“Naura emang gitu, kalo capek mukanya suka pucat, padahal aku udah bilang untuk pake jasa asisten rumah tangga aja, eh dianya yang nggak mau,” ungkap suamiku, membual lagi.
Ya, sepertinya membual adalah pekerjaan favoritnya, pekerjaan favoritnya setelah itu adalah memakiku, memaki istrinya sendiri. Lain cerita bila di hadapan orang lain, wajahnya tampak begitu manis.
Mulai hari ini aku akan membeli dua potong ayam, entah ayam goreng, ayam bakar, gulai ayam, ayam penyet, apapun, selama itu adalah makanan favoritnya. Satu untuk suamiku, satu lagi untuk Aris, begitu seterusnya sampai utang-utangku tak terhitung lagi banyaknya. Sementara aku, cukup memakan makanan yang ada, tak jarang makanan yang hampir basi pun aku makan, itu kulakukan demi mengirit uang belanja. Jujur saja gajiku tak sebesar gaji suamiku, tapi nyatanya Tuhan tak membiarkan aku hidup penuh sengsara, ada saja rezeki yang menghampiri secara langsung padaku, atau bahkan melalui Aris, anakku.
Seulas senyum tampak terpancar dari wajah suamiku. Aku tahu senyumnya mahal untukku. Karena hanya sepotong ayam lah yang mampu membuatnya tersenyum. Satu potong ayam untuk sebuah senyuman. Entah sampai kapan.
Ilustrasi gambar adalah milik penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H