Program Dana Desa merupakan sebuah program kerja kolaborasi dari beberapa kementerian di era pemerintahan Presiden Jokowi, program ini ditujukan sebagai sebuah solusi masalah di daerah pedesaan seperti kemiskinan, ketertinggalan, dan ketimpangan. Dalam pelaksaannya, program ini tidak sepenuhnya berhasil untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut, Â tidak sepenuhnya pula program ini merupakan kegagalan, namun tetap ada kegagalan yang justru memperburuk kondisi. Tulisan ini akan membandingkan implementasi Program Dana Desa di Desa Huntu Barat, Kec.Bulango Selatan, Kab. Bone Bulango, Gorontalo dan wilayah Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur dengan pendekatan Interaksi yang bersumber dari buku "Rural-Urban Interaction in the Developing World" karya Kenneth Lynch (2005).
Desa Huntu Barat terletak di Kec. Bulango Selatan, Kab. Bone Bulango, Provinsi Gorontalo. Merujuk pada informasi yang kami peroleh dari berita bertanggal 11 Januari 2016 dari laman Media Indonesia, menurut Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, Marwan Jafar, Desa Huntu Barat merupakan contoh sukses pelaksanaan program dana desa melalui pembangunan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Desa Huntu Barat menggunakan dana desa yang mereka peroleh dari pemerintahan pusat untuk mengembangkan budidaya ikan air tawar, BUMDes ini selain meningkatkan perekonomian, juga menyerap tenaga kerja. Marwan Jafar menilai kreativitas dan perekonomian masyarakat Desa Huntu Barat akan terus meningkat dikarenakan dana desa untuk Desa Huntu Barat juga meningkat, jika pada tahun 2015 Desa Huntu Barat menerima Rp.284 juta maka tahun 2016 akan menerima Rp.700 juta, dan menurutnya Desa Huntu Barat akan menyusul ketertinggalan dari daerah-daerah sekitarnya.
Sementara itu, Kepala Desa Huntu Barat, Arfan Iskandar Badjeber, memberi keterangan seputar kemajuan yang dicapai oleh desa yang ia pimpin, selain budi daya ikan air tawar, desa ini juga mengembangkan bengkel las dan usaha mebel, untuk BUMDes budidaya ikan, sekali panen dapat mencapai 600 kilogram, dan ikan hasil produksi mereka sendiri dijual ke pasar dengan harga Rp.38.000 per kilogram.
Desa Huntu Barat yang menurut pemerintah merupakan contoh desa yang berhasil dalam penggunaan dana desa, Pengembangan BUMDes perikanan air tawar dianggap sebagai salah satu keberhasilan pelaksanaan program dana desa, program dana desa yang diwujudkan melalui pengembangan BUMDes perikanan air tawar, pelatihan skill masyarakat, dan pembangunan infrastruktur.
Dari penggunaan dana desa untuk berbagai keperluan ini, salah satu yang dianggap kemajuan oleh pemerintah adalah capaian hasil panen BUMDes perikanan air tawar yang mencapai 600 kilogram per bulan, dengan harga jual Rp.38.000 per kilogram di pasaran. Menurut pemerintah, perubahan dari pertanian subsisten ke pertanian komersil yang berorientasi pasar adalah sebuah kemajuan, desa dengan pertanian orientasi produksi untuk pemenuhan kebutuhan sendiri adalah sebuah ketertinggalan menurut pemerintah, oleh sebab itu melalui dana desa perubahan menuju pertanian komersil diusahakan oleh pemerintah.
Dalam fenomena di Desa Huntu Barat, pemerintah dan masyarakat desa mengalami masa adaptasi yang cukup cepat, dalam pelaksanaan dana desa sendiri dana dari Pemerintah Pusat disalurkan ke Pemerintah Daerah Tingkat II dan langsung ke Satuan Pemerintah Desa, ini merupakan hal baru bagi desa sebagai sebuah satuan pemerintahan untuk melakukan pengelolaan dana sebesar itu, mereka diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan, pengelolaan, dan pelaksanaan pembangunan menggunakan dana desa, dan disesuaikan dengan standar perkotaan.
Mulai dari mekanisme, besaran dana, dan ide yang ikut serta dalam distribusi dana desa adalah suatu hal baru bagi pemerintah dan masyarakat desa. Desa Huntu Barat merupakan contoh adaptasi yang berhasil dalam penerimaan ide-ide baru yang turut serta dalam program dana desa.
Ekspedisi jurnalistik Kompas di Flores pada tahun 2011 menyiratkan adanya indikasi kepemilikan tanah yang terkonsentrasi hanya pada golongan aristokrat dan bermodal. Seorang petani di kecamatan Boawae, kabupaten Nagekeo, Flores, yang hanya memiliki 0,12 hektar tanah pertanian harus bekerja dengan sistem bagi hasil dengan tuan tanah pada tanah pertanian seluas 0,7 hektar untuk mempertahankan hidup keluarganya.
Rupanya banyak kasus serupa, misalnya di Desa Mbay dan Lembor yang penetrasi kapitalnya cukup kuat jika dibandingkan dengan daerah pertanian non-persawahan di Flores. Mereka bekerja dalam sistem bagi hasil 6:4 atau 5:5. Sekitar 40-50% dari penghasilan harus diserahkan kepada tuan  tanah. Jika para petani berlahan kecil (1/4-1/2 ha) dan tuna kisma tidak memperoleh lahan garapan dalam sistem bagi hasil---seperti yang terjadi di persawahan Mbay---maka mereka akan bekerja sebagai pekerjaan harian lepas dengan upah harian. Tak sedikit rakyat Flores yang akhirnya menganggur atau bekerja pada sektor informal (seperti menjadi TKI) karena terlempar dari sektor agraria.
Pada 2014, jumlah pengangguran di NTT sebanyak 73,2 ribu orang, yang meningkat menjadi 74,7 ribu orang di tahun 2018. Dari total 2,24 juta angkatan kerja di NTT, 78,91 persennya bekerja di sektor informal. Kemudian hadir "resolusi" berupa pembangunan infrastruktur yang diyakini dapat melepaskan masyarakat Flores dari kemiskinan.