Dasar keempat adalah ketekunan beribadah yang menjadikan dirinya senantiasa membutuhkan Allah. Dasar kelima adalah semangat berjihad yang mendorong seseorang untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita ideal dalam hidupnya.[18] Rasulullah Saw. adalah figur sentral yang menjadi uswah hasanah, teladan yang baik, bagi umat Islam dalam kehidupan sosial, intelektual, dan penghayatan nilai-nilai spiritual.
[19]33 Beliau adalah pribadi yang mendapat pendidikan langsung dari Allah dengan kualitas pendidikan yang terbaik. Pada diri beliau terhimpun semua kebaikan yang disebutkan Alquran. Beliau adalah Alquran hidup. Beliau memadukan model pengamalan agama yang memenuhi kebutuhan biologis dan sosial umat Islam secara legal formal yang tercermin pada hukum fikih yang mencakup aspek ibadah dan muamalah, tetapi pada waktu yang sama sangat memperhatikan pembersihan diri dari segi kejiwaan yang meliputi penyucian jiwa, pengendalian diri, kekayaan batin, keikhlasan lahir batin, khusyuk kepada Allah, kerendahan hati, kedermawanan, dan pengabdian yang tulus.[20]
 Dengan memadukan fikih dan tasawuf atau hukum dan moralitas dalam menjalani kehidupan, maka akan melahirkan pribadi yang menjaga keseimbangan antara kebutuhan kebendaan dan kebutuhan spiritual, antara kehidupan individu dan kehidupan sosial, serta kehidupan yang berorientasi duniawi dan kehidupan yang berorientasi ukhrâwî. Seorang yang memadukan pengamalan syariah dengan
Â
Tasawuf secara baik dan benar akan menghindari paham spiritualisme yang tercermin dalam gaya hidup berikut ini:
Â
(1) lebih mengutamakan dimensi batin dari-pada dimensi lahir; (2) lebih memilih pola hidup asketis (zuhd) dengan khalwah, ‘uzlah, dan tirakatan sebagaimana tergambar pada corak kehidupan para pertapa; (3) lebih mengutamakan kepuasaan spiritual yang bersifat individual daripada tanggung jawab sosial yang bersifat kolektif;Â
dan (4) memandang segala bentuk kebendaan (materi) sebagai sesuatu yang rendah, hina, dan sebagai faktor penghalang pengembangan kualitas ruhani; serta (5) memandang aktivitas muamalah seperti bekerja, berdagang, bertani dengan mempunyai isteri dan anak sebagai tindak mencintai dunia yang hina.
 Dalam sejarah Islam, paham spiritualisme tercermin antara lain pada gaya hidup asketis (zuhud) aliran Malamatiyyah. Aliran ini adalah perkumpulan para sufi yang setiap saat dekat dengan Allah, siang dengan berpuasa, malam dengan qiyâm al-layl dengan banyak salat, zikir, doa, serta dengan memperhatikan aspek batiniah mereka.Â
Mereka suka mencela diri mereka sendiri dengan perkataan dan perbuatan, menampilkan diri mereka kepada publik dengan segala penampilan yang mengesankan hina, kumuh, dan miskin, serta berusaha menyembunyikan kebaikan mereka. Dengan tindakan ini, mereka mengharapkan agar publik mencela penampilan luar mereka, tetapi mereka mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kualitas ruhani di hadapan Allah.[21]
 Pada waktu yang sama, seorang yang memadukan pengamalan fikih dengan tasawuf akan menjauhi pola hidup hedonis. Menurut paham ini, suatu perbuatan dinyatakan baik apabila perbuatan tersebut mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan secara biologis. Demikian sebaliknya, suatu perbuatan dinyatakan buruk, apabila perbuatan itu tidak mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan secara biologis.Â