Antara asli tapi mahal atau murah tapi bekas, mana yang akan kamu pilih saat hendak berbelanja? Mungkin beberapa dari kamu akan memilih opsi pertama dan berpikir pakaian bekas itu tidak bernilai. Eits, nyatanya bisnis pakaian bekas kini sedang marak di pasar produk fashion lho... Yap, belakangan ini masyarakat sedang diramaikan dengan jenis bisnis pakaian bekas atau kerap dikenal dengan sebutan Thrift Shop.
Kata Thrift sendiri berasal dari bahasa Inggris yang berarti penghematan, sedangkan Shop berarti toko atau lapak. Jadi, dapat dimaknai bahwa Thrift Shop merupakan jenis usaha yang menjual berbagai barang bekas mulai dari pakaian, sepatu, tas, hingga jam tangan. Meskipun bekas, barang-barang yang dijual umumnya masih layak untuk dipakai. Oleh karena itu, barang-barang tersebut dijual kembali agar sekaligus sebagai upaya penghematan dan menghindari adanya perilaku konsumtif. Â
Barang bekas dalam industri ini memiliki makna yang luas. Bukan hanya berupa barang bekas, produk thrift juga dapat berupa produk-produk yang tidak lolos standar industri. Atau barang-barang yang tidak laku dalam jangka waktu lama setelah terbit dari proses produksi. Semua barang-barang itu lantas diimpor oleh pedagang-pedagang Thrift Shop yang kemudian dijual kembali dengan harga miring.
Tren thrift shop ini sebenarnya tidak serta merta muncul pada era saat ini. Tepatnya pada paruh abad ke 18 dimana era revolusi industri mengenalkan produksi pakaian secara massal kepada dunia. Jenis produksi yang menghasilkan jutaan pakaian dalam sekali produksi ini secara tidak langsung membentuk opini masyarakat mengenai barang sekali pakai. Kebiasaan baru di tengah masyarakat pun terbentuk, yaitu menjadi sangat konsumtif.
Seorang musisi asal Amerika, Kurt Cobain mencoba mendobrak tabiat masyarakat dengan tampilannya yang penuh akan barang-barang thrift. Sejak kepopulerannya pada 1990 an, Cobain kerap tampil dengan menggunakan kemeja flannel yang dipadukan dengan kaos bolong, tampak persis seperti Thrift Style. Gaya busananya pun banyak diikuti remaja pada era itu dimana hanya dapat ditemukan di Thrift Shop.
Di Indonesia sendiri, mode Thrift ini mulai masuk pada era 1990-an dengan bantuan globalisasi. Penyebaran mode berpakaian seluruh dunia menjadi lebih mudah dan tak terbatas akibat kemajuan teknologi informasi di dalam globalisasi. Konsep ini sama dengan "ngombreng" atau melungsur di Indonesia yang bergerak dari para pedagang kaki lima di trotoar-trotoar jalan dan pasar tradisional. Sama dengan Thrift, barang-barang ngombreng relatif dijual dengan harga murah. Ini menjadi hal yang menarik bagi masyarakat dengan keterbatasan finansial dimana ngombreng menawarjan kesempatan aktivitas konsumsi tanpa harus pusing masalah harga.
Eksistensi Thrift Shop ini semakin meningkat akibat perkembangan teknologi yang menawarkan keberadaan sosial media bagi dunia bisnis. Banyak pedagang lantas membuat toko daring (online shop) untuk menjual dan memasarkan produk Thriftnya di berbagai sosial media seperti Instagram, TikTok, Shopee dan lainnya.
Sayangnya, fenomena Thrift Shop ini sedikit bertentangan dengan peraturan Kementerian Perdagangan RI No. 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang larangan impor pakaian bekas. Pada pasal 2 secara tegas menyatakan bahwa pakaian bekas jenis apapun dilarang masuk ke dalam wilayah teritorial republik Indonesia.
Peraturan ini juga semakin diperkuat oleh Peraturan Menteri Perdagangan no. 40 tahun 2022. Sebagai perubahan dari peraturan 18 tahun 2021, peraturan ini secara ketat mengatur mengenai barang-barang yang dilarang diimpor maupun diekspor. Pada pasal 2 ayat 3 kemudian tertulis bahwa karung, kantong, dan pakaian bekas dilarang impor karena memiliki dampak buruk bagi kesehatan penggunanya.
Widodo selaku Direktur Direktorat jenderal Standarisasi dan perlindungan Konsumen Kemendag menyatakan bahwa pakaian bekas memiliki resiko tinggi dalam menularkan banyak bakteri berbahaya bagi kesehatan. Bakteri itu dapat berupa Staphylococcus Aureus hingga jamur kapang atau khamir. Keberadaan bakteri-bakteri ini akan beresiko menyebabkan para pemakai pakaiana bekas rentan mengalami masalah pencernaan, infeksi kulit hingga infeksi saluran kemih.
Widodo melanjutkan, proses pencucian pakaian bekas juga tidak sekedar menggunakan deterjen biasa. Pakaian bekas harus segera direbus selama beberapa jam sebelum dicuci menggunakan antiseptik dan disetrika.
Presiden Jokowi pada wawancara Maret 2023 lalu juga mendukung adanya larangan usaha Thrift ini. Menurutnya, aktivitas jual beli pakaian bekas impor dapat menganggu roda pergerakan industri tekstil dalam negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), nilai impor pakaian bekas pada September 2022 mencapai 607,6%. Nilai ini berlawanan dengan data BPS yang menunjukkan penurunan pada jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor tekstil pada survei Agustus 2022.
Oleh karena itu, industri kecil dan menengah di sektor fesyen dan menjahit terancama persaingan dengan pakaian bekas impor yang dijual dengan harga sangat murah. Penjualan dengan harga miring ini menurunkan daya saing dan menyebabkan persaingan tidak kompetitif antara Thrift dan usaha tekstil haszil dalam negeri. Presiden Jokowi pun telah memerintahkan jajarannya, dalam hal ini Kementerian Perdagangan bersama Bareskrim Polri untuk melalukan penindakan praktik bisnis Thrift.
Teten Masduki, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) juga menambhakn usaha Thrift ini dapat mempengaruhi pendapatan negara. Menurutnya, usaha pakaian bekas mengancam perluasan lapangan pekerjaan hingga 25.000. Malah kegiatan ini merupakan bentuk penyelundupan yang tidak sejalan dengan gerakan "Bangga Buatan Indonesia".
Gerakan BBI yang dilakukan secara nasional ini dilakukan pemerintah dalam upaya mendukung dan melindungi industri produk dalam negeri. Pemerintah memproyeksikan kenaikan tingkat konsumsi produk UKM hingga 40%. Jangka panjangnya dapat berimbas pada pertumbuhan ekonomi hingga 1,85%.
Meski peraturan dan kegiatan penindakan telah dilakukan, pemerintah tampaknya masih belum dapat mengatasi persoalan atas fenomena Thrift Shop ini. Adapun dua faktor yang mempengaruhi hambatan dalam tercapainya kebijakan ini, yaitu faktor sumber daya dan perilaku masyarakat.
Jika ditelisik dari faktor sumber daya, dalam hal ini adalah sumber daya manusia, organisasi bea cukai sebagai pihak dengan otoritas melakukan penindakan dinilai masih kurang dalam jumlah aparat. Faktor ini lantas berpengaruh pada kualitas kinerja bea cukai dalam mengawasi barang yang masuk dan keluar dari luar negeri. Alhasil, bea cukai masih suka "kecolongan" terhadap berbagai aktivitas penyelundupan, termasuk pakaian bekas impor.
Selain sumber daya manusia, faktor perilaku masyarakat juga ikut mempengaruhi. Fenomena Thrift ini malah membentuk gaya hidup baru di tengah masyarakat dimana menjadi gemar menggunakan pakaian-pakaian bekas. Banyak dari masyarakat beranggapan bahwa Thrift menawarkan barang-barang ber merk besar namun dijual dengan harga miring. Harga yang murah ini juga menjadi menggiurkan khususnya untuk masyarakat menengah ke bawah yang ingin memiliki barang bermerk namun terkendala pada persoalan harga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H