Mohon tunggu...
Puspo Lolailik Suprapto
Puspo Lolailik Suprapto Mohon Tunggu... Lainnya - Esais/Bookstagrammer

Nulis apa saja :)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peringatan Darurat: MK Mengeluarkan Keputusan, DPR Menolak, dan Kejutan Pilkada 2024

22 Agustus 2024   07:26 Diperbarui: 30 Agustus 2024   21:31 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peringatan Darurat | Sumber: Tirto.id

Hari ini Instagram dipenuhi dengan gambar garuda berwarna biru dengan tulisan, "Peringatan Darurat." 

Banyak pengguna yang mengunggah gambar ini sebagai bentuk kritik terhadap keputusan Badan Legislasi DPR yang menolak putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XXII/2024.

Putusan ini menetapkan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan saat pelantikan pasangan calon terpilih.

DPR juga menuai banyak kritik karena menyetujui revisi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) dalam rapat Badan Legislasi DPR pada kemarin sore hari, 21 Agustus. 

Dari sembilan fraksi, hanya PDI-Perjuangan yang menolak RUU Pilkada untuk dibahas dalam rapat paripurna esok harinya.

Jika RUU ini disahkan, peluang Jokowi untuk memperluas dinasti politiknya melalui Kaesang, putra bungsunya yang berusia 29 tahun, akan semakin besar. 

Sebab, dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi UU Pilkada No. 72 disebutkan bahwa : 

d. berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.

Tindakan DPR memicu kemarahan publik. Sebab, menurut konstitusi, putusan MK memiliki hierarki yang lebih tinggi karena menguji UU Pilkada terhadap UUD 1945.

Sementara itu, putusan MA hanya menguji peraturan KPU terhadap UU Pilkada. 

Meski begitu, dalam rapat Baleg kemarin pagi, Achmad Baidowi dari PPP memutuskan untuk menolak putusan MK dan lebih memilih mengikuti putusan MA.

Pemicu kegaduhan di rapat Baleg DPR RI kemarin adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU/XXII/2024 yang disahkan sehari sebelumnya. 

Keputusan MK ini berasal dari gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora pada 27 Juni. 

Kedua partai ini menggugat UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah, yang menetapkan syarat ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 25 persen perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik dari hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi di DPRD.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan tersebut. 

Putusan MK yang mengubah Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada ini dinilai cukup maju oleh Bivitri Susanti, seorang akademisi dan pakar hukum tata negara Indonesia. 

Namun, menurut Bivitri dalam unggahan Instagram-nya, DPR sekarang justru memutarbalikkan interpretasi atas putusan MK ini. 

Padahal, sebagai lembaga negara, putusan MK seharusnya dihormati dan diikuti, dan tidak boleh ada UU yang bertentangan dengan keputusan tersebut.

Putusan MK membuka peluang lebih banyak calon pemimpin daerah baru. 

Hal ini penting untuk mencegah skenario calon tunggal (Kotak Kosong) yang belakangan menjadi perhatian para pengamat, karena bisa menurunkan kualitas demokrasi di Pilkada 2024.

Dengan dibukanya keran pencalonan, warga jadi punya banyak pilihan calon dan program-programnya, tutur dia.

Bivitri juga menjelaskan bahwa MK menyatakan ayat (3) dari Pasal 40 tidak lagi sesuai dengan konstitusi. 

Sebelumnya, hanya partai yang memiliki kursi di DPRD yang bisa mengajukan calon gubernur, wakil gubernur, wali kota, atau bupati berdasarkan akumulasi suara sah.

Namun, dengan dihapusnya ayat ini, sekarang akumulasi suara sah tersebut bisa dihitung bersama dengan partai yang tidak mendapatkan kursi di DPRD.

Sayangnya, meskipun putusan MK sudah jelas dan progresif, DPR RI menolaknya. 

Dalam tangkapan layar rapat Baleg kemarin, Pasal 40 yang disetujui Panja Baleg tetap menetapkan ambang batas untuk partai dengan kursi di DPRD pada 20 persen dan 25 persen.

Menanggapi keputusan Baleg DPR RI, Bivitri mengatakan dalam wawancara dengan Sindonews bahwa MK adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menafsirkan konstitusi dan menguji undang-undang terhadap UUD 1945 di Indonesia. 

Oleh karena itu, pemerintah, DPR, dan seluruh elemen bangsa harus menghormati dan mengikuti putusan MK.

Putusan MK tidak bisa dibenturkan dengan putusan MA. Putusan MK adalah pengujian konstitusionalitas norma UU terhadap UU Dasar. Sehingga, Putusan MK harus dipedomani oleh semua pihak, tidak terkecuali DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung, jelasnya pada Sindonews.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun