Mohon tunggu...
Intan Pratama Putri
Intan Pratama Putri Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

NIM : 43121010064 Dosen : Apollo, Prof.Dr,M.Si.Ak kampus : Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Asuransi Jiwasraya Aplikasi Pemikiran Panopticon Jeremy Bentham dan Kejahatan Structural Giddens Anthony

31 Mei 2023   23:29 Diperbarui: 31 Mei 2023   23:29 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan Panopticon, kontrol bisa menjadi luas. Disiplin menjadi lebih mudah. Mekanisme panoptik didasarkan pada arsitektur bangunan penjara (J Bentham, 1791). Di sampingnya ada sel tahanan di sekitar menara pengawas dengan jendela berlapis besi. Tidak hanya orang yang bisa melihat siluet orang yang dikutuk, tetapi semua gerakan dikontrol dengan jelas oleh menara pengawas. Para tahanan tidak tahu siapa dan berapa banyak yang menonton. Anda hanya tahu dia sedang diawasi. Sistem Panopticon adalah bentuk kontrol yang memungkinkan kepatuhan dan keteraturan dengan meminimalkan tindakan yang tidak dapat diprediksi.

Pada prinsipnya pemantauan dapat berlangsung terus menerus, pengaruh kesadaran terus dipantau. Kekuatan sistem panoptikon terletak pada kemampuannya mendorong internalisasi kontrol. Objek kekuasaan menjadi pembawa kemungkinan situasi kendali. Sistem ini merupakan model fungsi kontrol disipliner yang dapat diterapkan di semua sektor. Ini menjadi bentuk kontrol yang tidak lagi membutuhkan kekerasan fisik.

Saat kita berbicara tentang ruang, kita tahu bahwa semua pengalaman manusia terkandung, cair, dan hidup di ruang. Ini adalah kapal yang memungkinkan aktivitas fisik dan sosial. Henri Lefebvre, seorang pemikir Marxis heterodoks, menyebutnya habitat pada saat itu. Sebuah arena di mana segala aktivitas dan rutinitas manusia berlangsung, sebuah ruang yang tentu saja dimaknai dan dialami, sebuah ruang di mana kehidupan sosial memungkinkan sirkulasi dalam segala hal. Di sisi lain, ruang juga bisa dilihat sebagai aspek yang mengganggu:


Efisiensi. Sebagai contoh, banyak ruang yang diciptakan terkait erat dengan kekuasaan dalam hal penataan ruang. Kita bisa melihat contohnya di ruang kota. Menurut Michel Foucault, ruang kota adalah alegori penjara seperti panopticon:
bangunan penjara dengan teknologi komando dan kontrol yang ketat. Jadi, seperti panopticon, kota ini tidak hanya didesain untuk lokasi, namun berkat teknologi ubiquitous surveillance camera (CCTV), kota ini juga didesain untuk pengawasan dan kontrol. Setiap orang kemudian seperti penjahat yang setiap gerak-geriknya harus diawasi. Penataan ruang kota tidak lebih dari penerapan kekuasaan kepada masyarakat.

Hubungan erat antara ruang dan kekuasaan menjadi jelas ketika kita melihat fungsi ruang manusia. Bahwa beberapa fungsi sosial dalam ruang selalu memicu supremasi sepihaknya. Saat pelaksanaan kekuasaan di ruang angkasa semakin ketat, ruang menjadi isu yang diperdebatkan.

Ini terlihat jelas di semua area Autobahn. Dalam artian, di jalan beraspal, setiap orang merasa bahwa mereka menguasai hak semua ruang yang tersebar. Ketika Anda mendengar bunyi klakson mobil, artinya Anda harus segera keluar karena pemilik mobil merasa menguasai jalan yang Anda lalui. Di jalan, orang sering bersaing satu sama lain untuk menunjukkan kehausan mereka akan kekuasaan, saling menolak dan mendominasi seolah-olah masing-masing dibentuk oleh apa yang diinginkan oleh modernitas: kompetitif dan individualistis. Tidak diragukan lagi, jalan raya itu seperti ruang tanpa akhir.

Semakin banyak pengendara mengisi Autobahn, semakin banyak orang yang merasa perlu berebut tempat. Entah itu rombongan pengendara sepeda motor, rombongan pengendara motor pecinta sepak bola, atau pengendara sepeda motor atau motor lain, jalan tol dijadikan arena penjelajahan luar angkasa.


Di sini konsep "berbagi" seolah hilang dalam ruang sadar, semacam ketidakbahagiaan yang digantikan oleh pelupaan. Padahal, urat-urat jalan raya yang hanya digunakan sebagai ruang terpencil sudah beberapa kali menjadi kawasan sengketa. Sudah biasa bagi pemerintah dan pedagang kaki lima untuk mengambil tempat di arena karena sudah biasa bagi dua orang menggunakan toilet umum untuk buang air kecil sampai mati.

Apa yang terjadi di jalanan seringkali juga terjadi di tempat lain. Misalnya, untuk menempati ruang kelas, setiap orang pertama-tama harus mengatasi hambatan persaingan, seringkali terkait dengan silsilah keluarga, kasta, kelas sosial, dan uang, untuk memfasilitasi penghapusan semua hambatan untuk bersaing memperebutkan tempat kelas. Apalagi, tak diragukan lagi, ruang-ruang eksklusif yang dijejalkan di gedung DPR hanya bisa ditempati jika pertarungan politik antara kelicikan, kebrutalan, dan intrik dimenangkan.

Lebih memilukan lagi ketika ruang publik yang sejatinya merupakan ruang bersama tempat orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat beraktivitas sehari-hari, lambat laun digerogoti oleh kekuasaan. Tengok saja Karebo kita yang lambat laun menjadi milik pribadi dan dijadikan kawasan komersial. Meski sempat ada pembagian ruang dimana pemodal hanya menggunakan basement untuk membangun mall, Texas Chicken dan The Coffee Bean & Tea Leaf baru-baru ini menunjukkan wajah baru di lokasi sekitar Karebos. Di sini kepentingan modal diam-diam mengambil alih pertanian Karebosi yang sebenarnya adalah pertanian komunal.

sistem panopticon memiliki tiga keunggulan (M Foucault, 1975: 238-9). Pertama, ini mengurangi penggunaan kekuatan atau disiplin dari sudut pandang ekonomi. Kedua, dari sudut pandang politik, itu adalah bentuk kontrol yang tidak terlihat yang mencegah perlawanan. Dampak dari kekuatan sosial ini sangat kuat dan berjangkauan luas, dengan sedikit risiko kegagalan. Ketiga, memaksimalkan kegunaan alat pedagogik dengan penekanan pada memaksimalkan peran elemen sistem.  
Sistem Panopticon mengilhami sistem hukuman lebih tentang kompensasi daripada balas dendam. Dengan cara ini hukuman diubah menjadi koreksi, kompensasi atau perbaikan. Model ini diimplementasikan di Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) di Solo. Antara 0 dan 15 menit terlambat, siswa harus bekerja 30 menit produksi lembur. Jika dia terlambat 15-30 menit, dia harus mengganti satu jam lembur;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun