PUTRI AGENG ANJANI, SH
Kewenangan DPR, dituntut untuk menjadi produk hukum yang berkualitas. DPR selaku pembentuk undang-undang diharuskan menghasilkan produk undang-undang yang berkualitas. Kualitas undang-undang dapat diujikan di Mahkamah Konstitusi apabila dirasa tidak sesuai dengan UUD NRI 1945. Sehingga, produk hasil legislasi DPR tunduk dengan norma-norma konstitusi.[1] Proses pembentukan undang-undang pada prinsipnya berjalan secara demokratis. Namun, DPR yang merupakan lembaga politik sering terbelenggu kepentingan partai politik. Guna mengatasi hal tersebut, Mahkamah Konstitusi difungsikan untuk mengamankan politik hukum undang-undang sehingga sejalan dengan UUD NRI 1945. Selain itu, juga untuk menjaga dan mengontrol nilai-nilai murni dari konstitusi dan kepentingan rakyat yang bisa saja tersandera dengan produk undang-undang.
James B. Thayer merupakan orang pertama kali yang mengemukakan judical restraint dalam tulisannya "The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law"Â tahun 1893. Teori ini menggunakan pendekatan dengan menempatkan pengadilan agar membatasi atau menahan diri dalam membuat kebijakan yang menjadi ranah kewenangan legislator, eksekutif, dan pembentuk peraturan perundang-undangan lainnya.[2]
Sementara, Judicial restraint menurut Philip Talmadge adalah upaya dari cabang kekuasaan kehakiman untuk tidak mengadili perkara yang dapat mengganggu cabang kekuasaan yang lain, pengadilan hanya diperkenankan untuk mengadili perkara yang ditentukan secara limitatif berdasarkan hukum sebagai kewenangannya (limited jurisdiction) [3]
Judicial restraint dalam disertasi Salman disebut dengan pembatasan badan peradilan. Pembatasan badan peradilan sebagaimana menurut Posner dalam Salman harus mengedepankan reticence yang berarti diam yang berarti sebagai assumption that judges should not be making policy decisions. Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa hakim maupun pengadilan menghindari dari pembentukan norma yang memang bukan kewenangannya atau mengedepankan konsep negative legislature. Sehingga, dalam proses judicial ataupun pengujian, pengadilan menahandiri pembentukan peraturan yang memang bukan kewenangannya yang dapat mengganggu prinsip pemisahan kekuasaan.
Pendekatan ini dibagi oleh Richard A. Posner (2012) dalam  tiga bagian, yaitu:
Pertama, legalism atau formalism sebagai suatu pendekatan bahwa hakim hanya menjalankan hukum dan tidak untuk membuatnya.
Kedua, modesty, institutional competence, atau process jurisprudence yang menempatkan hakim untuk menghormati dan tidak memasuki ranah kewenangan legislatif atau eksekutif dalam membuat keputusan atau kebijakan.
Ketiga, constitutional restraint yang menempatkan hakim untuk sangat enggan menyatakan inkonstitusional dari suatu keputusan atau tindakan eksekutif maupun legislatif.
Pendekatan terhadap teori ini menuntut agar pengadilan dan para hakimnya memahami batasan-batasan atas kewenangan dan kemampuannya, sehingga mampu menahan diri untuk tidak mengadili atau membuat kebijakan yang bukan menjadi ranah kewenangannya. Dalam proses ajudikasi konstitusional, judicial restraint lebih pada tingkatan atau derajat yang perlu dipahami oleh para hakim mengenai kapan dan sejauh mana mereka harus mengadili keputusan atau kebijakan dari lembaga legislatif dan eksekutif dalam keadaan yang tepat.
Aileen Kavanagh (2009) memberikan empat alasan dan kondisi untuk menggunakan pendekatan judicial restraint ini, yaitu: