Pada ikon, hubungan antara penanda dan petanda didasarkan pada kemiripan atau kesamaan fisik.Â
Pada indeks, hubungan itu bersifat asosiatif atau sebab-akibat, sementara pada simbol, hubungan tersebut didasarkan pada kesepakatan atau konvensi yang berlaku dalam masyarakat.
Jelas bahwa kekerasan (penanda) tidak mirip atau sama dengan Aceh (petanda).Â
Oleh karena itu, kekerasan yang digambarkan dalam cerpen-cerpen tersebut bukanlah tanda ikonik, melainkan tanda indeksikal.
Artinya, dalam cerpen-cerpen yang menceritakan kekerasan di bukubini, kekerasan itu terjadi karena atau sebagai akibat dari keberadaan Aceh.
Ada sesuatu yang membuat latar budaya dan tempat yang awalnya netral menjadi alasan terjadinya kekerasan dalam hubungan indeksikal ini.Â
Di sinilah cerpen-cerpen tentang kekerasan dalam buku ini memainkan peran penting.
Jika kekerasan---terutama yang berhubungan dengan kekuasaan politik---disajikan sebagai laporan jurnalistik atau kesaksian, seringkali muncul masalah tentang kebenaran fakta dan penyebabnya.Â
Namun, melalui prosa fiksi, penulis yang menggambarkan kekerasan tidak perlu khawatir dengan masalah ini.Â
Hal ini karena penggambaran tersebut sudah dianggap sah oleh konvensi budaya sebagai karya fiksi.
Dengan demikian, penulis bisa dengan bebas menempatkan militer di antara Aceh yang relatif netral dan kekerasan fisik sebagai penanda, menggunakan simbol-simbol militer seperti komandan, seragam loreng, markas, peluru, dan senjata.Â