Meski begitu, dalam rapat Baleg kemarin pagi, Achmad Baidowi dari PPP memutuskan untuk menolak putusan MK dan lebih memilih mengikuti putusan MA.
Pemicu kegaduhan di rapat Baleg DPR RI kemarin adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU/XXII/2024 yang disahkan sehari sebelumnya.Â
Keputusan MK ini berasal dari gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora pada 27 Juni.Â
Kedua partai ini menggugat UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah, yang menetapkan syarat ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 25 persen perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik dari hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi di DPRD.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan tersebut.Â
Putusan MK yang mengubah Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada ini dinilai cukup maju oleh Bivitri Susanti, seorang akademisi dan pakar hukum tata negara Indonesia.Â
Namun, menurut Bivitri dalam unggahan Instagram-nya, DPR sekarang justru memutarbalikkan interpretasi atas putusan MK ini.Â
Padahal, sebagai lembaga negara, putusan MK seharusnya dihormati dan diikuti, dan tidak boleh ada UU yang bertentangan dengan keputusan tersebut.
Putusan MK membuka peluang lebih banyak calon pemimpin daerah baru.Â
Hal ini penting untuk mencegah skenario calon tunggal (Kotak Kosong) yang belakangan menjadi perhatian para pengamat, karena bisa menurunkan kualitas demokrasi di Pilkada 2024.
Dengan dibukanya keran pencalonan, warga jadi punya banyak pilihan calon dan program-programnya, tutur dia.