Janji Mila Part II
Oleh : Putri Apriani dan Imas Siti Liawati
Mila gelisah. Sudah hampir lima belas menit berlalu, Kamal belum juga muncul. Padahal tadi laki-laki itu mengajaknya bertemu di café yang terletak di depan sekolah. Tetapi sampai saat ini batang hidung Kamal pun belum sama sekali terlihat.
Ck, Sialan! kema…
Mila baru saja mengumpat dalam hati ketika pintu café terbuka dan mendapati Kamal tengah terengah-engah menghampirinya.
“Sorry, sorry, Yang!” ucapnya dengan napas putus-putus. Ditariknya kursi yang berada di hadapan Mila. “Netty maksa harus nyelesein tugas kelompok hari ini. Jadi mau nggak mau aku telat kemari.”
Ada tugas kelompok pada pelajaran Biologi di kelas dan sayangnya pembagian kelompok ditentukan guru. Tidak seperti biasa dimana siswa bebas memilih siapapun yang menjadi kelompoknya. Dan kali ini Mila hanya bisa gigit jari karena tak bisa sekelompok dengan pacarnya.
Yah, bulan lalu akhirnya Kamal menyatakan perasaannya pada Mila. Jelas sudah perasaan Mila tak bertepuk sebelah tangan.
“Netty? Kamu nggak lagi selingkuh kan?” tanya Mila dengan mata memicing curiga. Siapapun di kelas tahu kalau Netty juga pernah jatuh cinta dengan Kamal, sayang Kamal lebih memilih dirinya.
“Ya nggaklah, Yang. Aku kan sayangnya cuma sama kamu.”
“Oh ya?”
Kamal mengangguk “Iya dong! Kan kita udah janji. Aku tuh akan setia sama kamu. sayang aku juga buat kamu.”
Senyum Mila mengembang seketika. Bersamaan dengan perasaan hangat dan bahagia yang membuncah dalam hatinya.
“Kamu juga harus janji ya, Yang?” sambung Kamal.
“Janji apa?”
“Janji juga setia sama aku.”
“Iya. Aku janji. Aku bakal setia sama kamu kok,” angguk Mila dengan wajah sumringah.
Ah, cinta memang indah kan?
***
Mila kembali berubah. Jika beberapa bulan lalu ia tampak bahagia, sekarang ia lebih sering kutemukan melamun. Mila juga lebih sering mengurung diri di kamar. Tak hanya itu aku dikejutkan pula dengan nilai-nilai Mila menurun drastis, dari peringkat kedua menjadi tanpa peringkat.
Ada apa ini?
Ada apa dengan Mila?
Wajahnya memang tak seceria kemarin. Aku seperti melihat ada mendung yang berkumpul di matanya.
“Mila, kamu kenapa, Nak?”
“Nggak apa-apa Bunda.”
“Kamu selalu begitu, Nak. Ayo dong sekali-kali cerita sama Bunda. Bunda tuh pengen banget denger cerita dari mulut kamu. Kamu lagi sedih?”
Mila belum sempat membuka mulutnya ketika ia tiba-tiba saja harus berlari ke kamar mandi. Mila muntah, itu yang aku dengar. Hatiku berdegup kencang. Aku tepis pikiran-pikiran kotor yang tiba-tiba saja menyerang. Tidak. Mila baik-baik saja. Tidak ada apa-apa dengan Mila.
Mila keluar dari kamar mandi, wajahnya merah, ia menangis tersedu sambil menahan perutnya.
“Kamu masuk angin?”
“Mungkin, Bun.” Jawab Mila sambil menundukkan wajahnya.
“Yuk, Bunda anter kamu ke dokter.” Ajakku was-was.
Mila menggeleng. Ia langsung pergi ke kamarnya, mengunci pintu, mengurung diri lagi. Dadaku makin sesak, ngeri bila ketakutanku jadi kenyataan. Sebagai seorang wanita sekaligus seorang ibu, wajarlah bila aku memiliki ketakutan-ketakutan yang agak berlebihan, maklum Mila anak perempuanku satu-satunya.
Empat bulan selanjutnya, Mila semakin murung, bahkan ia menolak untuk pergi ke sekolah. Beberapa temannya datang silih berganti untuk menjenguknya, menanyakan bagaimana keadaan Mila sekarang. Tak terkecuali dengan Kamal.
Naluriku sebagai seorang wanita mengetahui, bahwa anakku memang ‘berbeda’ dibandingkan anak seusianya. Perutnya semakin membuncit, tubuhnya juga memiliki beberapa perubahan yang signifikan. Sesungguhnya batinku menjerit, tapi aku harus tetap tegar, demi Mila. Ya, aku harus lebih kuat darinya. Aku sendiri masih bingung berbuat apa.
“Mila…” Aku membelai rambut panjangnya yang kini terlihat kusut. “Makan dulu ya, Nak.”
“Bunda, maafin Mila.”
Sontak aku terkejut, tubuh Mila yang semakin kurus namun dengan perut membuncit itu, kini sujud di kakiku, menangis keras. Aku pun tak mampu menahan lagi lelehan air mata yang sudah kutahan kuat-kuat sejak tadi.
“Mila nggak bisa menepati janji Mila sama, Bunda. Maafin Mila, Bun.”
“Nak, jujur sama Bunda, siapa yang melakukan semua ini? Kamal?” Nama anak laki-laki itu jelas terpatri diingatanku mengingat dial ah yang dekat dengan Mila akhir-akhir ini.
Mila menggeleng. Air matanya mengalir deras. “Kamal baik sama Mila, Bun. Bukan Kamal pelakunya.”
“Lantas siapa? Jujur sama Bunda, Nak.”
Tubuh Mila bergetar hebat. Aku memeluknya dengan erat. Isak tangisnya semakin kencang.
“Ma—maafkan Mila, Bun!”
***
Malam makin larut tetapi hujan tak juga berhenti. Petir memang tak lagi menggelegar tetapi tetesan air dari langit sepertinya masih betah membasahi bumi. Udara dingin pun terasa menusuk kulit membuat siapapun akan makin terlelap ke alam mimpi. Pun dengan Mila, ia semakin rapat menarik selimutnya. Apalagi hari ini dirinya sangat lelah pasca menyemangati Kamal yang tengah bertanding dengan tim basket sekolah dalam kejuaraan antar sekolah.
Namun tiba-tiba kenyamanan Mila terusik. Ia merasa ada tangan yang menggerayangi bagian bawah tubuhnya. Tangan besar itu berulang kali mengusap-usap paha miliknya. Sontak Mila terbangun dan ia terbelalak mendapati siapa yang berada di atas ranjangnya.
Refleks Mila berteriak, namun tangan besar itu menutup mulutnya dengan cepat. Ia meronta, berteriak kencang, melawan namun semua berakhir sia-sia. Yang ada justru tangannya diikat, mulutnya disumpal dengan kain. Dan detik selanjutnya Mila hanya bisa pasrah ketika tubuh besar itu melakukan hal yang tak semestinya dilakukan. Mila hanya bisa meratap akan kesialan hidup yang dialaminya. Akhirnya kehormatan dan harga dirinya sebagai perempuan terhempas sudah.
Ah, kenapa dia tega melakukannya?
Logika Mila tak bisa menerima hal ini. Lelaki yang seharusnya menjaga dan melindunginya justru tega melakukan padanya.
Ya Tuhan, seperti inikah laki- laki yang kupanggil ayah?
*
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H