Mohon tunggu...
Puteri Intan Rizqi
Puteri Intan Rizqi Mohon Tunggu... Penulis - ENFP-A

Penulis Mager

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Renjana

30 Januari 2021   18:59 Diperbarui: 31 Januari 2021   15:55 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku memandang gusar pada meja di depanku, tumpukan kertas, coretan-coretan tak berarti, dan juga laptop dengan layar menyala. Ah.. aku bingung harus mengerjakan mulai darimana. Rasanya otak dan tubuhku tidak bisa diajak kerja sama saat ini. Aku mengalihkan pandangan pada sebuah foto polaroid yang tergantung di lampu tumblr-ku. Menunjukkan potret dua sosok manusia dengan senyum lebar tanda bahagia. 

Dua tahun berlalu, tapi aku belum sanggup membuang foto-foto tentang dia. Sepertinya bukan fotonya saja, melainkan seluruh kenangan tentang dia. Aku beranjak menuju rak buku di samping meja kerjaku saat ini. Mataku terpaku pada deretan novel yang sengaja aku urutkan bukan karena sampul, jenis novel, atau apapun itu, melainkan karena pemberian seseorang. 

Tanganku meraih sebuah novel dengan sampul kecoklatan, dengan judul Tentang Kamu, sebuah karya dari penulis terkenal Indonesia, Tere Liye. Halaman awal menunjukkan sebuah catatan bolpoin, tertulis "Dari Riko, 27 Februari 2017" menandakan itu adalah buku pemberian seseorang, tepat saat ulang tahunku. 

Aku meletakkan kembali novel itu pada tempatnya semula. Lalu, meringkuk di kasur dengan selimut membalut seluruh badan. Tidak, diluar tidak hujan tapi anehnya aku merasa kedinginan. Aku melupakan pekerjaanku sesaat dan memilih memejamkan mata untuk beristirahat. Lalu, terbanglah aku menuju dunia mimpi.

Perlahan, sinar matahari membasuhi wajahku, pasti sudah pagi dan Mama sengaja membuka gordenku pagi-pagi begini. Aku malas-malasan untu bangun dan menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. Dengan setelan celana dan blazer bermotif kotak-kotak berwarna abu misty, aku beranjak menuruni tangga untuk berpamitan pada Mama.

Aku menyusuri jalanan dengan mobil kesayanganku, diiringi lagu terhits beberapa bulan lalu Maroon 5 berjudul Memories, membuat pagiku sedikit lebih baik dan telah melupa dengan kenangan semalam yang sukses membuatku tak berdaya. Sesampainya di kantor, aku langsung menuju meja kerjaku. Sambutan kawan-kawanku menyapa di pagi hari, kubalas dengan senyum terbaikku. 

Setelah mendaratkan badan ke kursi, aku mulai menyalakan komputer untuk siap memulai hari sebagai editor naskah di suatu penerbit. Ada beberapa deadline naskah dalam waktu dekat, jadi aku harus mulai mengedit dari sekarang.

Seorang OB bernama Fendy tiba-tiba menghampiri meja kerjaku, "Mbak Raina, ini ada teh hangat dan biskuit kesukaan mbak, lengkap dengan salam semangat dari seseorang." 

Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala lalu menerima nampan itu dengan mengucapkan terima kasih. Aku lupa bahwa ini hari selasa, hari dimana aku akan menerima teh dan biskuit kesukaanku secara misterius melalui Fendy, hanya melalui Fendy bukan OB lainnya. Hal ini sudah berlangsung selama 2 bulan terakhir. 

Aku sudah menanyakan berkali-kali pada Fendy siapa pengirimnya, namun hanya ia balas dengan kalimat berwujud, "Saya hanya disuruh mengantarkan mbak, tapi tidak disuruh membocorkan siapa pengirimnya." Ya, dari jawaban tersebut aku paham kenapa si pengirim misterius memilih Fendy untuk dijadikan kurir, tak lain dan tak bukan adalah karena Fendy adalah orang yang jujur dan pandai menyimpan rahasia.

Aku menikmati biskuit dan tehnya sebagai cemilan sepanjang hari. Aku tidak mau ambil pusing tentang siapa sosok yang mengirimnya, karena aku tahu pasti bahwa takdir akan mempertemukanku dengannya, entah dalam waktu dekat atau dalam waktu yang belum ditentukan. 

Kemudian, aku kembali fokus menyelesaikan naskah-naskah berserakan yang ada pada layar komputerku. Beberapa jam pun berlalu, dan memasuki waktu makan siang. 

Aku terkejut dengan kehadiran sosok tak diundang yang telah menyandarkan kepala di kubikelku. Iya, dia sahabat anehku yang hilang tiba-tiba dan juga datang secara tiba-tiba, Andrean. "Makan, yuk? Dimana, ya, enaknya?"

Aku mengabaikan pertanyaan bodohnya karena aku tahu pasti bahwa makan siang kita akan tetap berakhir di kafe dekat kantor. Aku membereskan meja kerjaku dan mematikan komputerku sejenak, lalu beranjak beriringan bersana Andrean menuju kafe biasanya. 

Sepanjang jalan, Andrean mengoceh tidak jelas tentang apa saja, tapi aku enggan menanggapi karena terlalu sibuk memainkan gawai di genggamanku. Tolong jangan dicontoh kebiasaan buruk ini, biasanya aku tidak seperti ini, hanya saja hari ini moodku sedang tidak baik-baik saja entah kenapa.

Sesampainya di kafe, Andrean tidak lagi mengoceh banyak hal. Sepertinya ia menyadari bahwa moodku tidak dalam keadaan baik. Ya, dia satu-satunya manusia yang bisa kusebut sahabat, entah karena apa. 

Dia memesankan makanan untukku yang sudah pasti akan seperti biasanya. Dia tidak menanyaiku kenapa dan ada apa karena dia paham betul sifatku yang tidak akan menjawab apapun kecuali saat moodku sudah kembali baik.

Aku mengernyit bingung saat ada aneka biskuit beraneka macam memenuhi meja kami. "Biasa aja kali mukanya, ini sengaja gue pesen biar mood-lo lebih baik, buruan makan, entar keburu habis jam makan siangnya," kubalas omelannya dengan senyum sumringah bak anak kecil yang sedang sedih lalu diberi balon. Aku melahap makan siang dengan perasaan yang membaik.

Sepulang kafe, kami menuju meja kerja masing-masing yang tentu berbeda. Untuk kesekian kalinya dalam hari ini, aku kebingungan lagi. Pasalnya ada sebuah amplop berwarna abu-abu senada dengan setelan yang aku kenakan ada di mejaku. Aku menimbang-nimbang surat itu, kira-kira siapa pengirimnya. Aku membuang rasa penasaranku dan membaca surat itu dengan saksama.

Waktu demi waktu telah pernah kita jalani beriringan. Aku, juga kamu yang tidak pernah terpisah. Takdir pernah membuat kita tertawa, menangis, dan juga berbahagia. Pernahkah kamu bertanya pada arus takdir kemana muara perjalanan hidup kita? Aku selalu bertanya, namun belum terjawab sedikitpun. Rupanya takdir menginginkan kita bekerja sama untuk menentukan muara apa yang akan ada pada cerita kita. Entah muara sedih atau muara bahagia. Aku berharap kamu mau diajak bekerja sama dengan mewujudkan muara bahagia bersamaku.

Meski aku tahu, hatimu belum benar-benar sembuh akan luka masa lalu, maka dari itu aku ingin mengajukan diri sebagai obat penawar lukamu, aku akan menerimamu dengan segala ketidak utuhanmu, dan melengkapinya dengan "aku".

Halo, Raina! Gadis yang tidak pernah suka hujan tapi namamu adalah hujan. Aku menginginkan kamu untuk menjadi hujan kebahagiaan dalam hidupku. Mungkin ini akan mengejutkanmu tapi aku tidak akan peduli karena aku adalah sosok penuh kejutan yang akan selalu hadir di hidupmu untuk hari ini, esok, dan juga seterusnya. Semoga dirimu bersedia menerima "aku" untuk menjadi pelengkap hidupmu.
-Andrean

Kali ini, aku tidak bisa berkata-kata lagi. Pikiranku melalang buana mengingat sosoknya yang selalu bersedia ada dalam setiap kekacauanku. Aku meraih ponsel dan mencari nama Mama untuk segera kuberitahu soal ini. Pada dering ketiga, Mama menerima teleponku, dan aku meluruhkan semua ceritaku. Mama tidak merespon ceritaku bahkan saat kukatakan aku telah selesai bercerita. 

Firasatku berkata bahwa Mama sedang tersenyum disana, dan beberapa detik kemudian suara lembutnya menyapa, "Raina, Mama ingin memberitahumu sesuatu, sebenarnya dia telah memintamu dua bulan yang lalu, tepat saat kamu sedang lembur di kantor, dia mendatangi Mama dengan kedua orang tuanya. Tapi, dia meminta Mama untuk tidak memberitahumu saat itu. Karena dia masih ingin mengenalmu jauh lebih dekat dan dia tidak ingin membebani hatimu dengan perasaannya. Mama juga tahu bahwa hatimu masih mengingat Riko. Jadi, Mama tidak akan memaksamu menerimanya, karena yang menjalani adalah kamu, kamu bebas menentukan pilihanmu sendiri. Mama akan tetap mendoakan yang terbaik untuk hidupmu, apapun keputusannya. Pesan Mama hanya satu, jangan sia-siakan apa yang ada di hadapanmu saat ini." 

Lalu, Mama memutuskan sambungan teleponnya sepihak. Kepalaku berusaha menyusun teka-teki ini, seolah kondisi saat ini harus kulengkapi terlebih dahulu untuk kemudian membuat keputusan. Aku tidak memungkiri bahwa tidak ada wanita yang ingin menolak laki-laki semapan dan tampan seperti Andrean. Aku tahu betul sifatnya dan dia juga tahu betul akan sifatku. Aku memantapkan hati untuk memikirkan sebuah keputusan final nantinya.

Beberapa hari kemudian, aku mengabari Mama dan juga Andrean bahwa aku bersedia. Namun, aku memberi pengertian pada Andrean bahwa aku tidak akan menikah dalam waktu dekat. Aku tidak ingin terbu-buru sebab aku ingin meluruhkan luka masa laluku terlebih dahulu. 

Syukurnya, Andrean mengerti dan bersedia menungguku hingga waktu penyembuhanku selesai. Aku berterima kasih pada sosoknya yang entah keberapa kali selalu "bersedia" akan banyak hal dalam hidupku. Setia berjalan beriringan di sampingku, tanpa berniat mendahului. 

Aku bersyukur Tuhan memberiku sosok sahabat yang akan segera menjadi pelengkap seperti dia. Meski dalam beberapa hal dia akan sangat menjengkelkan, tapi sifat usilnya sekaligus menjadi hiburan untuk kemudian aku tertawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun