Adapun Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hambali menilai anjing dan babi, air bekas jilatan keduanya, keringat keduanya, dan hewan turunan dari salah satunya sebagai najis berat. Pandangan ini didasarkan pada hadits riwayat Muslim dan Ad-Daruquthni. Â Benda yang terkena itu semua, menurut pandangan kedua mazhab ini, harus dibasuh sebanyak tujuh kali di mana salah satunya dicampur dengan debu yang suci.
Karena mayoritas masyarakat Indonesia mengikuti Madzhab Syafi'i, maka mereka akan menganggap bahwa anjing itu najis mugholadhah (najis berat).
Maka dari itu kata anjing di negara Indonesia termasuk bahasa kasar. Menunjukkkan bahwa jika ada orang mengumpat, maka orang yang diumpat itu udah bikin kesel bin nyebelin setingkat najis mugholadhah --harus dimandiin 7 kali basuhan campur tanah, bukan kembang 7 rupa yaa, hehe.
3. Makian anjing berasal dari masa VOC
Sejarahnya ketika setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaannya, Indonesia pada saat itu belum benar-benar merdeka karena kekacauan masih terjadi dimana-mana.
Maka dari itu para penjajah tetap menempatkan tentara bayarannya di berbagai tempat.
Salah satu contohnya akan keberadaan Batalyon V yang dijuluki "Andjing NICA", pasukan ini merupakan tentara KNIL di bawah komando NICA.Â
Julukan "Andjing NICA" ini berasal dari lencana mereka yang digambarkan sebagai anjing menggonggong sebagai identitas batalyon.
Konon katanya pasukan Andjing NICA memang dikenal kejam meski harus melawan bangsanya sendiri, sampai-sampai para pejuang Indonesia menyebutnya "Anjing Belanda" sebagai hinaan.
Mungkin itu beberapa alasan kenapa anjing menjadi kata umpatan yang sangat ikonik.
Saya menulis ini bukan berarti menyuruh para pembaca agar menormalisasikan bahasa kasar yang tidak patut diucapkan, tapi tujuan saya hanya membeberkan fakta bahwa memang munculnya bahasa kasar seperti ini pasti memiliki alasan pada zamannya dan menjadi budaya pada zaman berikutnya.