Mohon tunggu...
Mahmud Manuhoe
Mahmud Manuhoe Mohon Tunggu... Editor - Penulis/Reportase Bebas

It's nice to be important but more important is to be nice!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hikayat Pulau Lantare, Tempat Pelarian Putri Kedang

12 Juni 2020   02:09 Diperbarui: 12 Juni 2020   13:39 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada zaman dahulu kala di Pulau Lantare hiduplah sepasang suami istri yang baru saja menikah bernama Lore dan Botan. Keduanya adalah pelarian dari Tanah Kedang.

 Lore merupakan lelaki dari kalangan rakyat jelata sedangkan Botan adalah seorang putri dari penguasa  Kerajaan Tuaklelak, sebuah kerajaan di Tanah Kedang yang sudah lama punah. Penguasa itu bernama Raja Alabehi, yang naik tahta menggantikan ayahandanya bernama Raja Alabila yang tenggelam di laut Sawu ketika hendak menginvasi Benua Australia.

Alkisah, Raja Alabehi sangatlah murka pada putrinya, Botan lantaran menikahi Lore yang beda level kasta. Suatu hari sang Raja yang lalim dan durjana  itu mengadakan sayembara kepada rakyat di Kerajaan Tuaklelak untuk menangkap Lore dan Botan. Isi sayembara itu adalah tangkap dan bawa Lore dan Botan ke istana baik dalam keadaan hidup atau pun mati. 

Barang siapa bisa melakukan itu maka kerajaan akan mempersembahkan bukit Puakoyong yang isi di dalamnya emas berlian! Sayembara yang sangat fantastis itu akhirnya terendus juga oleh Lore dan Botan yang saat itu bersembunyi di Liang Laru. Dan yang membocorkan rancangan sayembara jahat Raja Alabehi adalah seekor kucing yang sehari-hari hidup di lingkaran istana, kucing kesayangan peliharaan Botan.

Berkat informasi sang kucing, Lore dan Botan segera bergegas dari persembunyiannya menuju pantai. Di saat malam tiba, keduanya mengayuh batang pohon pisang meninggalkan Pulau Lamale'an. Si kucing pun dibawa serta. 

Malam berikutnya mereka terdampar di sebuah pulau kosong tak berpenghuni, Pulau Lantare namanya. Keduanya merasa sangat lega dan senang karena nyawa mereka luput dari ancaman raja dan rakyat Kerajaan Tuaklelak.

Tiada terasa sudah setahun berlalu Lore, Botan dan si kucing hidup di Pulau Lantare. Mereka tinggal di sebuah gubuk sederhana yang terbuat dari kayu bakau beratapkan daun ilalang dan berdinding daun lontar. Walau tinggal dalam kesederhanaan namun mereka hidup sangat tenteram dan makmur. Persediaan makanan di kebun mereka sangat cukup untuk makan mereka dalam setahun.

 Pekerjaan Lore sehari-hari adalah berburu di belantara pulau Lantare, sementara Botan ditemani si kucing menanti di gubuk. Botan sering diteror oleh makhluk-makhluk halus dan binatang buas. Namun berkat ketangkasan dan kesetiaan si kucing pada tuannya, makhluk halus dan binatang buas berhasil diusir dan ditaklukkan.

Adalah sangat gembira hati si Lore manakala pada suatu ketika ia pulang dari berburu mengetahui kalau Botan istrinya tengah hamil. Setiap hari Lore membelai-belai perut istrinya, menimang-nimangnya dalam pelukan dan dekapan mesranya penuh kasih sayang.

 Ia kerap kali menyanyikan kidung-kidung urisele dalam bahasa Kedang. Kidung-kidung indah buat si jabang bayi. Kidung pelipur lara dan juga lagu e'ing botan. Serta tembang-tembang rindu buat segenap sahabat dan karib kerabat yang ditinggal pergi di tanah asal, Tanah Kedang Pulau Lamale'ang.

Suatu hari saat usia kehamilannya menginjak bulan ke delapan tua, Botan mengidam ingin sekali memakan buah bidara, sementara tiada satu pun pokok bidara yang nongol di seantero Pulau Lantare. Hendak kemana mau dicari, sementara sang istri ngidamnya cuma bidara. Lagi pula tinggal menghitung minggu saja lagi ia akan melahirkan anak sulungnya.

Di saat bininya tertidur pulas Lore diam-diam mengambil busur dan anak panahnya pura-pura pergi berburu ke hutan. Padahal ia berhendak hati memberikan kejutan kepada istri dengan membawakan setumpuk bidara kepadanya.

Ia bertekad bahwa ia harus mengayuh batang kayu sekuat tenaga ke Pulau Adobala. Di sana pasti banyak bidara. Mungkin setelah dapat bidara banyak-banyak, cepat-cepatlah ia pulang ke Pulau Lantare sebelum istrinya terbangun dari tidurnya.

 Namun nyatanya, untung tak dapat di tolak, mujur tak dapat diraih. Begitulah kata pepatah klasik. Maksud hati memeluk gunung apalah daya tangan tak sampai. Maksud hati membawakan bidara buat sang istri namun apa daya nasib malang merundung dirinya.

Perahu batang kayu yang ditumpanginya dihantam  arus deras sehingga Lore terseret jauh sampai ke Kepulauan Bakau Asam, atau sekarang tersohor sebagai Kepulauan Wakatobi. Lore tidak bisa pulang dan tinggal di sana.

Sementara di saat terbangun dari tidurnya Botan tiada melihat Lore di sampingnya. Bertanyalah Botan kepada si kucing, kemanakah gerangan suaminya pergi? Kucing berkata polos kepadanya bahwa suaminya pergi berburu. Namun, tunggu punya tunggu, hari berganti hari, Lore tak kunjung pulang. Biasanya Lore pergi berburu cuma semalaman, esok paginya sudah kembali.

Asah pun putus di relung harapan Botan, jangan-jangan suaminya sudah dimangsa binatang buas! Duka lara kini membara, menangislah ia sepanjang hari sepanjang malam. Si kucing pun turut bersedih. Kini hanya tinggal mereka berdua di gubuk sunyi.

Bila tiba pagi, kucinglah yang menggantikan tugas si Lore. Ia pergi mengais umbi-umbian di kebun untuk dijadikan bahan makanan. Ia juga memburu binatang-binatang kecil seperti belalang dan pelanduk sebagai lauk-pauk mereka. Betapa melaratnya mereka di saat usia kandungan Botan di ambang partus.

Suatu petang, di ufuk barat rona-rona merah menghias lazuadi. Riak-riak ombak di pantai menerjang batu karang, angin kencang menerpa pepohonan. Terdengar seakan suara-suara riuh keramaian datang dari pelbagai arah. Sementara di ufuk timur bulan purnama bergeser perlahan menampakkan senyumannya.

Di dalam gubuk,  suara Botan mengerang menahan rasa perih yang tak terkira. Ia membungkuk menggoyang-goyang tiang gubuk. Duduk, bangun, tidur, jalan. Berulang kali bolak-balik. Betapa sakitnya dari pinggang hingga ujung rambutnya. Si kucing hanya diam terpaku, sambil sesekali mengibalkan ekornya di kaki Botan, sebagai wujud rasa iba.

Tepat purnama bersinar penuh, seiring dengan luruhnya ombak dan angin kencang. Tangisan seorang bayi lelaki memecah keheningan Pulau Lantare malam itu. Seisi pulau seakan terunyah. Hening. Menyambut lahirnya penguasa Pulau Lantare masa depan!

Botan kemudian menabalkan nama putranya, yang dalam urat nadinya mengalir darah Kerajaan Tuaklelak. Batara namanya!

Saat  Batara berumur dua bulan dua hari, Botan menyuruh kucing menjaga Batara di gubuk. Botan berpesan ia hendak pergi ke pantai mencari kerang, di saat air laut surut. Sekaligus ia berencana mengamat-amati di sekitar sana kalau-kalau ada sisa-sisa tulang-belulang suaminya yang dibuang binatang buas ke pantai.

Lebih kurang dua jam Botan tinggalkan Batara bersama kucing, tiba-tiba datanglah seekor ular besar dari hutan. Ular tersebut langsung mendekati dan melilit tubuh mungil Batara. Dengan sigap dan kekuatan penuh si kucing berupaya melawan ular buas tersebut. Si kucing dengan kuku dan taringnya yang tajam berhasil mencakar dan mencabik-cabik tubuh ular. Ular besar tersebut akhirnya kalah dan  mati di samping Batara.

Kucing dengan tangan dan taringnya yang masih berlumuran darah langsung berlari menyusul Botan di pantai.

Betapa terkejutnya Botan saat melihat kucing datang dengan tubuh yang berdarah-darah. Ia langsung naik pitam! Diambilnya batu karang yang besar kemudian dilemparkan ke arah kucing. Seketika kucing langsung jatuh terpelungkup dan pinggangnya remuk.

 Botan masih marah-marah kepada kucing. Kemudian diambilnya batu karang yang lebih besar lagi dan hendak ditimpakan ke tubuh kucing. Namun dengan suara yang masih tersisa dan berderai air mata si kucing mengatakan kepada Botan bahwa ia tidak bersalah. Ia baru saja membunuh ular besar yang hendak memangsa Batara.

Botan terkejut, dikira tangan dan taring kucing yang penuh darah itu karena kucing baru selesai memakan anaknya Batara. Botan sangat menyesal dan  langsung meminta maaf. Si kucing pun mengangguk dan kembali meneteskan air matanya. Kemudian menarik nafas terakhirnya. Di pantai yang air laut sudah mulai penuh.

Botan menangis sejadi-jadinya. Ia berlari pulang ke gubuk. Dan benar! Seekor ular besar baru saja mati di samping anaknya. Di tubuh ular nampak jelas bekas cakaran dan gigitan kucing. Sementara anaknya nampak segar bugar sambil mengeluarkan ekspresi minta ditetek.

Sambil menetek anaknya, Botan menangis sedih karena terlanjur membunuh kucing, sahabatnya yang tiada berdosa. Ia pun menggendong anaknya menuju pantai, ingin mengambil kucing yang sudah mati itu untuk dikuburkan di dekat gubuk.  Namun air laut sudah pasang penuh, tubuh kucing sudah hilang diseret ombak entah ke mana..

Ia merasa sangat berdosa. Ia benar-benar berburuk sangka kepada kucing, sahabatnya semenjak ketika mereka masih sama-sama hidup enak di lingkaran istana. Kemudian berkat pertolongan kucing pula ia dan Lore selamat dari upaya pembunuhan. Lantas mereka bertiga bersusah payah menyeberangi ombak dan gelombang untuk sampai ke pulau harapan. Terpilu adalah di saat-saat ketiadaan Lore, ia bersama si kucing hidup dalam keperitan di gubuk derita.

Pada akhirnya Botan hanya hidup berdua dengan anak semata wayangnya. Ia merasa dirinya sebagai pendosa seumur hidupnya.

Sepeninggal Botan, Batara dewasa menabalkan dirinya sendiri sebagai raja. Ia menjadi raja diraja memerintah semua yang ada di sana, termasuk binatang buas, niting natang dan nedahari. Kesaktiannya menjelma menjadi api yang berpijar indah. Satu-satunya pulau gunung api di laut dengan pijaran bunga api letusan terindah di dunia.

Pembaca budiman, cerita ini hanyalah fiktif belaka.

Penulis hanya ingin menyampaikan beberapa pesan kepada kita semua bahwa;

  • Sesungguhnya cinta suci  itu memang buta tak mengenal takhta apa pun.
  • Sebuah bahtera rumah tangga harus diperjuangkan walau diterjang tengah ombak dan gelombang
  • Seorang suami harus rela berkorban buat kekasih hatinya
  •  Berburuk sangka atau berprasangka buruk atau su'udzon adalah sebuah kesia-siaan
  • Menyesal dan meminta maaf memang perlu, namun lukanya tetap membekas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun