Mohon tunggu...
Putri Apriani
Putri Apriani Mohon Tunggu... Freelancer - Fiksianer yang Hobi Makan

@poetri_apriani | poetriapriani.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber] Hujan dan Cemburu

18 November 2015   08:37 Diperbarui: 18 November 2015   14:20 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Putri Apriani, No. 6

*

Tubuhku berada di pelukan seorang lelaki kekar, berkumis tipis, ketika aku tengah terjaga. Kepalaku terasa berat sekali, tubuhku masih bergetar hebat, napasku tersenggal. 

“Kamu sudah sadar?” Tanya lelaki yang menyediakan dadanya untuk tempatku bersandar. 

Gie? Mulutku hampir saja mengucap nama itu, hampir saja. Untungnya aku segera tersadar, wajahku telah berubah. Aku harus tahu semuanya – apa yang terjadi ketika aku menghilang. Kali ini namaku bukan lagi Rheinara. 

“Namaku Nugie, panggil saja Gie. Syukurlah kamu sudah siuman. Tadi tetiba saja aku menemukanmu pingsan.” 

Gie, aku Rhein-mu. Rasanya ingin sekali aku ucapkan kata-kata tersebut. 

“Aku di mana?” Aku membenarkan posisiku, mengalihkan tubuhku dari dadanya, dan mencoba duduk bersandar di sofa, sambil melihat keadaan sekitar. 

“Ini tempat tinggalku, kau aman di sini. Di mana rumahmu?” 

Aku terdiam. 

Dan kau tahu, Gie? Aku seperti menemukan hidupku kembali. Bukan bulan mati seperti bulan-bulan sebelumnya. Bahkan ucapan Mr. J, tentangmu, tentang Ran, tentang kemesraan kalian berdua di kantor, aku sungguh tak percaya. Mungkin aku baru akan percaya bila hal itu terjadi di depan mataku, Gie. 

Gie, bahkan tetesan embun di selembar daun pada pagi hari tak mampu kalahkan sejuknya hatiku saat ini – ketika melihatmu kembali tentunya. Tak ada yang mampu gambarkan rasaku saat ini Gie. Bukan perasaan jijik ketika Mr. J menceritakan hal buruk itu padaku, yang membuat aku berteriak histeris, menangis meronta, bukan, kali ini aku sungguh bahagia, Gie, walaupun kau tak mengenalku sebagai Rhein. 

“Oh iya, namamu siapa?” Tanyanya sambil tersenyum. 

Senyummu Gie, andai saja senyuman itu untukku, untukku yang dulu, Rheinara, bukan untukku yang sekarang berubah menjadi..ah aku akan menjadi siapa? Bahkan pertanyaan Gie belum mampu aku jawab. Aku mendadak bisu. Mata Gie makin menyelidik, bibirku makin rekat, tak dapat bicara. 

“Hello, kamu dengar aku bicara?” Ucap Gie sekali lagi. 

“Iy..iya..aku dengar. Namaku Anna, ya panggil saja aku Anna.” Jelasku kepada Gie. 

Selanjutnya kau membawakanku secangkir kopi. Dari aromanya aku tahu itu adalah white frappe, kesukaanku Gie. Lantas mengapa kau memberikan white frappe kesukaanku pada orang lain? Selain Rhein? Apakah kau tahu jika aku bukan Anna, melainkan Rhein-mu? 

“Kau suka white frappe, Anna?” 

Aku mengangguk, kemudian menggeleng,“sedikit.” Jawabku. 

“Dulu aku pernah mencintai seorang gadis, bahkan aku masih mencintainya hingga saat ini. Gadis itu, suka sekali menghabiskan bercangkir-cangkir kopi. Seringkali aku mengingatkan – mengomelinya karena kebiasaan buruknya itu, tapi kau tahu apa yang ia katakan?” 

Aku menggeleng – kikuk. 

“Dia bilang, aku terlihat berkali-kali lebih tampan ketika aku mengomelinya. Hahaha..dasar gadis yang lucu.” 

“Lalu di mana dia?” Tanyaku dengan penuh penasaran. 

Kau terdiam Gie, entahlah, entahlah mengapa kau tak menjawabnya, entahlah apa yang sedang kau sembunyikan? Aku ingin mendapatkan jawabannya, Gie! Dari mulutmu sendiri tentunya. 

Ingatanku menerawang ke beberapa waktu lalu, ketika kita masih mengecap manisnya cinta yang kita bangun, Gie. Kita pernah berjanji, akan selalu mencintai selamanya, hingga ujung waktu, katamu. Bahkan beberapa kali kau pernah ungkapkan perasaanmu itu melalui sebuah puisi, kau ingat Gie? 

Dalam secarik memori, kutuliskan segala kenangan yang pernah terukir manis bersamamu. Sedikitpun tak ada yang getir walau jarak dan waktu sempat menggerus dinding hati yang begitu kokoh ini. 

Walau rembulan enggan bertandang malam ini, namun cahayamu cukup untuk menerangi malamku yang kelam. Tak perlu bersusah payah berkejaran dengan embun, karena sentuhmu telah mampu segarkan aku tiap paginya. 

Bagiku, kau bukan sekadar pria tampan dan mapan karena telah memiliki perusahaan IT sendiri, Gie. Kau ini penyair ulung. Hati wanita mana yang takkan luluh bila kekasihnya memberikan sebuah ungkapan cinta yang begitu indah, semua itu lebih dari indah, Gie. 

Bahkan bukan hanya aku, ada Lisa, Judith, Rindu dan juga Amel yang begitu menggilaimu dulu, Gie. Betapa beruntungnya aku Gie, dapat memilikimu seutuhnya. 

*** 

Hari berikutnya kau berjanji akan mengenalkanku pada seorang wanita, kau tak menyebutkan namanya, hanya saja kau berkata untuk hari selanjutnya aku akan tinggal bersama wanita tersebut. 

Aku dan kamu telah sampai di lobby sebuah kantor ketika seorang gadis manis datang menghampiri. Lobby kantor Gie, kantorku, kantor kami, kantor yang menurut Gie ia bangun demi aku, Rheinara. 

“Hai, aku Nina.” Sambutnya dengan penuh ceria. 

Nina, masih ceria dan ramah seperti dulu, tak ada yang berubah. Lalu bagaimana yang Mr. J ceritakan padaku? Apakah dia berbohong padaku, atau….. 

“Mulai malam ini, kau bisa tinggal di apartemenku, Anna.” 

Aku mengangguk lalu tersenyum. Tak ada yang curiga dengan penyamaranku, semuanya terlihat masih baik-baik saja.   

Bila sebelumnya aku pandai berkhayal dan pandai merayu hatiku agar tak berdarah-darah lagi, berkata padanya bahwa esok pasti kamu akan kembali. Maka, kini keahlianku bertambah kembali, Gie. Kini aku pandai bersandiwara, darimu, dari Nina, dari Ran, dan Mr. J tentunya. 

Tapi, tahukah kau Gie? Sungguh, aku tak ingin berpisah denganmu. Bila saja aku menuruti egoku, mungkin aku sudah berteriak di depan wajahmu, dan mengatakan “aku Rhein-mu, Gie, aku bukan Anna!” 

Semalam adalah malam terindahku setelah berbulan-bulan lamanya aku tak dapat menatap wajahmu dari dekat Gie, menikmati senyummu yang begitu ampuh menghilangkan penatku, dan suara merdumu yang tak dapat dipungkiri telah membuatku candu. Meski dengan kumis tipis, cambang panjang dan kantung kelopak mata yang agak lebam. Ada apa denganmu Gie? Entahlah aku belum bisa menanyakan hal itu kepadamu, mungkin suatu saat, mungkin aku butuh bantuan orang lain agar kau tak curiga padaku. 

Sore ini, sepulang kantor, Nina mengajakku untuk pulang ke apartemennya, apartemen yang tak jauh dari apartemenku, pun tak jauh dari kantor kami. 

Nina mengambil kunci apartemen dari tasnya, kemudian membuka pintu itu secara perlahan. Aroma lavender menyambut kedatangan kami, entah mengapa gadis itu begitu suka dengan aroma lavender, menenangkan menurutnya. 

“Mungkin kau bisa mandi terlebih dahulu sebelum kita berbincang-bincang di balkon, Anna.”

Aku meraih handuk yang Nina berikan padaku, kemudian bergegas memasuki kamar mandi yang didominasi dengan berbagai pernak-pernik yang berbau hello kitty. 

Menit ke sepuluh setelahnya, aku menuju balkon, di sana ada Nina yang sedang berdiri menatap hujan. Matanya basah, entah itu air mata, atau air hujan, aku tak bertanya. 

“Kau pernah mencintai seseorang, Anna?” Mata Nina tajam mengarah padaku. 

Aku mengangguk. 

“Lalu bagaimana bila orang yang kau cintai justru mencintai orang lain?” 

Aku mengangkat bahu, “tak tahu.” 

“Aku begitu mencintai lelaki ini, tapi hatinya telah ia berikan untuk seorang wanita.” Ujar Nina sambil menunjukkan sebuah foto seorang lelaki. 

Foto itu? Ran? Nina mencintai Ran? 

“Aku benci Rheinara!” Lanjut Nina. “Ia mendapatkan semuanya, cinta Nugie, cinta Ran. Padahal Ran tahu, bahwa Rhein milik Nugie. Sialan!” 

Aku tercekat, tubuhku keringat dingin. Aku tak tahu, bahkan tak pernah menyangka bila Nina mencintai Ran. 

“Aku pernah meminta Ran untuk mengembalikan Rhein pada Gie, tapi Ran hanya menatapku penuh dengan keheranan. Aku sesak, aku menangis kala itu.” 

Menurut Nina, sewaktu itu Ran mendesak Nina untuk memberikan alamat Nugie untuknya. Nina curiga pada Ran yang sebegitu rela melakukan apapun demi Rheinara – demi aku. Ia cemburu padaku! Bahkan ia meminta dengan sangat ‘berjanjilah kau akan mengembalikan Rhein pada Nugie, Ran. Berjanjilah!’ 

Aku kehabisan kata-kata, hanya mampu mengusap punggung Nina dengan tangan lemahku. Aku lemas, tak tahu harus berbuat apa. Mengapa semua jadi begini?

Sumber Ilustrasi

Silahkan bergabung di akun Fiksiana Community dan FB Fiksiana Community

Fikber Sebelumnya :

  1. Malam Bulan Mati, Balkon, dan Ciuman
  2. Bulan Mati di Hati Rheinara
  3. Pesan Cinta dari Masa Lalu
  4. Benang Merah
  5. Derita Cinta Membara

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun