Dulu, Alya pernah mengalami kegagalan besar dalam suatu kompetisi debat yang membuatnya merasa tidak percaya diri. Kegagalan itu membuatnya menarik diri dan enggan untuk lagi-lagi mengekspresikan dirinya di depan umum.Â
Namun, di tengah kesendiriannya, Alya memilih kembali seperti dahulu, melukis sebagai pelarian. Dengan kuas di tangan dan kanvas mini di hadapannya, ia bebas mengekspresikan segala perasaan dan pikiran yang selama ini terpendam. Setiap goresan kuas adalah sebuah bentuk pembebasan bagi dirinya.Â
Melukis menjadi tempat pelarian di tengah hiruk pikuk kehidupan sekolah dan organisasi. Sayangnya, ia takut jika orang tuanya mengetahui hobinya ini. Mereka yang selalu menekankan pentingnya prestasi akademik, pasti akan menganggap melukis sebagai pemborosan waktu.
Suatu hari, secara tidak sengaja, Alya menemukan sebuah klub melukis di sekolah. Dengan ragu, ia memutuskan untuk bergabung. Di sana, ia bertemu dengan teman-teman baru yang memiliki minat yang sama.Â
Bersama mereka, Alya merasa diterima dan dipahami. Melalui klub melukis, Alya tidak hanya mengembangkan bakatnya, tetapi juga menemukan kembali rasa percaya dirinya yang sempat hilang.Â
Kuas dan kanvas kini kembali menjadi sahabat setianya. Melalui goresan-goresan warna, ia mencurahkan segala perasaan dan pikiran yang selama ini terpendam. Kecemasan akan ekspektasi orangtua, tekanan sebagai ketua OSIS, dan rasa tidak percaya diri akibat kegagalan di masa lalu, semuanya ia tuangkan ke dalam karya-karyanya.
Namun, menemukan waktu yang tepat untuk melukis bukanlah hal yang mudah. Sebagai ketua OSIS, jadwalnya sangat padat. Seringkali, ia harus mengorbankan waktu tidurnya untuk menyelesaikan tugas-tugas organisasi. Meski begitu, Alya tetap berusaha menyisihkan sedikit waktu setiap hari untuk melukis, bahkan jika hanya beberapa menit.
Alya menyadari bahwa melukis bukan hanya sekedar hobi, tetapi juga menjadi terapi baginya. Ketika fokus pada setiap goresan kuas, pikirannya menjadi tenang dan masalah-masalah yang dihadapinya terasa lebih ringan.Â
Melalui melukis, ia belajar untuk lebih menghargai dirinya sendiri dan menerima kekurangannya. Ia juga menemukan kekuatan dalam diri untuk menghadapi segala tantangan yang datang.
Karya-karyanya yang penuh emosi mulai mendapatkan perhatian dari teman-temannya. Beberapa di antaranya bahkan meminta Alya untuk mengajarkan mereka melukis. Hal ini membuat Alya merasa bangga dan termotivasi untuk terus berkarya. Melalui melukis, Alya tidak hanya menemukan jati dirinya, tetapi juga menemukan komunitas yang mendukungnya.
Saat libur sekolah Ibu memiliki kebiasaan untuk merapikan lemari pakaian Alya ketika matanya menangkap sudut sebuah kanvas yang menyembul di balik tumpukan buku. Dengan rasa penasaran, ia menariknya keluar.Â