Mohon tunggu...
Putri Ananda Saka
Putri Ananda Saka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Antropologi UGM

Seorang perempuan 24 tahun yang senang menulis dan menonton. Melakoni kehidupan sebagai mahasiswa semester dua yang belajar daring setahun penuh dan kini sedang dihadapkan pada kegalauan memilih topik tesis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tren Hampers Kala Lebaran, Tradisi Memberi atau Transaksi Moral Timbal Balik?

10 Mei 2021   17:57 Diperbarui: 12 Mei 2021   13:19 1860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hampes lebaran (Sumber: shutterstock.com)

Lebaran sebentar lagi, yang mana artinya umat muslim mulai disibukkan oleh berbagai kegiatan menyambut hari raya seusai berpuasa sebulan lamanya. 

Belanja baju lebaran hingga menyiapkan kue beserta kudapan lainnya untuk disantap bersama-sama adalah sebagian aktivitas yang umum dilakukan. Tak terkecuali, merancang kata-kata indah sarat maaf yang ditujukan sebagai ucapan lebaran kepada sanak saudara. 

Namun, seiring berkembangnya zaman, tradisi ini pun bergeser. Apa yang dikirimkan tidak lagi sebatas pesan teks atau kartu ucapan semata, melainkan ungkapan-ungkapan berbahagia menyambut lebaran yang disematkan di dalam sebuah bingkisan aesthetic bersebut hampers. 

Hampers notabene adalah hadiah yang lumrah diberikan di hari-hari besar dan tren ini telah lebih dulu berkembang di kalangan nasrani yang kental akan budaya bertukar kado. 

Secara historis, istilah hampers sendiri telah muncul sejak era William the Conqueror---seorang Raja Inggris pertama yang merupakan bangsa Norman. 

Hampers mulanya keranjang yang konsepnya dicetuskan di Perancis lalu berkembang menjadi keranjang berisi cemilan yang popular di Inggris pada era Victorian. 

Namun seiring waktu, konsep keranjang yang identik ada pada hampers mulai dikembangkan dan dimodifikasi. Tak heran kini sering ditemui ada hampers dalam bentuk kotak, paper bag atau bungkusan-bungkusan unik lainnya yang dihias dengan pernak-pernik khas yang menunjukkan momen ketika hampers tersebut diberikan.

Pada saat menjelang lebaran seperti sekarang, bisnis hampers sedang naik-naiknya. Banyak orang yang memesan dan mulai mengirimkan bingkisan tersebut kepada saudara dan kenalan. 

Ini terlihat dari temuan saya di beberapa hari menuju lebaran kemarin, nyaris seluruh isi snapgram atau story WA didominasi oleh foto dan video mengenai hampers yang diterima. 

Berbagi hampers kala menyambut lebaran tahun ini agaknya menjadi sebuah tradisi baru yang marak ditemui. (Dokumentasi pribadi)
Berbagi hampers kala menyambut lebaran tahun ini agaknya menjadi sebuah tradisi baru yang marak ditemui. (Dokumentasi pribadi)

Orang-orang mulai memamerkan apa yang mereka peroleh dari kenalan. Mulai dari hampers berisi kue lebaran, snack, cokelat, peralatan makan, pakaian, jilbab, skincare hingga barang pecah belah yang diasumsikan akan bermanfaat di hari lebaran. 

Namun, benarkah tren memberikan hampers di saat lebaran adalah tradisi baru yang dilandasi rasa suka rela tanpa harapan mendapatkan timbal balik? Untuk menjawab ini, mari kita simak berikut ini.

Pertanyaan di atas tidak serta merta menjadi gagasan yang mematahkan ketulusan yang mungkin benar-benar ada di balik niat berbagi bingkisan. Tidak juga dimaksudkan untuk mengerdilkan rasa suka memberi yang memang identik ada pada sebagian besar orang Indonesia. 

Mengapa saya menyebutnya sebagian besar? Karena memang, data laporan tahunan World Giving Index (WGI) edisi ke-10 baru-baru ini menyebut bahwa Indonesia berada di peringkat 10 sebagai negara paling dermawan di dunia. Ini jelas sebuah prestasi yang patut dibanggakan. 

Namun apa yang ingin saya diskusikan di sini bukanlah perihal bagaimana tingginya rasa dermawan orang-orang Indonesia yang memengaruhi maraknya tren memberi hampers. Mungkin itu bisa menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Tapi apa yang ingin saya highlight di tulisan ini adalah esensi yang barangkali belum kita sadari bersama-sama dan ingin didiskusikan guna membuka cakrawala. Adapun hal tersebut mengenai transaksi moral timbal balik yang memiliki tendensius melingkupi tren memberi hampers.

Meminjam buah pikir Marcel Mauss---seorang filsuf-sosiolog sekaligus antropolog asal Perancis---yang menuangkan ide briliannya pada sebuah buku bertajuk "The Gift: Form and Functions of Exchange in Archaic Societies" (London: Rouledge, 1990), tren memberi hampers ingin ditilik sebagai sebuah fenomena terkini yang barangkali perlu sama-sama kita renungi. 

Menurut Mauss, hadiah tidak pernah diberikan secara suka rela tanpa adanya harapan untuk memperoleh kembali. Bahkan lebih dari itu, hadiah selalu diikuti oleh kewajiban untuk memberi kembali. 

Mengapa disebut sebagai kewajiban dan power apa yang dimiliki sehingga pertukaran adalah apa yang harus terjadi? 

Mauss mengusung teori "prestasi total" yang dimiliki oleh si pemberi dan dijiwai dengan sesuatu yang disebut sebagai "mekanisme spiritual". 

Ketika memberi, bukan cuma soal materi dari hadiah yang diterima oleh si penerima. Melainkan ada "prestasi" yang ikut mengalir dan itu menjadi semacam pengikat yang membuat si penerima mengemban tanggung jawab untuk memberi kembali.

The gift exchange theory yang digagas Mauss ini mengandung tiga hal penting yang bersifat resiprokal. Pertama, memberi hadiah merupakan step awal dari upaya menjalin hubungan sosial. Kedua, hadiah yang diterima menandakan diterimanya ikatan sosial. Ketiga, pemberian balasan dengan nilai hadiah yang lebih tinggi dari yang diterima menunjukkan integritas sosial. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Di sini, pola memberi, menerima dan membalas pemberian menurut Mauss akan terjadi berulang-ulang dan membentuk sebuah pertukaran permanen yang disebut sebagai solidaritas sosial. 

Memang, pada masyarakat tradisional yang warganya cenderung memiliki intensitas interaksi yang tinggi serta intim, pola semacam ini hadir sebagai perekat hubungan yang menggambarkan relasi harmonis di antara sesama masyarakat. Terutama pada interaksi tatap muka yang dilakukan, membawa buah tangan sarat harap tebusan menjadi sebuah aktivitas penggagas solidaritas. 

Namun ini menjadi berbeda di situasi hari ini. Hampers sebagai the gift bukan lagi sesuatu yang perlu diberikan secara langsung---terlebih di situasi pandemi saat ini.

Agaknya masuk akal untuk menarik ide Mauss yang dicetus bertahun-tahun silam ini untuk melihat fenomena pemberian hampers dalam menyambut lebaran akhir-akhir ini. 

Mauss mengamini bahwa waktu mengikis banyak hal yang berlalu. Termasuk soal idenya yang telah dijabarkan sepintas pada paragraf sebelumnya di mana dalam menyenter fenomena-fenomena di dunia modern bahkan post-modern seperti sekarang, pola pertukaran tersebut telah bergeser. 

Semangat tentang adanya transaksi moral timbal balik dari memberi hampers barangkali memang benar-benar ada, tetapi proses pertukaran dan balasan dari apa yang diberikan tak lagi sama dengan konsep lama---di mana berupa benda dengan nilai setara atau lebih tinggi. 

Imbalan yang diharapkan bisa berupa material uang maupun non material seperti jasa. Hal ini terlihat ketika seseorang memberi hampers tak jarang ada sebuah harapan agar hubungan dengan si penerima semakin langgeng.

Sehingga suatu saat ketika si pemberi membutuhkan bantuannya sebagai relasi---entah itu dalam urusan pekerjaan, kehidupan sosial dan lain sebagainya---akan diperoleh kemudahan dan bantuan dari si penerima tadi.

Memang, tak ada yang mutlak dalam ilmu sosial. Begitu pula dengan sudut pandang Mauss yang saya angkat di tulisan ini. Mungkin sebagian dari kita sadar bahwa memberi adalah apa yang tak perlu diukur dan diharapkan kembali. 

Seperti bagaimana istilah menyebut apa yang diberikan tangan kanan hendaknya tak terlihat oleh tangan kiri. Termasuk ketika kita ikut terlibat dalam tren mengirimkan hampers di kala lebaran. 

Namun perlu kiranya untuk sama-sama kita renungi, benarkah ketika memberi hampers, kita sepenuhnya rela tanpa pamrih? Padahal ketika bersedekah yang dilakukan dengan ikhlas pun tetap ada harap atas pahala sebagai balasan yang diamini. 

Well, baik memberi cuma-cuma maupun mengharapkan timbal balik, tak ada yang salah dari keduanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun