Presiden Jokowi pada wawancara Maret 2023 lalu juga mendukung adanya larangan usaha Thrift ini. Menurutnya, aktivitas jual beli pakaian bekas impor dapat menganggu roda pergerakan industri tekstil dalam negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), nilai impor pakaian bekas pada September 2022 mencapai 607,6%. Nilai ini berlawanan dengan data BPS yang menunjukkan penurunan pada jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor tekstil pada survei Agustus 2022.
Oleh karena itu, industri kecil dan menengah di sektor fesyen dan menjahit terancama persaingan dengan pakaian bekas impor yang dijual dengan harga sangat murah. Penjualan dengan harga miring ini menurunkan daya saing dan menyebabkan persaingan tidak kompetitif antara Thrift dan usaha tekstil haszil dalam negeri. Presiden Jokowi pun telah memerintahkan jajarannya, dalam hal ini Kementerian Perdagangan bersama Bareskrim Polri untuk melalukan penindakan praktik bisnis Thrift.
Teten Masduki, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) juga menambhakn usaha Thrift ini dapat mempengaruhi pendapatan negara. Menurutnya, usaha pakaian bekas mengancam perluasan lapangan pekerjaan hingga 25.000. Malah kegiatan ini merupakan bentuk penyelundupan yang tidak sejalan dengan gerakan "Bangga Buatan Indonesia".
Gerakan BBI yang dilakukan secara nasional ini dilakukan pemerintah dalam upaya mendukung dan melindungi industri produk dalam negeri. Pemerintah memproyeksikan kenaikan tingkat konsumsi produk UKM hingga 40%. Jangka panjangnya dapat berimbas pada pertumbuhan ekonomi hingga 1,85%.
Meski peraturan dan kegiatan penindakan telah dilakukan, pemerintah tampaknya masih belum dapat mengatasi persoalan atas fenomena Thrift Shop ini. Adapun dua faktor yang mempengaruhi hambatan dalam tercapainya kebijakan ini, yaitu faktor sumber daya dan perilaku masyarakat.
Jika ditelisik dari faktor sumber daya, dalam hal ini adalah sumber daya manusia, organisasi bea cukai sebagai pihak dengan otoritas melakukan penindakan dinilai masih kurang dalam jumlah aparat. Faktor ini lantas berpengaruh pada kualitas kinerja bea cukai dalam mengawasi barang yang masuk dan keluar dari luar negeri. Alhasil, bea cukai masih suka "kecolongan" terhadap berbagai aktivitas penyelundupan, termasuk pakaian bekas impor.
Selain sumber daya manusia, faktor perilaku masyarakat juga ikut mempengaruhi. Fenomena Thrift ini malah membentuk gaya hidup baru di tengah masyarakat dimana menjadi gemar menggunakan pakaian-pakaian bekas. Banyak dari masyarakat beranggapan bahwa Thrift menawarkan barang-barang ber merk besar namun dijual dengan harga miring. Harga yang murah ini juga menjadi menggiurkan khususnya untuk masyarakat menengah ke bawah yang ingin memiliki barang bermerk namun terkendala pada persoalan harga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H