Mohon tunggu...
Mahmud Manuhoe
Mahmud Manuhoe Mohon Tunggu... Editor - Penulis/Reportase Bebas

It's nice to be important but more important is to be nice!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hikayat Pulau Lantare, Tempat Pelarian Putri Kedang

12 Juni 2020   02:09 Diperbarui: 12 Juni 2020   13:39 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di saat bininya tertidur pulas Lore diam-diam mengambil busur dan anak panahnya pura-pura pergi berburu ke hutan. Padahal ia berhendak hati memberikan kejutan kepada istri dengan membawakan setumpuk bidara kepadanya.

Ia bertekad bahwa ia harus mengayuh batang kayu sekuat tenaga ke Pulau Adobala. Di sana pasti banyak bidara. Mungkin setelah dapat bidara banyak-banyak, cepat-cepatlah ia pulang ke Pulau Lantare sebelum istrinya terbangun dari tidurnya.

 Namun nyatanya, untung tak dapat di tolak, mujur tak dapat diraih. Begitulah kata pepatah klasik. Maksud hati memeluk gunung apalah daya tangan tak sampai. Maksud hati membawakan bidara buat sang istri namun apa daya nasib malang merundung dirinya.

Perahu batang kayu yang ditumpanginya dihantam  arus deras sehingga Lore terseret jauh sampai ke Kepulauan Bakau Asam, atau sekarang tersohor sebagai Kepulauan Wakatobi. Lore tidak bisa pulang dan tinggal di sana.

Sementara di saat terbangun dari tidurnya Botan tiada melihat Lore di sampingnya. Bertanyalah Botan kepada si kucing, kemanakah gerangan suaminya pergi? Kucing berkata polos kepadanya bahwa suaminya pergi berburu. Namun, tunggu punya tunggu, hari berganti hari, Lore tak kunjung pulang. Biasanya Lore pergi berburu cuma semalaman, esok paginya sudah kembali.

Asah pun putus di relung harapan Botan, jangan-jangan suaminya sudah dimangsa binatang buas! Duka lara kini membara, menangislah ia sepanjang hari sepanjang malam. Si kucing pun turut bersedih. Kini hanya tinggal mereka berdua di gubuk sunyi.

Bila tiba pagi, kucinglah yang menggantikan tugas si Lore. Ia pergi mengais umbi-umbian di kebun untuk dijadikan bahan makanan. Ia juga memburu binatang-binatang kecil seperti belalang dan pelanduk sebagai lauk-pauk mereka. Betapa melaratnya mereka di saat usia kandungan Botan di ambang partus.

Suatu petang, di ufuk barat rona-rona merah menghias lazuadi. Riak-riak ombak di pantai menerjang batu karang, angin kencang menerpa pepohonan. Terdengar seakan suara-suara riuh keramaian datang dari pelbagai arah. Sementara di ufuk timur bulan purnama bergeser perlahan menampakkan senyumannya.

Di dalam gubuk,  suara Botan mengerang menahan rasa perih yang tak terkira. Ia membungkuk menggoyang-goyang tiang gubuk. Duduk, bangun, tidur, jalan. Berulang kali bolak-balik. Betapa sakitnya dari pinggang hingga ujung rambutnya. Si kucing hanya diam terpaku, sambil sesekali mengibalkan ekornya di kaki Botan, sebagai wujud rasa iba.

Tepat purnama bersinar penuh, seiring dengan luruhnya ombak dan angin kencang. Tangisan seorang bayi lelaki memecah keheningan Pulau Lantare malam itu. Seisi pulau seakan terunyah. Hening. Menyambut lahirnya penguasa Pulau Lantare masa depan!

Botan kemudian menabalkan nama putranya, yang dalam urat nadinya mengalir darah Kerajaan Tuaklelak. Batara namanya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun