Sejak kecil, Alya telah menunjukkan bakat seninya melalui gambar-gambar sederhana yang ia buat. Dunia imajinasi yang ia ciptakan dalam setiap coretan pensilnya menjadi pelarian dari rutinitas sehari-hari.Â
Namun, di tengah kecintaannya pada seni, Alya harus berjuang melawan ekspektasi orang tuanya yang lebih mementingkan prestasi akademik. Jadwal belajar yang padat dan tuntutan untuk selalu menjadi yang terbaik membuatnya merasa tertekan. Meski demikian, semangat berkaryanya tidak pernah padam.Â
Ketika remaja, Alya menemukan kenyamanan dalam melukis secara sembunyi-sembunyi. Kuas dan kanvas menjadi sahabatnya dalam mengekspresikan perasaan dan pikiran yang terpendam.
 Sayangnya, dunia kecilnya hancur seketika ketika ibunya menemukan karyanya dan dengan kasar menghancurkannya. Kekecewaan mendalam dirasakan Alya saat ibunya menganggap seni sebagai kegiatan yang sia-sia dan tidak memiliki masa depan.
Dengan semangat membara, Alya memulai mengores canvasnya membuat sebuah karya yang menggambarkan kisah hidupnya. Tujuan mengadakan pameran tunggal perdananya dan menjadi momen penebusan diri.Â
Ia ingin menghapus semua kenangan buruk masa lalu, khususnya saat ibunya menghancurkan lukisannya. Melalui pameran ini, Alya berharap bisa menunjukkan pada keluarganya, terutama ayahnya, betapa berartinya seni baginya dan betapa suksesnya ia meraih mimpinya.
Pameran tunggal Alya menjadi pusat perhatian. Karya-karyanya yang penuh warna dan emosi berhasil memukau para pengunjung. Di antara sekian banyak lukisan, ada satu yang paling istimewa bagi Alya. Lukisan itu menggambarkan seorang gadis muda dengan rambut berkibar, terbang bebas di langit biru.Â
Bagi Alya, lukisan itu adalah representasi dari kebebasannya dari segala batasan dan harapan yang pernah membelenggu. Dengan penuh harap, Alya menantikan reaksi ayahnya.
Tatapan Alya tertuju pada sosok ayahnya yang berdiri di depan lukisan tersebut. Ayahnya terlihat termenung, mengamati setiap detail lukisan dengan seksama. Dalam hati, Alya berdoa agar ayahnya bisa merasakan emosi yang sama seperti yang ia rasakan saat melukis.Â
Setelah beberapa saat, ayahnya mendekati Alya. Suaranya terdengar bergetar saat mengucapkan kata-kata pujian. "Ayah bangga padamu, Nak," ujarnya, matanya berkaca-kaca. "Ayah baru menyadari bahwa kita telah salah."
Alya memeluk ayahnya erat-erat. Air mata bahagia mengalir deras di pipinya. Akhirnya, ayahnya mengakui bakatnya dan mendukung mimpinya. Pelukan hangat itu seolah menghapus semua luka di masa lalu.Â