Mohon tunggu...
Perdana Putra Gultom
Perdana Putra Gultom Mohon Tunggu... Freelancer - Student at Undergraduate Programme of Anthropology, Universitas Indonesia

Manusia yang sedang mengambil kuliah mempelajari manusia dan kebudayaannya. Seorang penggemar olahraga yang tertarik pada isu sosial-politik, kebudayaan, teknologi, ekonomi, dan popular culture.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hitam Putih Program Dana Desa sebagai Solusi Permasalahan Desa

12 Desember 2019   08:21 Diperbarui: 12 Desember 2019   08:24 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Malang.Merdeka.com

Program Dana Desa merupakan sebuah program kerja kolaborasi dari beberapa kementerian di era pemerintahan Presiden Jokowi, program ini ditujukan sebagai sebuah solusi masalah di daerah pedesaan seperti kemiskinan, ketertinggalan, dan ketimpangan. Dalam pelaksaannya, program ini tidak sepenuhnya berhasil untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut,  tidak sepenuhnya pula program ini merupakan kegagalan, namun tetap ada kegagalan yang justru memperburuk kondisi. Tulisan ini akan membandingkan implementasi Program Dana Desa di Desa Huntu Barat, Kec.Bulango Selatan, Kab. Bone Bulango, Gorontalo dan wilayah Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur dengan pendekatan Interaksi yang bersumber dari buku "Rural-Urban Interaction in the Developing World" karya Kenneth Lynch (2005).

Desa Huntu Barat terletak di Kec. Bulango Selatan, Kab. Bone Bulango, Provinsi Gorontalo. Merujuk pada informasi yang kami peroleh dari berita bertanggal 11 Januari 2016 dari laman Media Indonesia, menurut Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, Marwan Jafar, Desa Huntu Barat merupakan contoh sukses pelaksanaan program dana desa melalui pembangunan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Desa Huntu Barat menggunakan dana desa yang mereka peroleh dari pemerintahan pusat untuk mengembangkan budidaya ikan air tawar, BUMDes ini selain meningkatkan perekonomian, juga menyerap tenaga kerja. Marwan Jafar menilai kreativitas dan perekonomian masyarakat Desa Huntu Barat akan terus meningkat dikarenakan dana desa untuk Desa Huntu Barat juga meningkat, jika pada tahun 2015 Desa Huntu Barat menerima Rp.284 juta maka tahun 2016 akan menerima Rp.700 juta, dan menurutnya Desa Huntu Barat akan menyusul ketertinggalan dari daerah-daerah sekitarnya.

Sementara itu, Kepala Desa Huntu Barat, Arfan Iskandar Badjeber, memberi keterangan seputar kemajuan yang dicapai oleh desa yang ia pimpin, selain budi daya ikan air tawar, desa ini juga mengembangkan bengkel las dan usaha mebel, untuk BUMDes budidaya ikan, sekali panen dapat mencapai 600 kilogram, dan ikan hasil produksi mereka sendiri dijual ke pasar dengan harga Rp.38.000 per kilogram.

Desa Huntu Barat yang menurut pemerintah merupakan contoh desa yang berhasil dalam penggunaan dana desa, Pengembangan BUMDes perikanan air tawar dianggap sebagai salah satu keberhasilan pelaksanaan program dana desa, program dana desa yang diwujudkan melalui pengembangan BUMDes perikanan air tawar, pelatihan skill masyarakat, dan pembangunan infrastruktur.

Dari penggunaan dana desa untuk berbagai keperluan ini, salah satu yang dianggap kemajuan oleh pemerintah adalah capaian hasil panen BUMDes perikanan air tawar yang mencapai 600 kilogram per bulan, dengan harga jual Rp.38.000 per kilogram di pasaran. Menurut pemerintah, perubahan dari pertanian subsisten ke pertanian komersil yang berorientasi pasar adalah sebuah kemajuan, desa dengan pertanian orientasi produksi untuk pemenuhan kebutuhan sendiri adalah sebuah ketertinggalan menurut pemerintah, oleh sebab itu melalui dana desa perubahan menuju pertanian komersil diusahakan oleh pemerintah.

Dalam fenomena di Desa Huntu Barat, pemerintah dan masyarakat desa mengalami masa adaptasi yang cukup cepat, dalam pelaksanaan dana desa sendiri dana dari Pemerintah Pusat disalurkan ke Pemerintah Daerah Tingkat II dan langsung ke Satuan Pemerintah Desa, ini merupakan hal baru bagi desa sebagai sebuah satuan pemerintahan untuk melakukan pengelolaan dana sebesar itu, mereka diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan, pengelolaan, dan pelaksanaan pembangunan menggunakan dana desa, dan disesuaikan dengan standar perkotaan.

Mulai dari mekanisme, besaran dana, dan ide yang ikut serta dalam distribusi dana desa adalah suatu hal baru bagi pemerintah dan masyarakat desa. Desa Huntu Barat merupakan contoh adaptasi yang berhasil dalam penerimaan ide-ide baru yang turut serta dalam program dana desa.

Ekspedisi jurnalistik Kompas di Flores pada tahun 2011 menyiratkan adanya indikasi kepemilikan tanah yang terkonsentrasi hanya pada golongan aristokrat dan bermodal. Seorang petani di kecamatan Boawae, kabupaten Nagekeo, Flores, yang hanya memiliki 0,12 hektar tanah pertanian harus bekerja dengan sistem bagi hasil dengan tuan tanah pada tanah pertanian seluas 0,7 hektar untuk mempertahankan hidup keluarganya.

Rupanya banyak kasus serupa, misalnya di Desa Mbay dan Lembor yang penetrasi kapitalnya cukup kuat jika dibandingkan dengan daerah pertanian non-persawahan di Flores. Mereka bekerja dalam sistem bagi hasil 6:4 atau 5:5. Sekitar 40-50% dari penghasilan harus diserahkan kepada tuan  tanah. Jika para petani berlahan kecil (1/4-1/2 ha) dan tuna kisma tidak memperoleh lahan garapan dalam sistem bagi hasil---seperti yang terjadi di persawahan Mbay---maka mereka akan bekerja sebagai pekerjaan harian lepas dengan upah harian. Tak sedikit rakyat Flores yang akhirnya menganggur atau bekerja pada sektor informal (seperti menjadi TKI) karena terlempar dari sektor agraria.

Pada 2014, jumlah pengangguran di NTT sebanyak 73,2 ribu orang, yang meningkat menjadi 74,7 ribu orang di tahun 2018. Dari total 2,24 juta angkatan kerja di NTT, 78,91 persennya bekerja di sektor informal. Kemudian hadir "resolusi" berupa pembangunan infrastruktur yang diyakini dapat melepaskan masyarakat Flores dari kemiskinan.

Politisi dan media di Jakarta memuji proyek pembangunan infrastruktur Jokowi di Indonesia Timur sebagai kesuksesan besar. Alih-alih peningkatan kualitas kesejahteraan, yang terjadi justru peningkatan kesenjangan antara kaum dalam konteks pembangunan di Flores, justru terdapat inefisiensi dan kesenjangan yang menyelimuti proyek pembangunan yang berfokus pada infrastruktur.

Pada kasus di Flores, program yang dilaksanakan pemerintah dalam rangka mengejar ketertinggalan adalah dengan membangun infrastruktur di daerah pedesaan, antara lain seperti membangun jalan, jembatan, dan fasilitas lainnya, namun yang terjadi adalah berbeda dengan di Desa Huntu Barat, pembangunan infrastruktur justru menciptakan ketimpangan yang semakin menjadi.

Sebelum masuknya pembangunan yang dilaksanakan oleh state, ketimpangan memang telah ada di daerah Flores, dan dana desa serta pembangunan infrastruktur adalah kebijakan yang dicoba dijalankan pemerintah sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan ketimpangan. Namun pada pelaksanaannya, justru yang terjadi adalah semakin lebarnya jarak antar kelas di Flores, dana yang telah disalurkan oleh pemerintah seolah ditahan oleh para birokrat di Pemerintah Daerah Tingkat II, dan tidak terdistribusikan ke masyarakat, selain itu pembangunan infrastruktur justru hanya berdampak bagi perekonomian masyarakat kelas atas, sehingga terjadilah istilah "yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin".

Ketimpangan memaksa masyarakat kelas bawah yang mayoritas adalah petani pergi menjadi pekerja di luar negeri, terutama di Malaysia. Pemerintah Daerah Tingkat II dan masyarakat di daerah Flores sulit beradaptasi dengan ide pembangunan yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat dan besaran dana yang diberikan, sehingga percepatan pembangunan yang diusahakan oleh pemerintah tidak bergerak searah dengan adaptasi masyarakat, adaptasi masyarakat ini kemudian berdampak pada kegagalan pengaruh dana desa bagi kehidupan masyarakat desa.

Bila merujuk pada pembahasan di kasus Desa Huntu Barat yang dianggap sebagai bukti keberhasilan program dana desa, Flores justru mengalami ketimpangan yang semakin melebarkan jarak antar kelasnya, dan manfaat infrastruktur hanya dapat dinikmati oleh kelas atas saja.

Konsep Aliran Uang

Melihat pelaksanaan Program Dana Desa dalam dua kasus di Desa Huntu Barat, Bulango Selatan, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo dan di Flores melalui konsep flow of money yang dijelaskan oleh Lynch dalam bukunya yang berjudul Rural-urban Interaction in the Developing World mengarahkan kita pada interaksi bidang ekonomi antara desa-kota yang dyadic dan timbal balik.

Program Dana Desa yang berfokus pada pembangunan infrastruktur di Desa Huntu Barat dan Desa di Flores ini dilakukan dengan memberikan sejumlah dana bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk disalurkan ke desa-desa seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dana bantuan ini diberikan dengan tujuan dapat membantu pembangunan di desa dengan meningkatkan infrastruktur dan memberikan modal untuk membangun potensi perekonomian masyarakat.

Di Desa Huntu Barat, pemerintah desa membangun Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) dan menyalurkan dananya untuk mengolah kolam ikan air tawar dengan memfasilitasi alat, memberi modal, dan mengatur pengolahan sumber daya. Selain itu, mereka juga membangun sumber penghasilan lainnya seperti meubel dan bengkel las. Penerapan program Dana Desa di Desa  Huntu Barat ini menunjukkan adanya keberhasilan dalam meningkatkan perekonomian desa melalui penyaluran dana dari kota, dalam hal ini pemerintah pusat, ke pedesaan.

Berbeda dengan Desa Huntu Barat yang menunjukkan keberhasilan pembangunan desa oleh Dana Desa, daerah pedesaan di Flores justru memperlihatkan sebaliknya. Sebelum adanya program Dana Desa, pedesaan di Flores, khususnya di daerah persawahan dan pertanian, memang memiliki ketimpangan ekonomi.

Sistem bagi hasil dan landowner di Flores ini membuat masyarakat petani kecil semakin sulit berkembang dan sangat bergantung pada petani kaya. Keadaan ini berusaha diselesaikan melalui program Dana Desa tersebut. Pemerintah mengirimkan sejumlah dana untuk membangun infrastruktur seperti akses jalan dan juga memberikan alat-alat pertanian kepada para petani.

Namun, program ini dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah kemiskinan di daerah ini karena banyaknya penyalahgunaan dana oleh masyarakat yang memegang kekuasaan seperti petani kaya, pimpinan organisasi, maupun birokrat. Yang miskin semakin miskin, sedangkan yang kaya semakin kaya. Program ini seolah-olah hanya diperuntukkan untuk masyarakat yang berkuasa tersebut dan hanya menguntungkan mereka.

Pembangunan infrastruktur seperti akses jalan juga hanya menguntungkan bagi pihak yang dapat menggunakan akses tersebut seperti petani kaya. Sehingga, interaksi bidang perekonomian antara desa dan kota ini tidak menyelesaikan masalah kemiskinan di desa-desa di Flores. Pengembangan infrastruktur di Flores membuat para pengusaha dan investor dari luar tertarik untuk menanamkan modalnya di pedesaan. Baik di Desa Huntu Barat maupun di Flores, program Dana Desa ini mengundang penanam modal untuk berinvestasi. Sehingga, arus interaksi desa-kota di bidang ekonomi ini tidak hanya terjadi searah saja, melainkan adanya proses timbal balik.

Dalam melihat pelaksanaan program dana desa di dua daerah yaitu Desa Huntu Barat dan Flores menggunakan konsep flow of idea, ide pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah sebagai solusi masalah kemiskinan dan ketertinggalan desa belum tentu berjalan sesuai dengan tujuan dan standard yang ditetapkan oleh pemerintah, dikarenakan kebijakan ini sendiri diformulasikan oleh kota dalam hal ini yaitu pemerintah atau state, dan berusaha diterapkan di pedesaan dengan framing perkotaan.

Selain itu kebijakan ini memuat banyak hal-hal makro dan seolah menjadi sebuah simplifikasi untuk kondisi desa yang beragam dan jumlahnya banyak, sebagai contoh simplifikasi dalam kebijakan ini adalah indikator keberhasilan, dikarenakan keberagaman secara sosial,budaya, dan fisik geografis tidak dapat disimplifikasikan dalam indikator keberhasilan yang berusaha menyamakan seluruh daerah yang menjadi objek kebijakan ini.

Analisis program Dana Desa di kedua daerah melalui konsep flow of money dan flow of people ini memperlihatkan bukti konkret bagaimana program Dana Desa mempengaruhi interaksi desa-kota. Menetapkan program Dana Desa sebagai kunci keberhasilan pemberantasan masalah kemiskinan di seluruh desa sangat mengabaikan faktor kebudayaan dan sosial masyarakat pedesaan yang berbeda-beda disetiap daerahnya. Respon masyarakat terhadap adanya bantuan ekonomi dari pemerintah dan terbukanya interaksi desa-kota ini juga berbeda-beda dan menghasilkan hasil yang berbeda.

Masalah utama yang terletak pada standarisasi dan simplifikasi ide tentang kemiskinan oleh pemerintah ini yang kemudian berdampak pada tingkat keberhasilannya. Interaksi desa-kota melalui Dana Desa ini tidak menjamin membebaskan masyarakat dari kemiskinan sebab hanya membahas permasalahan dalam meningkatkan aktivitas ekonomi dan kurang menjelaskan tentang masalah yang bersifat non-materi dan non-income.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun