[caption caption="Ilustrasi: Shutterstock"][/caption]Putri Apriani, No.6
Aku melihat ke sekelilingku, membaca situasi serta mencari-cari benda yang bisa aku gunakan untuk membunuh si keparat itu. Ya, dia harus mati! James? Dr. Jalal? Mr. J? Ah siapapun namanya, yang jelas ia telah menghancurkan hidupku dan melenyapkan segala kenanganku tentang Gie.
Sebuah pisau! Kulihat sebuah pisau tergeletak di sudut meja, tapi mustahil, aku terlalu jauh untuk menjangkaunya, sementara ia, bisa saja menangkapku dan menodongkan pistolnya padaku, melepaskan peluru yang kemudian akan menembus ke kepalaku. Tidak, aku tidak mau!
Sementara tubuhnya masih tersungkur lemah setelah aku berhasil menendang persis di bagian alat vitalnya. Ini kesempatan! Aku harus menggunakannya!
Aku mendekatinya perlahan kemudian menendang pistolnya keluar ruangan, berlari secepatnya untuk meloloskan diri dari si keparat itu, tentunya aku takkan meninggalkannya dalam keadaan hidup, takkan membiarkannya hidup lalu kembali mencariku dan kemudian dengan leluasa menyuntikkan Amphetamine, atau bahkan membunuhku.
Dor!
Aku melepaskan sebuah timah panas tepat pada kepalanya, darah segar kemudian mengucur dan mengubah warna lantai yang semula putih berwarna putih menjadi merah. Tubuhku gemetar, aku nyaris pingsan ketika itu, kalau saja aku tak ingat, bahwa aku harus segera menyelamatkan diriku.
Aku lari dengan sisa-sisa tenaga yang hampir habis. Entah aku sendiri tak tahu ke arah mana tujuanku selanjutnya, yang kupikirkan adalah meninggalkan jauh tempat busuk ini, mencari perlindungan atau, apapun, asal aku tetap bisa bernapas, dan melanjutkan hidupku dengan normal.
Bruukkk!
Aku terjatuh, aku menabrak seseorang.
Seorang lelaki menggunakan topi telah berdiri di depanku, mengulurkan tangannya yang hangat, dan tersenyum padaku.
“Gie, kaukah itu Gie?”
Lelaki itu kemudian membalikan badannya, pergi, menjauh, dan hilang dari pandanganku, semuanya gelap.
Aku rindu aromamu, Gie
Rindu tawamu, pelukmu, hangatmu, juga candamu
Pada balkon setiap bulan mati
Seolah rindu ini adalah rasa yang tak terbendung
Selalu saja mengalir setiap harinya
Seperti air mataku yang juga mengaliri tangisan
Mewakili jerit hatiku yang terus merindumu
**
Hanya suara elektrokardiograf[1] yang terdengar dari dalam ruangan. Dokter bilang keadaannya makin membaik, kemungkinan untuk sadar kembali sangatlah besar. Mataku berbinar menyambut berita baik tersebut, sudah lama aku merindukannya, ah.. sayangku.
Jari-jarimu mulai bergerak, matamu seolah sedang berusaha kuat untuk membuka kelopaknya, suara, ya kamu mulai mengeluarkan suara.
“Gie......, Nugie........” Kau mulai mengeluarkan suara, lirih.
“Lila, sayang...” Panggilku sambil menepuk pipinya, lembut. “Kamu sudah sadar?”
“Aku di mana....? Aku siapa....?”
“Lila? Aku senang sekali kamu sudah kembali sadar.”
“Lila? Tadi kamu panggil aku siapa?”
“Lila – Khaylila, istriku yang cantik.” Jawabku menjelaskan.
“Bukan! Aku bukan Khaylila, aku Rheinara Yuki atau Anna Kalashnikov! Nugie mana? Ran?”
“Tenang sayang, kamu hanya butuh istirahat yang cukup setelah beberapa minggu mengalami koma.”
“Aku koma?”
“Iya, kamu mengalami cedera otak cukup berat setelah kecelakaan itu. Kamu masih ingat ini?” Tanyaku sambil menunjukkan sebuah buku.
Kamu menggeleng.
“Aku tahu kau masih dalam masa pemulihan, banyak hal yang kamu tak ingat semenjak kejadian malam itu. Sebuah buku tebal berjudul ‘Malam Bulan Mati, Balkon dan Ciuman’ merupakan sebuah novel yang baru saja kau beli, pengarangnya sendiri adalah mantanmu, iya mantanmu yang selalu saja membuatku cemburu. Kau datang pada peluncuran perdananya, kau pulang bersamanya dan.. kecelakaan itu tak terlelakkan.” Aku menjelaskan panjang lebar.
“Kecelakaan? Kecelakaan apa?”
“Becak yang kamu tumpangi menabrak sebuah tiang, kepalamu sempat terbentur dan kamu berhasil terjun bebas ke sebuah empang.”
“Hah, empang? Nggak elit banget?”
“Nggak elit, nggak elit, makanya kalo mengkhayal jangan kebablasan! Ayo sekarang kamu ngaku, udah berapa kali jalan sama mantan kamu itu! Aku kezel, aku kezel..!!”
Suasana kamar mendadak riuh akibat pertengkaran sepasang suami istri ini. Dokter dan suster yang sudah berada di depan pintu tak meneruskan masuk ke dalam, hanya berdiri sambil menggelengkan kepala.
Dasar pasien gemblung.
Keadaanpun semakin absurd, seabsurd cerita ini. Hhahaaa..
[1] Elektrokardiograf adalah alat yang merekam aktivitas kelistrikan jantung dalam waktu tertentu, menghasilkan grafik yang biasa disebut elektrodiagram (EKG), [wikipedia].
Silahkan kunjungi akun Fiksiana Community untuk melihat karya peserta lainnya.
Silahkan juga bergabung di grup FB Fiksiana Community.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI