Mohon tunggu...
Putri Ageng Anjani
Putri Ageng Anjani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Blog milik pribadi hasil kajian sebagai mahasiswa Magister Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Email: putriagenganjani@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Reformasi Hukum Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Restraint

24 Juni 2024   00:05 Diperbarui: 17 Oktober 2024   19:52 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PUTRI AGENG ANJANI, SH

Kewenangan DPR, dituntut untuk menjadi produk hukum yang berkualitas. DPR selaku pembentuk undang-undang diharuskan menghasilkan produk undang-undang yang berkualitas. Kualitas undang-undang dapat diujikan di Mahkamah Konstitusi apabila dirasa tidak sesuai dengan UUD NRI 1945. Sehingga, produk hasil legislasi DPR tunduk dengan norma-norma konstitusi.[1] Proses pembentukan undang-undang pada prinsipnya berjalan secara demokratis. Namun, DPR yang merupakan lembaga politik sering terbelenggu kepentingan partai politik. Guna mengatasi hal tersebut, Mahkamah Konstitusi difungsikan untuk mengamankan politik hukum undang-undang sehingga sejalan dengan UUD NRI 1945. Selain itu, juga untuk menjaga dan mengontrol nilai-nilai murni dari konstitusi dan kepentingan rakyat yang bisa saja tersandera dengan produk undang-undang.

James B. Thayer merupakan orang pertama kali yang mengemukakan judical restraint dalam tulisannya "The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law" tahun 1893. Teori ini menggunakan pendekatan dengan menempatkan pengadilan agar membatasi atau menahan diri dalam membuat kebijakan yang menjadi ranah kewenangan legislator, eksekutif, dan pembentuk peraturan perundang-undangan lainnya.[2]

Sementara, Judicial restraint menurut Philip Talmadge adalah upaya dari cabang kekuasaan kehakiman untuk tidak mengadili perkara yang dapat mengganggu cabang kekuasaan yang lain, pengadilan hanya diperkenankan untuk mengadili perkara yang ditentukan secara limitatif berdasarkan hukum sebagai kewenangannya (limited jurisdiction) [3]

Judicial restraint dalam disertasi Salman disebut dengan pembatasan badan peradilan. Pembatasan badan peradilan sebagaimana menurut Posner dalam Salman harus mengedepankan reticence yang berarti diam yang berarti sebagai assumption that judges should not be making policy decisions. Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa hakim maupun pengadilan menghindari dari pembentukan norma yang memang bukan kewenangannya atau mengedepankan konsep negative legislature. Sehingga, dalam proses judicial ataupun pengujian, pengadilan menahandiri pembentukan peraturan yang memang bukan kewenangannya yang dapat mengganggu prinsip pemisahan kekuasaan.

Pendekatan ini dibagi oleh Richard A. Posner (2012) dalam  tiga bagian, yaitu:

Pertama, legalism atau formalism sebagai suatu pendekatan bahwa hakim hanya menjalankan hukum dan tidak untuk membuatnya.

Kedua, modesty, institutional competence, atau process jurisprudence yang menempatkan hakim untuk menghormati dan tidak memasuki ranah kewenangan legislatif atau eksekutif dalam membuat keputusan atau kebijakan.

Ketiga, constitutional restraint yang menempatkan hakim untuk sangat enggan menyatakan inkonstitusional dari suatu keputusan atau tindakan eksekutif maupun legislatif.

Pendekatan terhadap teori ini menuntut agar pengadilan dan para hakimnya memahami batasan-batasan atas kewenangan dan kemampuannya, sehingga mampu menahan diri untuk tidak mengadili atau membuat kebijakan yang bukan menjadi ranah kewenangannya. Dalam proses ajudikasi konstitusional, judicial restraint lebih pada tingkatan atau derajat yang perlu dipahami oleh para hakim mengenai kapan dan sejauh mana mereka harus mengadili keputusan atau kebijakan dari lembaga legislatif dan eksekutif dalam keadaan yang tepat.

Aileen Kavanagh (2009) memberikan empat alasan dan kondisi untuk menggunakan pendekatan judicial restraint ini, yaitu:

Pertama, keterbatasan keahlian peradilan untuk memutus sesuatu yang sangat kompleks dan tidak dapat memprediksi konsekuensi-konsekuensi lain yang akan muncul dari putusannya.

Kedua, sifat inkremental dari putusan pengadilan dengan menyadari bahwa reformasi atau pertimbangan parsial justru bisa membawa resiko yang kontraproduktif sehingga akan gagal mencapai harapan atau maksud yang ingin dituju.

Ketiga, adanya legitimasi demokratis dan akuntablitas lembaga pengadilan yang lebih rendah dibandingkan dengan legislator dan eksekutif dalam membuat suatu putusan atau kebijakan.

Keempat, menjaga reputasi dan memberikan kepercayaan publik terhadap pengadilan sebagai pemutus yang adil sehingga keputusannya dihormati, baik oleh parlemen, eksekutif, dan   meskipun begitu, Judicial review di Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Semenjak reformasi, konsep checks and balances mulai dianut sebagai paham dalam kelembagaan negara. Berkaitan dengan hal tersebut, ada pola terstruktur dalam pembentukan dan penerapan sebuah undang-undang.

Sehingga, menurut pendapat penulis perlunya aturan yang mengatur mengeai Judicial Restraint karena putusan pengujian UU yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi juga harus didasari pada konsep judicial restraint, sehingga menghindari untuk menyinggung cabang kekuasaan negara yang lain, bahkan terhindar untuk menyinggung sesama pelaksana kekuasaan kehakiman.

[1] Hufron. (2019). Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam penataan kelembagaan terbaru. Jurnal Hukum Magnum Opus, 2(2), 114-124. DOI: https://doi.org/10.30996/jhmo.v2i2.2496.

[2] James B. Thayer, "The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law," Harvard Law Review, Vol.7, 1893

[3] Philip Talmadge, "Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General 

Jurisdiction Court Systems"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun