Mohon tunggu...
Putri Rizky Melinda
Putri Rizky Melinda Mohon Tunggu... Lainnya - Marketing Communication Intern

Merangkai kata itulah kegemaranku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warna-Warna yang Tersembunyi

3 Oktober 2024   21:53 Diperbarui: 3 Oktober 2024   22:33 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Congratulation, Alya" Sorak keluargaku penuh bangga setelah mendengar pengumuman kejuaran lomba untuk kesekian kalinya. Namaku Alya, aku  anak terakhir dari ketiga bersaudara. Kakakku yang pertama, Naya  adalah seorang Direktur Utama termuda yang sukses di Perusahaan ternama. 

Sedangkan, kakak keduaku, Roni adalah seorang pengusaha muda yang memiliki banyak cabang Perusahaan bergerak dibidang FMCG. Sebagai anak bungsu, aku selalu menjadi pusat perhatian dan harapan orangtuaku. Aku diharapkan bisa menyaingi prestasi kakak-kakakku, bahkan melampauinya. 

Setiap kali aku meraih juara, senyum bangga selalu terukir di wajah orang tua dan kakak-kakakku. Di balik senyum mereka, aku meresakan beban yang begitu berat. 

Aku merasa seperti sebuah piala yang harus terus digilap agar tetap bersinar. Aku takut jika suatu saat aku gagal, mereka akan menganggap aku 'manusia tidak berguna'. Aku tidak akan menerima kenyataan, saat kata-kata itu terlontar halus dari mulut mereka.

Sinar matahari pagi menembus celah tirai, menyinari wajah Alya yang masih terbenam dalam tumpukan buku. Kamar tidurnya, yang tertata rapi seperti perpustakaan mini, kini tampak sedikit berantakan. 

Tumpukan buku Pelajaran berserakan diatas meja belajar, berdampingan dengan novel favoritnya yang masih terbuka. Jarum jam sudah menunjukkan pukul enam. 

Dengan hati yang gelisah, Alya perlahan bangkit dari tempat tidur queen size-nya, menyisihkan selimut sutra lembut yang senada dengan interior kamarnya yang mewah secara perlahan.

Ia berjalan gontai menuju kamar mandi. Cermin kabut menyambutnya, memantulkan bayangan seorang gadis dengan mata panda dan rambut kusut. Alya menatap dalam-dalam. Dalam pantulan itu, ia melihat ketakutan yang tersembunyi di balik senyumnya yang biasanya ceria. 

Pikirannya melayang pada ujian mata Pelajaran matematika di hari esok membuatnya resah, takut tidak sesuai ekspektasi kedua orang tuanya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha mengusir perasaan cemas itu.

Sebelum mandi, Alya mengamati refleksi dirinya di cermin. Dengan telaten, ia menyisir rambutnya yang kusut dan mengikatnya tinggi. Napas dalam diambilnya, lalu ia menarik tirai jendela kamar. 

Sinar mentari pagi yang hangat menerpa kulitnya yang putih mulus, bagai sentuhan lembut bidadari. Sejenak, ia larut dalam keindahan pagi. Namun, Alya segera tersadar. Dengan semangat baru, ia membuka jendela lebar-lebar, membiarkan udara segar pagi hari menyegarkan pikirannya.

Pandanganya tertuju pada taman kecil di belakang rumahnya. Bunga warna-warni mulai merekah, seolah ingin menghiburnya. Alya tersenyum tipis. Ia ingat kata-kata neneknya, "awali harimu dengan penuh senyuman." Kalimat yang di ucapkan oleh almarhumah nenek nya membuat ia semangat untuk memulai hari. 

Dengan kekuatan penuh ia bertekad untuk menghadapi hari ini  dengan sebaik-baiknya. 

Setelah itu, ia bergegas merapikan kamarnya. Buku-buku pelajaran yang berserakan ia masukkan ke dalam tas. Dengan penuh semangat, Alya melangkah pasti menuju kamar mandi untuk memulai hari yang baru dan bersiap-siap berangkat sekolah.

Setiap pagi, alya memulai harinya dalam kesunyian rumah megah yang terasa hampa. Aroma susu yang sudah tergantikan aroma kopi pahit menyeruak dari daput, menemani sarapan sendiriannya. Jam dinding berdetak nyaring, seakan menghitung mundur waktu yang terus berlalu. 

Jadwal sepulang sekolahnya kini dipenuh oleh puzzle yang telah disusun rapi, seperti Adanya pertemuan OSIS membahas program yang belum terlaksana, les privat Matematika, Fisika, dan Kimia yang menjemukan, dan lima proyek besar sudah menanti untuk segara diselesaikan dengan tenggat waktu yang singkat. 

Semuanya ia lakukan satu demi satu bertujuan untuk memenuhi seleksi masuk Universitas Oxford, impian yang telah digantungkan tinggi oleh orang tuanya.

"Kenapa harus secepat ini" gumamnya pelan, menatap secangkir kopi yang menguap di hadapannya. Dulu, sarapan adalah waktu yang ia nanti-nantikan. Ia akan bercerita pada ibunya tentang mimpi-mimpi indahnya, tentang keinginannya menjadi seorang penulis. Namun, sekarang, waktu untuk bermimpi terasa begitu mewah.

Setiap hari adalah perlombaan tanpa akhir. Alya berlari mengejar kesempurnaan yang telah ditetapkan orang tuanya. Ia harus menjadi yang terbaik dalam segala hal. Prestasi akademik yang gemilang, bakat kepemimpinan yang mumpuni, dan keterampilan sosial yang prima---semuanya harus ia miliki. Tekanan itu terasa begitu berat, menindih dadanya hingga sesak.

"Aku lelah," batinnya suatu malam, sambil menatap langit malam dari jendela kamarnya. Ia teringat masa kecilnya, saat ia bebas bermain di taman belakang rumah bersama teman-teman masa kecilnya. Mereka membangun istana pasir, bermain petak umpet, dan tertawa lepas. Namun, seiring bertambahnya usia, kesenangan-kesenangan sederhana itu perlahan sirna digantikan oleh tumpukan buku dan jadwal yang padat.

Malam itu, dengan keberanian yang besar, Alya sekali lagi mencoba berbagi beban hatinya pada orangtua. Ia ingin mengejar minatnya melukis, namun harapannya selalu pupus. Ayah, sibuk dengan telepon bisnisnya, hanya menggeleng dan mengulang, 'Demi masa depanmu.' Ibunya, sibuk dengan laptop, memberikan tatapan dingin. Merasa tidak didengar, Alya dipenuhi kemarahan, kesedihan, dan kecewa. Ia merasa kesepian dan terisolasi. Kekecewaan mendalam mendorongnya memberontak. Ketika Alya mengungkapkan kekecewaannya, ibunya hanya berkata, 'Kamu sudah mulai berani ya sama ibu sama ayah.' Mendengar itu, Alya semakin kecewa. Dengan air mata berlinang, ia berteriak, 'Aku bisa hidup tanpa kalian semua!' lalu berlari ke kamarnya.

Sebagai ketua OSIS, Alya selalu tampil percaya diri dan tegas. Namun, di balik sosok pemimpin yang disegani itu, ia menyimpan kerentanan yang jarang diketahui orang lain. 

Dulu, Alya pernah mengalami kegagalan besar dalam suatu kompetisi debat yang membuatnya merasa tidak percaya diri. Kegagalan itu membuatnya menarik diri dan enggan untuk lagi-lagi mengekspresikan dirinya di depan umum. 

Namun, di tengah kesendiriannya, Alya memilih kembali seperti dahulu, melukis sebagai pelarian. Dengan kuas di tangan dan kanvas mini di hadapannya, ia bebas mengekspresikan segala perasaan dan pikiran yang selama ini terpendam. Setiap goresan kuas adalah sebuah bentuk pembebasan bagi dirinya. 

Melukis menjadi tempat pelarian di tengah hiruk pikuk kehidupan sekolah dan organisasi. Sayangnya, ia takut jika orang tuanya mengetahui hobinya ini. Mereka yang selalu menekankan pentingnya prestasi akademik, pasti akan menganggap melukis sebagai pemborosan waktu.

Suatu hari, secara tidak sengaja, Alya menemukan sebuah klub melukis di sekolah. Dengan ragu, ia memutuskan untuk bergabung. Di sana, ia bertemu dengan teman-teman baru yang memiliki minat yang sama. 

Bersama mereka, Alya merasa diterima dan dipahami. Melalui klub melukis, Alya tidak hanya mengembangkan bakatnya, tetapi juga menemukan kembali rasa percaya dirinya yang sempat hilang. 

Kuas dan kanvas kini kembali menjadi sahabat setianya. Melalui goresan-goresan warna, ia mencurahkan segala perasaan dan pikiran yang selama ini terpendam. Kecemasan akan ekspektasi orangtua, tekanan sebagai ketua OSIS, dan rasa tidak percaya diri akibat kegagalan di masa lalu, semuanya ia tuangkan ke dalam karya-karyanya.

Namun, menemukan waktu yang tepat untuk melukis bukanlah hal yang mudah. Sebagai ketua OSIS, jadwalnya sangat padat. Seringkali, ia harus mengorbankan waktu tidurnya untuk menyelesaikan tugas-tugas organisasi. Meski begitu, Alya tetap berusaha menyisihkan sedikit waktu setiap hari untuk melukis, bahkan jika hanya beberapa menit.

Alya menyadari bahwa melukis bukan hanya sekedar hobi, tetapi juga menjadi terapi baginya. Ketika fokus pada setiap goresan kuas, pikirannya menjadi tenang dan masalah-masalah yang dihadapinya terasa lebih ringan. 

Melalui melukis, ia belajar untuk lebih menghargai dirinya sendiri dan menerima kekurangannya. Ia juga menemukan kekuatan dalam diri untuk menghadapi segala tantangan yang datang.

Karya-karyanya yang penuh emosi mulai mendapatkan perhatian dari teman-temannya. Beberapa di antaranya bahkan meminta Alya untuk mengajarkan mereka melukis. Hal ini membuat Alya merasa bangga dan termotivasi untuk terus berkarya. Melalui melukis, Alya tidak hanya menemukan jati dirinya, tetapi juga menemukan komunitas yang mendukungnya.

Saat libur sekolah Ibu memiliki kebiasaan untuk merapikan lemari pakaian Alya ketika matanya menangkap sudut sebuah kanvas yang menyembul di balik tumpukan buku. Dengan rasa penasaran, ia menariknya keluar. 

Sebuah lukisan abstrak dengan warna-warna cerah dan garis-garis dinamis terpampang di hadapannya. Seorang gadis dengan rambut panjang berkibar seolah sedang terbang bebas, matanya memancarkan semangat juang. 

Ibu tertegun. Kamar Alya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan, bekas-bekas cat berserakan di meja belajar. Alya muncul dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Melihat ekspresi ibunya, ia tahu rahasianya telah terbongkar. "Ma..." panggilnya lirih. 

Ibu menatap lukisan itu lagi, lalu ke arah Alya. "Aku tidak menyangka kamu bisa melukis sebagus ini," ujarnya, suaranya lembut. Alya tersenyum menatap tajam. "Aku selalu suka melukis, Ma. Ini seperti cara saya untuk..."

"Untuk buang-buang waktu dan uang ayah ibu saja gitu, maksud mu"

"Aku bisa jelaskan-" dengan berat hati ia melihat ibu menghancurkan karya yang sudah ia buat saat di sekolah.

"Ibu tega" Alya tidak bisa berkata-kata melihat perilaku Ibu nya dengan seenaknya menghancurkan karyanya.

Ketika lulus SMA, Alya diterima di Universitas Oxford dengan jurusan seni rupa. Keputusannya itu membuat orang tuanya sangat marah dan kecewa. Mereka tidak menyangka Alya akan memilih jalan yang sangat berbeda dari ekspektasi mereka.

Alya pergi ke Inggris dengan hati yang berat. Ia merindukan keluarganya, tetapi ia juga merasa lega karena akhirnya bisa mengejar mimpinya. Di sana, Alya terus mengembangkan bakatnya dan karya-karyanya mulai mendapatkan pengakuan. Beberapa lukisannya bahkan dipamerkan di galeri seni terkenal.

Beberapa tahun kemudian, Alya kembali ke Indonesia ia menghela napas panjang, matanya menatap kosong pada kanvas kosong di depannya. Studio kecilnya yang biasanya menjadi surga baginya kini terasa begitu hampa. Ingatan tentang ibunya yang menghancurkan lukisannya masih terngiang di telinganya. Namun, Alya tidak ingin menyerah. 

Dengan kuas di tangan, ia mulai menggoreskan garis-garis abstrak di atas kanvas. Setiap goresan adalah bentuk perlawanan terhadap batasan yang telah ditetapkan untuknya.

Flashback 

Sejak kecil, Alya telah menunjukkan bakat seninya melalui gambar-gambar sederhana yang ia buat. Dunia imajinasi yang ia ciptakan dalam setiap coretan pensilnya menjadi pelarian dari rutinitas sehari-hari. 

Namun, di tengah kecintaannya pada seni, Alya harus berjuang melawan ekspektasi orang tuanya yang lebih mementingkan prestasi akademik. Jadwal belajar yang padat dan tuntutan untuk selalu menjadi yang terbaik membuatnya merasa tertekan. Meski demikian, semangat berkaryanya tidak pernah padam. 

Ketika remaja, Alya menemukan kenyamanan dalam melukis secara sembunyi-sembunyi. Kuas dan kanvas menjadi sahabatnya dalam mengekspresikan perasaan dan pikiran yang terpendam.

 Sayangnya, dunia kecilnya hancur seketika ketika ibunya menemukan karyanya dan dengan kasar menghancurkannya. Kekecewaan mendalam dirasakan Alya saat ibunya menganggap seni sebagai kegiatan yang sia-sia dan tidak memiliki masa depan.

Dengan semangat membara, Alya memulai mengores canvasnya membuat sebuah karya yang menggambarkan kisah hidupnya. Tujuan mengadakan pameran tunggal perdananya dan menjadi momen penebusan diri. 

Ia ingin menghapus semua kenangan buruk masa lalu, khususnya saat ibunya menghancurkan lukisannya. Melalui pameran ini, Alya berharap bisa menunjukkan pada keluarganya, terutama ayahnya, betapa berartinya seni baginya dan betapa suksesnya ia meraih mimpinya.

Pameran tunggal Alya menjadi pusat perhatian. Karya-karyanya yang penuh warna dan emosi berhasil memukau para pengunjung. Di antara sekian banyak lukisan, ada satu yang paling istimewa bagi Alya. Lukisan itu menggambarkan seorang gadis muda dengan rambut berkibar, terbang bebas di langit biru. 

Bagi Alya, lukisan itu adalah representasi dari kebebasannya dari segala batasan dan harapan yang pernah membelenggu. Dengan penuh harap, Alya menantikan reaksi ayahnya.

Tatapan Alya tertuju pada sosok ayahnya yang berdiri di depan lukisan tersebut. Ayahnya terlihat termenung, mengamati setiap detail lukisan dengan seksama. Dalam hati, Alya berdoa agar ayahnya bisa merasakan emosi yang sama seperti yang ia rasakan saat melukis. 

Setelah beberapa saat, ayahnya mendekati Alya. Suaranya terdengar bergetar saat mengucapkan kata-kata pujian. "Ayah bangga padamu, Nak," ujarnya, matanya berkaca-kaca. "Ayah baru menyadari bahwa kita telah salah."

Alya memeluk ayahnya erat-erat. Air mata bahagia mengalir deras di pipinya. Akhirnya, ayahnya mengakui bakatnya dan mendukung mimpinya. Pelukan hangat itu seolah menghapus semua luka di masa lalu. 

Dalam momen itu, Alya menyadari bahwa seni tidak hanya sekadar hobi, tetapi juga menjadi jembatan yang menghubungkannya dengan keluarga. Melalui lukisannya, ia berhasil memperbaiki hubungan yang sempat retak dan menemukan kedamaian batin yang selama ini dicarinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun