“Aku yakin pertemuan kita di job fair setahun yang lalu juga bukan suatu kebetulan, tapi karena Tuhan telah menakdirkan kita bertemu pada waktu itu.”
Ratna tampak kebingungan. Ia menarik segelas jus alpukat yang baru saja tiba di hadapannya. “Jadi maksudnya gimana? Aku nggak ngerti.”
“Seperti aku, awalnya juga nggak ngerti sama perasaan ini. Jauh sebelum kamu pacaran sama Rayhan, Na.. Diminum dulu Na, jusnya. Nanti keburu nggak enak.” goda Lio di sela-sela keseriusan wajah Ratna. Ratna tertawa sambil mengaduk jus alpukat kesukaannya.
“Terus?”
“Nggak sabar ya nunggunya?”
“Lio, serius nih, aku nunggu omonganmu.” Ratna menampakkan wajah ngambeknya di hadapan Lio. Sementara Lio tertawa melihat wajah Ratna yang justru terlihat lucu itu.
“Aku nyimpan perasaan ke kamu Na, jauh sebelum kamu jadian sama Rayhan. Awalnya aku mau nembak kamu, tapi aku terlalu malu. Sampai akhirnya kamu malah jadian sama Rayhan, dan setelah kita lulus, kita lost contact kan.”
Ratna menatap Lio, kosong. Pikirannya terbang ke berbagai arah. “Waktu kita ketemu di job fair, kenapa kamu diam aja? Dan kita juga jarang banget ketemu setelah itu.”
“Aku masih juga belum punya keberanian Na, waktu itu kamu tahu sendiri, aku belum punya kerjaan. Kasian anak orang, mau dikasih makan apa nantinya? Cinta aja nggak cukup kan?”
Ratna tersenyum, matanya benar-benar memperhatikan Lio bicara, seakan tak ingin kehilangan momen sedikitpun dari Lio.
“Nah, kalo sekarang, pekerjaanku udah jelas, usahaku juga udah mulai merangkak naik.”