kenapa Kamu ingin jadi Pak Gubernur Anton?'' Tanyanya lagi. Ia curiga, mungkin anak ini sekedar asal bicara, berhubung banyaknya berita dan spanduk pemilihan Gubernur yang banyak dipasang dimana-mana.

"Saya ingin membuat anak-anak di Jakarta bahagia Bu.." Jawab Anton dengan semangat. Yang ditanggapi dengan seruan serta sorak sorai teman-temannya..

"Wah.. keren.. Dengan cara apa Anton?'' Tanya Bu Ria penasaran. Apakah anak seumur Anton, bisa tidak ya jawab pertanyaan begini, batinnya dalam hati.

"Pokoknya Saya akan membagikan tak hanya susu gratis Bu, tapi permen gratis, coklat gratis, mainan gratis dan Buku gratis Bu.. biar anak-anak Jakarta semuanya bahagia.." Jawab Anton yang ditanggapi seruan riuh, dan tepuk tangan dari teman-teman di kelasnya.

"Jangan lupa sepeda buat Aku Ton" Celetuk Erwin, dari bangku kelas paling belakang.

"Aku juga mau boneka gratis Ton.." Sambung Wiwi di deretan depan ikutan mengancungkan tangan.

Beberapa teman-teman Anton pun praktis ikut mengancungkan tangan dan berseru menanggapi pernyataan Anton, Bu Ria hanya tersenyum menanggapi riuhnya kelas.

"Aku bisa tidak kebagian bedah rumahku saja Ton? Tanya Daus tiba-tiba dari bagian bangku belakang. Spontan semua anak berhenti dan menoleh ke arahnya. 

Anton terdiam dalam pertanyaan yang ditujukan Daus, Ia terlihat memutar otak. Memikirkan jawaban untuk Daus, temannya.

Daus yang jarang bicara dan sering diam, bengong di pojokan kelas. Ia adalah salah seorang anak pemulung, yang kini memulung botol plastik atau barang bekas sepulang sekolah. 

Dahulu ketika kecil, ia sering ikut dengan Ayahnya di dalam gerobak. Mengais barang bekas sambil menyusuri jalanan Jakarta.

Rumahnya adalah gubuk reyot yang terbuat dari seng dan triplek, sehingga praktis sering terkena tampias hujan. Bahkan sering kebanjiran karena dekat dengan Sungai Ciliwung. 

Ah.. tentu kadang tak terpikirkan dan terlupakan, anak-anak seperti Daus. Yang sering terpinggirkan di sudut Kota Jakarta yang megah.

Tentu menjadi seorang pemimpin yang terpilih kala pilkada. Sebagai Kepala Daerah, bisa berorasi dan promosi tentang beribu ide dan gagasan super. 

Penuh dengan citra yang mumpuni. Polesan yang baik, sedemikian rupa seperti layaknya Anton. 

Tapi apakah Ia akan tetap ingat akan janjinya? Dan melaksanakan tugas dengan sebaiknya. Benar-benar mengurus kaum yang terpinggirkan, atau hanya memikirkan kepentingan pribadi dan golongan saja? 

Ya.. Sebuah diskusi tentang cita-cita ini, memang tak pernah Bu Ria bayangkan dalam pikiran. Apalagi diangan-angan dalam mimpi.

Kenapa tidak? Karena baginya menjadi pemimpin. Apalagi Kepala Daerah, memiliki tanggung jawab yang berat, beban yang tidak mudah.

Tentu tak mudah mengelola sebuah Provinsi bukan? 

Jangankan mengatur sebuah daerah. Menata dan mengatur dalam bentuk yang lebih kecil saja. Misalnya murid-murid di kelas, Ia masih sering keteteran.

Pun ketika anak-anak didiknya bandel dan berantem saja Ia sudah kewalahan. Apalagi untuk sebesar Provinsi dengan masalah yang lebih kompleks, misalnya tawuran, jalan berlubang, kemacetan, dsb.

Jadi, cukuplah Ia memilih peran yang mampu dilakukan saja. Tak perlu ia mencoba peran lain yang mungkin akan sulit ia lakukan.

Serta cenderung akan mengorbankan peran pokok nya yang lain, yaitu menjadi istri dan ibu bagi anak-anak. Batin Bu Ria dalam hati.

Memiliki sebuah peran kecil membangun bangsa dari rumah dan masyarakat. Ia sudah merasa cukup untuk berkontribusi sebaiknya, sebisanya bagi Negara.

Ia cukup puas dengan peran tersebut, bukan karena tidak hanya berambisi sebagai Gubernur dengan segala tugas yang berat. Namun dengan berbagai fasilitas yang Negara bisa berikan. 

Bu Ria pun kembali menyela riuhnya anak-anak lain yang ikut menjawab pertanyaan Daus tadi.

"Ingatlah Nak.. apapun cita-cita kalian. Semua pekerjaan haruslah dilakukan dengan penuh tanggung jawab, karena kelak akan Allah pertanyakan di akhirat tentang amanat, titipan yang Allah berikan kepadamu". kata Bu Ria.

Tentu Bu Ria ingin melanjutkan dengan konsep lain, namun Ia khawatir anak kelas !SD mungkin belum mengerti.

Kelak kita akan ditanya jika jadi seorang kepala Daerah, bagaimana memimpin yang benar. Sudah adilkah? sudah jujur dan tak korupsikah?

Apalagi dengan kekuasaan yang ada, tentu sangat rentan dengan kesempatan yang sangat untuk korupsi dan mengambil uang rakyat, dari berbagai proyek pemerintahan bukan?

Kembali ia menerawang diantara jawaban-jawaban murid-muridnya yang masih seru bersahut-sahutan.

Ia pun seolah sibuk dengan pikirannya sendiri. Ah.. Jika Ia jadi Gubernur, atau bagian dari institusi Negara. Dan menolak untuk korupsi. 

Mungkin belum tentu dirinya kuat untuk menolak nepotisme atau gratifikasi lain untuk keluarga, atau akomodasi bentuk lain, misalnya jalan-jalan ke luar negeri dengan jet pribadi, nonton konser dengan tiket VIP dsb.

Ah.. rasanya ia tak sanggup menolak banyak hal dan akses yang didapatkan dengan leluasa bila menjadi seorang penguasa, apalagi Gubernur. Kepalanya terlihat menggeleng, bergoyang-goyang sendiri.

Ia tentu sangat khwatir dengan beratnya pertanggungjawaban di hadapan Allah saat hisab kelak.

Cukuplah peran yang ada dalam dirinya saat ini. Dioptimalkan agar dapat lebih bermanfaat untuk keluarga dan umat.

Baginya, title dan gelar Gubernur Wanita. Seperti beberapa Gubernur wanita di daerah lain, tentu tidak mudah. Membuat hidupnya akan terbebani dengan tanggung jawab, meskipun tentu akan menjadi terkenal di seantero Jakarta.

Tapi buat apalah ia di elu-elukan di dunia, namun kelak malah menjadi masuk neraka Allah karena tak bisa menjaga amanah dari Rakyat, naudzubillah.

-Kelas 'Membangun kebiasaan menulis selama 14 hari' Pak Cahyadi takariawan-

#PutriEkaSari

Jakarta 27Nov24

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun