Mila menggeleng. Ia langsung pergi ke kamarnya, mengunci pintu, mengurung diri lagi. Dadaku makin sesak, ngeri bila ketakutanku jadi kenyataan. Sebagai seorang wanita sekaligus seorang ibu, wajarlah bila aku memiliki ketakutan-ketakutan yang agak berlebihan, maklum Mila anak perempuanku satu-satunya.
Empat bulan selanjutnya, Mila semakin murung, bahkan ia menolak untuk pergi ke sekolah. Beberapa temannya datang silih berganti untuk menjenguknya, menanyakan bagaimana keadaan Mila sekarang. Tak terkecuali dengan Kamal.
Naluriku sebagai seorang wanita mengetahui, bahwa anakku memang ‘berbeda’ dibandingkan anak seusianya. Perutnya semakin membuncit, tubuhnya juga memiliki beberapa perubahan yang signifikan. Sesungguhnya batinku menjerit, tapi aku harus tetap tegar, demi Mila. Ya, aku harus lebih kuat darinya. Aku sendiri masih bingung berbuat apa.
“Mila…” Aku membelai rambut panjangnya yang kini terlihat kusut. “Makan dulu ya, Nak.”
“Bunda, maafin Mila.”
Sontak aku terkejut, tubuh Mila yang semakin kurus namun dengan perut membuncit itu, kini sujud di kakiku, menangis keras. Aku pun tak mampu menahan lagi lelehan air mata yang sudah kutahan kuat-kuat sejak tadi.
“Mila nggak bisa menepati janji Mila sama, Bunda. Maafin Mila, Bun.”
“Nak, jujur sama Bunda, siapa yang melakukan semua ini? Kamal?” Nama anak laki-laki itu jelas terpatri diingatanku mengingat dial ah yang dekat dengan Mila akhir-akhir ini.
Mila menggeleng. Air matanya mengalir deras. “Kamal baik sama Mila, Bun. Bukan Kamal pelakunya.”
“Lantas siapa? Jujur sama Bunda, Nak.”
Tubuh Mila bergetar hebat. Aku memeluknya dengan erat. Isak tangisnya semakin kencang.