Tanpa Kepala
Oleh Putri Diah Ayu Pitaloka
Sraaakkkk...ssrrrraakkkk...ssraakkkk... seorang pria paruh baya dengan pakaian compang-camping, lusuh, dan bau anyir, berjalan menyusuri lorong-lorong sunyi sekolahku. Sembari menarik karung goni yang terlihat penuh bangkai berlumur darah dan berbau busuk. Ia terus berjalan dengan tatapan kosong.
Angin yang menghambur kocar-kacir, membawa bau tak sedap itu ke sudut-sudut tak terjangkau. Ia terus berjalan, menyisakan bercak-bercak darah yang terkatung di kulit karung. Mata pria paruh baya itu terbelalak melihat sosok security tinggi besar berseragam rapih telah berdiri tepat didepannya.
“Selamat malam Bapak”, situasi tetap hening, pria itu tetap membisu dan bungkam.
“Permisi Bapak, boleh saya cek isi karungnya?”.
Belum sampai menggapai karung itu, security tersebut melihat banyak darah mengucur deras di lehernya. Seolah tidak melihat apapun, pria paruh baya di hadapannya meneruskan perjalanan sampai lenyap dimakan gelap.
***
Kukuruyuuukkkkkkk......ucapan selamat pagi dari si jago milik Ayah menjadi pertanda alam sudah bangun dari tidurnya. Seperti biasa, aroma telur goreng dan susu coklat buatan ibu sangat menusuk hidung. Huh... sayangnya aku tidak bisa sarapan dengan tenang. Senin. Ya, hari ini adalah bagianku piket di sekolah.
Berangkat pukul 6 sudah menjadi kebiasaanku di hari ini. Ku ambil langkah cepat, dengan tergesa-gesa ku teguk segelas susu tanpa jeda. Tidak berpikir panjang, tanganku sudah meraih tas dan sepatu. Begitu gesit dan lincahnya, ku tegapkan badan dan segera menuju ke arah dapur.
“Ibu, Ayah. Riri berangkat. Assalamualaikum.” mencium tangan ibu kemudian tangan ayah secara bergantian dengan postur gelisah.