"Benar. Padahal hal-hal yang kayak gitu tuh yang secara enggak sadar udah bikin masyarakat jadi kayak peminta-minta. Mereka diajari yang namanya suap. Dengan begitu, banyak juga masyarakat yang hilang kepercayaan pada calonnya, berujung golput."
Baik Adimas maupun Raditya mengangguk setuju akan ujaranku. Mereka tidak langsung menanggapi. Hening melanda untuk sepersekian detik. Suara berbagai kendaraan yang berlalu lalang masih terdengar nyaring di telinga.Â
Aku melirik pada bapak-bapak yang duduk tak jauh dari tempatku sekarang. Kepulan asap rokok yang mereka ciptakan itu mengudara bersamaan dengan segala harapanku mengenai negeri yang jadi tempat kelahiraku ini.Â
Tentang aku yang mungkin juga merasa putus asa terhadap para pejabat negeri.
"Kira-kira kapan ya pemilu bisa bersih?" Gumam Raditya, sukses membuyarkan lamunanku.
"Setelah rakyat enggak lagi jadi alat perangnya para penguasa, salah satunya." Jawab Adimas. Lelaki itu berbicara demikian sembari menyeruput es tehnya yang tinggal setengah gelas.
Saat itu, tukang bakso mengantar pesananku dan meletakkannya di meja. Aku mengucapkan terima kasih dan langsung melahap baksonya.Â
"Ngomong-ngomong, kalian berdua enggak pulang sekarang?" Tanyaku.
"Nanti aja. Mau main-main dulu. Pusing di rumah terus." Jawab Radit enteng.
Aku mengangguk paham. "Oh iya, kamu enggak ada niatan jadi politikus, Mas?"
Adimas menggeleng mendengar pertanyaanku. "Enggak tertarik. Aku emang suka membahas politik, tapi bukan berarti aku mau jadi pejabat negara. Godaannya besar. Sistemnya udah terlanjur salah kaprah. Aku cuma pengen jadi guru aja, bikin cerdas anak bangsa dan membuka pandangan mereka terkait segala persoalan bangsa ini."Â