Namun, benarkah tren memberikan hampers di saat lebaran adalah tradisi baru yang dilandasi rasa suka rela tanpa harapan mendapatkan timbal balik? Untuk menjawab ini, mari kita simak berikut ini.
Pertanyaan di atas tidak serta merta menjadi gagasan yang mematahkan ketulusan yang mungkin benar-benar ada di balik niat berbagi bingkisan. Tidak juga dimaksudkan untuk mengerdilkan rasa suka memberi yang memang identik ada pada sebagian besar orang Indonesia.Â
Mengapa saya menyebutnya sebagian besar? Karena memang, data laporan tahunan World Giving Index (WGI) edisi ke-10 baru-baru ini menyebut bahwa Indonesia berada di peringkat 10 sebagai negara paling dermawan di dunia. Ini jelas sebuah prestasi yang patut dibanggakan.Â
Namun apa yang ingin saya diskusikan di sini bukanlah perihal bagaimana tingginya rasa dermawan orang-orang Indonesia yang memengaruhi maraknya tren memberi hampers. Mungkin itu bisa menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi.Â
Tapi apa yang ingin saya highlight di tulisan ini adalah esensi yang barangkali belum kita sadari bersama-sama dan ingin didiskusikan guna membuka cakrawala. Adapun hal tersebut mengenai transaksi moral timbal balik yang memiliki tendensius melingkupi tren memberi hampers.
Meminjam buah pikir Marcel Mauss---seorang filsuf-sosiolog sekaligus antropolog asal Perancis---yang menuangkan ide briliannya pada sebuah buku bertajuk "The Gift: Form and Functions of Exchange in Archaic Societies" (London: Rouledge, 1990), tren memberi hampers ingin ditilik sebagai sebuah fenomena terkini yang barangkali perlu sama-sama kita renungi.Â
Menurut Mauss, hadiah tidak pernah diberikan secara suka rela tanpa adanya harapan untuk memperoleh kembali. Bahkan lebih dari itu, hadiah selalu diikuti oleh kewajiban untuk memberi kembali.Â
Mengapa disebut sebagai kewajiban dan power apa yang dimiliki sehingga pertukaran adalah apa yang harus terjadi?Â
Mauss mengusung teori "prestasi total" yang dimiliki oleh si pemberi dan dijiwai dengan sesuatu yang disebut sebagai "mekanisme spiritual".Â
Ketika memberi, bukan cuma soal materi dari hadiah yang diterima oleh si penerima. Melainkan ada "prestasi" yang ikut mengalir dan itu menjadi semacam pengikat yang membuat si penerima mengemban tanggung jawab untuk memberi kembali.